Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Terpaksa Menikah Lagi

Terpaksa Menikah Lagi

Sifa Syafii

5.0
Komentar
41.9K
Penayangan
110
Bab

Dokter Ardian adalah seorang Dokter kandungan. Ia baru saja menikah dengan wanita yang dicintainya dan saat ini sedang menanti kelahiran buah hati pertamanya. Namun, di hari bahagia yang ditunggu-tunggunya, tiba-tiba berubah menjadi hari duka baginya. Nadia Rahayu, istri Dokter Ardian tiba-tiba meninggal dunia ketika melahirkan buah hati pertamanya. Pak Aryo, Papa Dokter Ardian, selalu mendesak Dokter Ardian untuk menikah lagi demi Nizam, cucunya. Ia menyuruh Dokter Ardian untuk menikahi Widia, adik kandung Nadia. Namun, Dokter Ardian menolaknya karena tahu sifat asli Widia yang tidak tulus menyayangi anaknya. Dengan siapakah Dokter Ardian akan menikah lagi? Bagaimana kisahnya nanti? Yuk simak ceritanya di sini!

Bab 1 EPISODE SATU

POV Citra

Sore ini aku baru saja tiba di Rumah Sakit Husada tempatku bekerja. Ketika memasuki ruangan bersalin untuk pergantian shift, aku melihat semua rekan kerjaku terlihat sedih, terutama Dokter Ardian. Ia masih memakai APD (Alat Pelindung Diri) lengkap yang menempel pada tubuhnya dan duduk di samping seorang pasien yang aku duga sudah meninggal dunia.

Aku menaruh tasku di dalam loker lalu duduk berkumpul dengan rekan-rekan kerjaku untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi.

“Ada apa?” tanyaku pada Dewi seraya berbisik dan menyenggol sikunya.

“Istri Dokter Ardian meninggal dunia,” jawab Dewi dengan setengah berbisik.

Aku pun melebarkan kelopak mataku tanda terkejut. Pantas saja semua orang terlihat berduka.

“Apa bayinya selamat?” tanyaku lagi pada Dewi.

“Hm,” sahut Dewi dengan menunduk tanpa memandang ke arahku.

Aku pun merasa sedikit lega mendengarnya. Paling tidak Dokter Ardian tidak kehilangan keduanya.

Satu jam berlalu. Kami sudah melakukan pergantian shift dari pagi ke sore. Semua orang sibuk dengan tugasnya masing-masing. Sebagian orang mengurus jenazah istri Dokter Ardian. Sedangkan aku melakukan cek TTV (Tanda-tanda Vital) dari ruangan ke ruangan pada pasien yang sudah melahirkan tadi pagi.

Seusai memeriksa empat belas pasien, aku kembali ke ruang bersalin untuk menyalin hasil pemeriksaanku pada buku status pasien.

Sebelum mencatat, aku mencuci tangan pada wastafel yang tidak jauh dari meja kursi tempatku akan mencatat. Dari pantulan cermin yang ada di depanku, aku bisa melihat Dokter Ardian sangat terpukul sekali.

Aku ingin menyapanya dan mengucapkan rasa bela sungkawaku padanya, tapi aku takut karena dia tidak mengenalku. Aku baru satu bulan bekerja di sini setelah lulus dari Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan jurusan Kebidanan.

Setelah mencuci tangan, aku melanjutkan pekerjaanku menulis laporan pada lembar status pasien. Ketika aku sedang menulis, tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahuku. Aku pun terjingkat karena terkejut.

“A-ada yang bisa saya bantu, Dok?” tanyaku setelah melihat orang yang menepuk bahuku, yang ternyata adalah Dokter Ardian.

“Tolong belikan saya teh hangat di kantin!” ucap Dokter Ardian dengan lirih seraya menyerahkan uang dua puluh ribu padaku.

“Baik, Dok!” sahutku dengan tersenyum. Aku pun segera bangkit dari tempat dudukku dan meninggalkan pekerjaanku untuk pergi ke kantin sebentar.

Di kantin, sambil menunggu tehnya siap, aku mengambil beberapa roti juga. Aku yakin Dokter Ardian juga belum makan siang saat ini. Setelah membayar, aku pun segera kembali ke ruang bersalin.

“Ini pesanannya, Dok,” kataku seraya menaruh nampan berisi satu gelas teh hangat dan beberapa roti di atas meja yang ada depan Dokter Ardian. Tidak lupa uang kembalian juga kuletakkan di atas nampan itu.

Dokter Ardian menatap nampan itu lalu menatap ke arahku. “Aku tidak memesan roti,” ujarnya lalu meraih gelas berisi teh hangat dan meminumnya.

“Iya saya tahu, Dok, tapi Dokter juga harus makan. Anak Dokter membutuhkan Papanya. Jadi, Dokter juga harus punya tenaga untuk merawat dan menjaganya,” kataku memberanikan diri berkata seperti itu pada Dokter Ardian. Padahal jantungku sudah berdegup kencang karena merasa takut membantah atasan.

