Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Pranggg
Minami tersungkur usai ibunya mendorong ia tanpa ampun. Lututnya terbentur. Itu meninggalkan jejak nyeri meski tak tampak lukanya.
Minami mengangkat wajah. Air mata bercucuran deras, tetapi ia menatap ibunya penuh kebencian.
"Sebelum kau melakukan itu, pernahkah kau memikirkan masa depanmu?" Tanya ibunya, Dwi Handoko, dengan nada tinggi.
Minami balas menatap dua kali lebih tajam. Setelah beberapa saat, ia tertunduk diikuti senyuman mengerikan.
"Jawab aku!!!" lanjut ibunya, yang sudah diselimuti perasaan dongkol luar biasa hebat.
Lalu, teramat tenang Minami menjawab, "Sebelum bertanya padaku, harusnya Mommy bercermin lebih dulu. Lihatlah. Seperti apa Mommy ini?"
Jawaban itu kontan menggugah semua kemarahan ibunya. Hingga tanpa berpikir panjang, ia mengambil sapu lantas memukul Minami membabi buta.
"Dasar bocah sialan! Kau selalu menyebutku buruk! Kau selalu membenci aku! Kau selalu membandingkan aku dengan kelakuan jorok mu! Kau tidak berterima kasih! Anak tidak tahu diri!"
Umpatan terus keluar seiring dengan tangannya yang mengamuk tanpa jeda.
Minami melindungi wajah menggunakan dua tangannya. Hampir sekujur tubuh berhasil terkena pukulan itu. Ini membuat ia merasakan dua jenis sakit sekaligus. Sakit fisik juga sakit hati.
"Nyonya! Nyonya, tolong hentikan ini!"
Asisten rumah tangga mereka sekonyong-konyong berlari tunggang langgang dari dapur lalu menghambur ke tubuh Minami.
Wanita tua itu berusaha menghalau setiap pukulan Nyonya nya. Pada akhirnya ia sendiri yang terkena amukan lebih dari tiga kali.
Setelah Nyonya nya sadar. Sapu itu dilempar, dan ia sendiri berbalik pergi, menaiki undukan anak tangga.
Si Asisten merentangkan tangan. Ia menatap Minami dengan kesedihan luar biasa mengguncang.
"Non." Lantas, ia mengusap kepala Minami, sambil tetap memperhatikan lebam di sekujur tubuhnya. "Ayo ke kamar!"
Minami tidak berkata apapun, tetapi ia berdiri tatkala Asisten rumah tangganya menuntun bangun lalu pergi.
Sampai di kamar. Si Asisten rumah tangga itu mengambil kotak P3K dari lemari kecil sisi dipan.
Setiap lebam di tubuh Minami, ia obati tanpa terlewatkan. Setelah selesai, ia pamit membuat minuman untuk Minami. Begitu Asisten itu keluar, Minami bersiap mengumpulkan pakaiannya ke dalam koper lalu lantas secara diam-diam.
Di kamar lain.
Ibunya menerima telepon dari sahabatnya, sekaligus korban tindakan kotor Minami.
"Aku akan membawanya ke ranah hukum!"
Dwi Handoko terhenyak. "El, jangan lakukan itu. Ini … ini salah tapi Minami masih kecil. Dia masih ingusan. Dia tidak tahu apa-apa. Mari selesaikan secara kekeluargaan. Aku akan membawanya pergi supaya dia dan suamimu …"
Terlalu kotor. Dwi Handoko enggan mengatakan secara lengkap, tetapi Elena, sahabat Dwi Handoko, justru meneruskan secara terang-terangan.
"Supaya Minami dan Mas Dave tidak terikat lagi? Ck, kau salah, Dwi. Suamiku itu sudah terjerat bahkan cintanya membabi buta dengan Minami. Dan perlu kau tahu! Minami dan suamiku telah seringkali berhubungan badan. Ini yang membuat aku tak bisa memaafkan mereka!"
Perasaan Dwi Handoko terluka parah. Kedua lututnya seakan mati rasa. Ia berangsur-angsur jongkok kemudian terduduk, bercucuran air mata.
"Anakmu itu sama menjijikkannya denganmu, Dwi! Sama persis!" pungkas Elena, dua kali lebih menyakitkan.
Dwi Handoko mengakhiri panggilan. Ia menangis meraung-raung sampai satpam di luar rumah dapat mendengarkan suara wanita itu.
Sebagai ibu, tentu Dwi Handoko tidak terima putrinya disebut buruk serupa dirinya. Namun faktanya, Minami memang tidak jauh dari dirinya sendiri. Bocah SMA itu punya keberanian. Ia menggoda suami orang hingga suami orang itu terjerat kuat.
Disaat yang sama.
Minami berhasil keluar rumah tanpa dilihat oleh siapapun. Ia kabur tanpa berganti pakaian lebih dulu. Ia mengenakan seragam sekolah, yang kian jelas menunjukkan kalau dia masih SMA.
"Masa depanmu akan hancur!"
Sepanjang perjalanan, ucapan ibunya beberapa menit lalu terus terngiang-ngiang. Minami berusaha menepis, tetapi semakin ditepis suara itu malah semakin jelas.
Tadinya air mata Minami telah mengering. Namun, tanpa komando, ia kembali keluar disertai perasaan perih luar biasa menggigit.