Dokter Ardian pun menatapku sekilas dan berkata, “Terima kasih.”

“Sama-sama, Dok. Kalau begitu saya permisi,” pamitku seraya perlahan menjauh dari Dokter Ardian untuk melanjutkan pekerjaanku yang tertunda.

“Tunggu!” cegah dokter Ardian tiba-tiba menghentikan langkah kakiku.

Aku pun berbalik menatap Dokter Ardian. “Iya, Dok!” sahutku.

“Ikut saya ke ruang Perinatologi!” ajak Dokter Ardian seraya bangkit dari tempat duduknya.

Aku pun mengangguk dan mengekor di belakang Dokter Ardian. Entah kenapa dia mengajakku ke ruangan para bayi itu. Padahal banyak orang di ruangan ini yang bisa diajak ke sana.

Sesampainya di ruang Perinatalogi, Dokter Ardian segera mendekati wastafel untuk mencuci tangan. Aku pun melakukan hal yang sama. Memang seharusnya seperti itu yang harus dilakukan sebelum menyentuh bayi.

Setelah mencuci tangan, Dokter Ardian mendekati ranjang bayi yang bertuliskan nama “By. Ny. Nadia Rahayu”. Nadia Rahayu adalah nama istri Dokter Ardian. Dokter Ardian mengulurkan tangan lalu mengangkat tubuh bayi itu dan mendekapnya di dada. Kulihat bayi laki-laki itu sangat tampan seperti Dokter Ardian. Aku bisa mengetahui jenis kelaminnya dari gelang warna biru yang ada di pergelangan tangannya.

Kulihat Dokter Ardian mendekap bayi itu dengan tubuh bergetar dan mata terpejam. Tidak lama kemudian tetesan bulir bening mengalir dari pelupuk matanya. Isak tangis pun mulai terdengar. Aku tahu apa yang dirasakan Dokter Ardian saat ini. Sedih dan sakit karena kehilangan orang yang dicintainya. Mataku pun berkaca-kaca melihatnya.

Setelah beberapa menit, Dokter Ardian menurunkan bayinya dan membaringkannya kembali di ranjangnya. Seusai mengusap air matanya, Dokter Ardian memandangku cukup lama. Kulihat ia tampak berpikir.

“Kamu tinggal di mana?” tanya Dokter Ardian padaku tiba-tiba.

Aku pun terkejut dan menjawabnya dengan gugup. “Rumah kos depan rumah sakit, Dok.”

“Nanti malam kemasi semua barang kamu. Mulai besok tinggallah di rumah saya untuk menjaga anak saya,” ujar Dokter Ardian kemudian.

“Tapi, bagaimana dengan pekerjaan saya di sini, Dok?” tanyaku dengan ragu. Aku baru saja lulus kuliah. Masih banyak yang harus aku pelajari di rumah sakit yang tidak aku dapatkan di bangku kuliah.

“Kamu bisa mengundurkan diri. Saya akan membayar kamu lebih dari yang kamu dapatkan di rumah sakit ini,” balas Dokter Ardian.

“Baik, Dok!” sahutku setuju tanpa berpikir panjang lagi. Saat ini, memang aku sangat membutuhkan banyak uang. Aku ingin membahagiakan Ibuku yang sudah membiayai kuliahku selama ini.

Hari pun semakin malam. Setelah bergantian dengan pegawai shift malam, aku pun kembali ke kosku yang berada di seberang rumah sakit.

***

POV Dokter Ardian

Hari ini aku merasa sangat bahagia ketika mendengar kabar bahwa istriku akan melahirkan. Akupun mempercepat kegiatanku di dalam ruang operasi. Untungnya, itu adalah jadwal operasiku yang terakhir. Aku pun segera bergegas ke ruang bersalin yang bersebelahan dengan ruang operasi di mana istriku tengah berjuang melahirkan anak kami setelah kegiatan operasi selesai.

Namun, ketika aku sampai di ruang bersalin, aku melihat istriku sudah tidak bernyawa lagi di atas tempat tidur.

“APA YANG TERJADI?!” tanyaku pada semua orang yang ada di ruangan itu dengan suara lantang. Kuedarkan pandanganku pada semua orang yang tengah tertunduk tidak berani menatapku, apalagi menjawab pertanyaanku.

“Terjadi emboli ketuban, Dok!” sahut Bidan Titik, salah satu Bidan senior yang membantu persalinan istriku.

Akupun segera menatap Bidan Titik yang berdiri tidak jauh dari ranjang istriku. Terlihat sekali kalau dia menjawab pertanyaanku dengan ketakutan.

“Emboli,” gumamku lirih dengan memejamkan mata.

Aku pun mendekat ke arah istriku yang tidak bergerak di atas tempat tidur. Aku meraih tangannya dan mengecup punggung tangan itu. Air mata tiba-tiba keluar dari pelupuk mataku.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku