Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Tergoda pesona Bos Perawan

Tergoda pesona Bos Perawan

Rezky kita

5.0
Komentar
10
Penayangan
5
Bab

Sein yang bekerja di sebuah perusahaan swasta memiliki seseorang bos wanita yang masih perawan. Dia memiliki seorang istri dan juga seorang putri yang cantik dan imut. Namun, karena tergoda dengan pesona dan rayuan dari sang bos yang masih tampak lebih muda dibandingkan istrinya yang hanya biasa saja membuat Sein menceraikan istrinya. Bagaimana kisah selanjutnya? Mampukah istri Sein yang hanya sebagai ibu rumah tangga bertahan hidup tanpa adanya sang suami?

Bab 1 Hadiah anniversary

terkendala.

Bab 1 Perceraian kado anniversary

Sein Rahmat adalah lelaki yang sangat aku cintai. Enam tahun memadu kasih dengannya membuatku menerima lamarannya di saat itu. Awal pernikahan hingga puteri kami berusia tujuh tahun, dia masih sangat mencintaiku. Menjadi imam yang soleh bagiku dan tidak perhitungan dengan uang. Namun, semua itu berubah setelah aku memergokinya selingkuh dengan bosnya sendiri. Gadis muda yang tujuh tahun lebih muda dariku, berkulit putih , berambut pirang hingga dua kali di taman.

Pagi ini, tepat sembilan tahun pernikahan kami. Putri kami yang diberi nama Delisha sudah berusia delapan tahun. Semenjak menikah, aku hanya sebagai ibu rumah tangga sementara mas Sein bekerja diperusahaan ternama RY GROUP sebagai manajer.

Waktu menunjukkan pukul delapan pagi, mas Sein belum juga keluar dari kamar.

"Mas..., ayo sarapan nanti makanannya dingin," panggilku dari ruang makan sambil melihat ke arah pintu kamar berharap mas Sein segera datang.

Beberapa menit kemudian, mas Sein keluar dari kamar .

"Mau kemana Mas?" ucapku lirih yang melihat mas Sein berpakaian rapi. Memakai kemeja berwarna navy, dengan bawahan hitam dan dasi yang senada.

"Ah, Kamu ini banyak tanya! Aku mau ke kantor!" dengus Sein kesal yang merasa aku perhatikan sejak tadi.

"Ke kantor?" ucapku heran seraya mengernyitkan dahi.

"Ya!" jawabnya singkat sambil merapikan dasinya yang dari tadi terlihat miring.

"Bukannya hari ini libur kerja Mas?" tanyaku lagi kepada mas Sein yang dari tadi tetap duduk di sudut ruang tamu.

"Ti - tidak, hari ini aku harus ke kantor ada proyek penting yang harus dikerjakan!" jawab mas Sein terbata - bata sambil memakai sepatu hitamnya.

Aku yang dari tadi heran melihat sikap mas Sein mencoba untuk tetap tenang dan mempercayai ucapannya. Namun, mulut ini tidak mau berhenti bicara tetap saja melontarkan pertanyaan - pertanyaan yang membuat mas Sein kesal.

"Aku harap kamu tidak mengulangi kesalahan yang ketiga kalinya Mas," ujarku dengan sayu. "Apalagi hari ini adalah anniversary kita yang ke sembilan tahun, apa gak bisa Mas libur dulu?" pintaku berharap mas Sein mendengarkan aku.

"Apaan sih ! Udah ah, aku berangkat!" cetus mas Sein .

Mas Sein mengambil kunci mobil yang tergantung di ruang tamu dan pergi begitu saja tanpa salam . Aku hanya melihat kepergian mas Sein sambil melambaikan tangan berharap dibalas tapi, nyatanya tidak. Aku menatap Dalisya yang dari tadi hanya diam mendengarkan celoteh orang tuanya dengan mengurai senyum tipis padanya.

"Ayo, makan Sayang!" ajakku kepada putriku yang dari tadi sudah menahan laparnya.

"Iya Ma," jawab Delisha yang sudah menuangkan sarapan pagi kepitingnya dan siap untuk disantap.

Hari sudah mulai siang, aku akan pergi ke toko kue untuk membeli kue ulang tahun pernikahan kami, sekalian belanja keperluan dapur seminggu. Aku berencana menitipkan Delisha di tempat ibu. Aku mengambil ponselku yang sedang dicharge.

Me [Assalamualaikum, ibu di rumah?]

Ibu [Wa'alaiqumsalam, iya Ran...kenapa?]

Me [Rani titip Delisha ya bu, Rani mau ke pasar .]

Ibu [ Oh iya, antar saja Delisha ke mari kebetulan ibu lagi tidak ke kebun.]

Aku pun bergegas mengajak Delisha ke rumah ibu, tidak lupa kuberikan jajan lima ribu rupiah. Jarak ke rumah ibu berkisar 10 menit, kami menempuhnya dengan mengendarai roda dua , berwarna hitam.

"Eh, cucu nenek sudah datang," sambut ibuku dengan riang yang sedang menyirami tanaman hiasnya.

"Nenek, " sapa Delisha sambil berlari menghampiri ibu kemudian memeluknya.

"Bu, aku titip Delisha bentar yah," ucapku dengan wajah memohon.

"Iya, gak usah gitu ah mukanya, gak enak dilihat," kata ibu sambil melemparkan senyum manisnya.

Aku beranjak pergi takut kelamaan nanti Delisha bosan minta di antar pulang, anak itu sedikit keras kepala.

Sesampainya di pasar, aku masuk ke toko kue langganan keluargaku.

"Mbak kue yang ini berapa?" tanyaku pada karyawan toko yang sedang berjalan menuju ke arahku.

"Seratus lima puluh ribu Mbak," jawab kasir kue itu yang sudah memperhatikanku rupanya.

"Ok, aku mau yang ini Mbak, lengkap dengan lilinnya angka 9 yah!" pintaku sambil menunjuk kue warna coklat ukuran sedang .

"Ok Mbak," sahut penjual kue. "Ini kuenya Mbak!" lanjutnya seraya memberikan kue yang ada di tangannya yang sudah dibungkus plastik kresek hitam. Aku bergegas memberikannya uang pas seratus lima puluh ribu rupiah.

"Terimakasih," ucapku dengan melemparkan senyum tipis dan meninggalkannya.

Aku menenteng plastik kresek hitam yang berisi kue ulang tahun pernikahanku dengan mas Sein dan bergegas keluar untuk belanja keperluan dapur.

Malam ini aku akan memasak makanan favorite mas Sein, gumamku dalam hati.

Tiba-tiba aku melihat mas Sein sedang bermesraan, bergandengan tangan dengan seorang wanita muda, berambut pirang, berkulit putih, langsing, sexy, dan cantik. Aku kenal betul siapa wanita itu, walau baru dua kali bertemu. Darahku mendidih naik sampai ke ubun-ubun, emosi yang memuncak tidak bisa kubendung lagi melihat penampakan di depan mataku.

"Mas, tega kamu ya!" teriakku pada mereka yang hanya berjarak satu meter denganku.

"Rani?" sahut mas Sein, ia pun tampak heran dan menggaruk-garuk kepalanya.

"Ini kamu bilang kerja Mas? Ini hari pernikahan kita, tapi kamu malah asyik jalan dengan wanita jalang ini!" jeritku sambil menangis dan menunjuk kepada gadis di sampingnya.

"Apa katamu, wanita jalang?" bentak wanita yang dari tadi tak melepaskan tangannya dari genggaman suamiku dengan mata melotot. "Lihatlah dirimu, kampungan! pantas saja Sein lebih betah denganku!" lanjutnya dengan geram dan menunjuk wajahku.

"Ya, Kamu wanita jalang, penghancur rumah tangga orang!" jari telunjukku menunjuk mukanya dengan geram.

"Apa-apaan sih kamu Ran, jangan buat malu deh, ini tempat umum!" hardik Sein dengan mata melotot.

"Apa? malu? kamu masih punya rasa malu Mas? Jalan dengan wanita lain sementara kamu sudah punya anak dan istri!" gertakku dengan wajah kesal dan gregetan.

"Sudah, sana pulang nanti di rumah saja dijelaskan!" perintah mas Sein dengan lagaknya yang sok ganteng.

"Apa, apa yang harus dijelaskan lagi? Toh semua sudah jelas, ini ketiga kalinya kamu ketahuan selingkuhi aku Mas," rintihku sambil meneteskan air mata yang tak bisa kutahan lagi.

"Sudahlah Sayang..., tak usah di hiraukan lagi, ayo kita pergi!" goda wanita yang bergandengan tangan dengan mas Sein sambil mengusap-usap dada mas Sein.

"Cuih! dasar wanita jalang! Tak tahu malu bermesraan di muka umum dengan suami orang!" dengusku seraya meruncingkan mulutku di depannya.

Mas Sein memandangku dengan mata melotot, muka merah delima, sepertinya dia marah besar padaku.

"Kamu ini ya!" hardik mas Sein, dia mengangkat lima jari tangan kanannya dan mendarat di pipiku.

Plakk,,,

Sungguh nikmat rasanya tiada tara, baru kali ini mas Sein mengenai tangannya padaku hanya karena wanita yang baru dia kenal beberapa bulan saja.

"Hahahaha, kasihan sekali," ejek wanita itu. Kemudian, ia mengibaskan rambutnya ke belakang.

"Sana pulang, jangan buat keributan di sini, nanti kita selesaikan semuanya di rumah!" usir mas Sein dengan lantang padaku.

"Maksudmu apa Mas?" tanyaku dengan suara parau dan mata memelas.

"Sudah, pulang sana!" bentak mas Sein, karena kesal melihat aku.

Hatiku hancur mendengar perkataannya. Aku bergegas pergi meninggalkan mereka, sambil menghapus air mata yang terus menetes membasahi pipiku. Aku tak percaya mas Sein tega menamparku hanya karena wanita itu. Tak lupa aku singgah di tempat ibu untuk menjemput Dalisya.

"Assalamualaikum Bu," ucapku dari luar pintu rumah ibu.

"Wa'alaiqumsalam," sahut ibu dari dalam rumah yang sedang memasak sayur asem.

"Bu, aku bawa Lisya pulang ya, makasih ya Bu udah jagain Lisya," lirihku dan melemparkan senyum tipis pada ibu.

"Kamu kenapa Ran...Kamu nangis?" tanya ibu dengan penuh keheranan.

"Oh gak Bu, tadi mata Rani kemasukan debu," sahutku dengan senyuman tipis kepada ibu agar ibu tidak curiga.

Tiba-tiba Delisha datang menghampiriku.

"Mama sudah pulang? Lisya masih mau main Ma!" pinta Lisya.

"Besok-besok kita kesini lagi ya Sayang," ujarku berharap Delisha menurut.

Delisha hanya terdiam dan menurut saja.

Waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore. Sesampainya di rumah, aku melihat mobil mas Sein terparkir di halaman rumah.

Tumben sudah pulang, apa karena masalah tadi? gumamku dalam hati.

"Ma, Papa udah pulang tapi siapa wanita itu Ma?" tanya Delisha padaku sambil menunjuk wanita yang sedang duduk di kursi teras rumah kami.

Aku terkejut ketika melihat wanita jalang itu ada di teras rumahku. Jantungku deg-degan tapi bukan jatuh cinta, darahku berdesir hingga ke ubun-ubun dan membuatku lemas seketika.

Ada apa gerangan yang akan terjadi pada keluargaku ini? bathinku.

"Hei!!! Kamu sudah pulang?" bentak wanita yang duduk di teras rumah kami itu. "Mas...Mas...dia sudah pulang nih!" teriaknya pada mas Sein yang berada di dalam rumah.

Delisha menatapku penuh keheranan, saat ini aku belum sanggup menjelaskan apa-apa pada putriku itu, kubalas tatapannya dengan sayu . Tiba-tiba mas Sein keluar dari rumah dengan membawa koper yang entah apa isinya, mungkin itu baju atau hal lainnya milik dia.

"Mas, mau kemana kamu?" tanyaku heran yang melihat mas Sein membawa koper.

"Aku mau pergi!" jawabnya singkat.

"Mas, jangan pergi... jangan tinggalkan aku dan Delisha!" pintaku sambil memegang tangan mas Sein.

"Aku sudah tidak bisa hidup denganmu lagi, hidup denganmu membuatku bosan dan aku akan menikah dengan Ryana!" cicit mas Sein yang menatap gadis muda itu dan meruncingkan bibirnya.

"Tolong pikirkan baik-baik Mas, setidaknya kalau bukan karena aku, tolong pikirkan putri kita. Aku tidak mau berpisah denganmu Mas,'' rintihku dan bersimpuh di kakinya berharap mas Sein luluh hatinya.

"Aku sudah memikirkannya, dan aku akan menceraikan Kamu! " bentak mas Sein yang sudah berkhianat.

Aku menangis, kupeluk Delisha yang dari tadi hanya berdiri mendengarkan pertengkaran kami . Tidak seharusnya anak sekecil itu melihat pertengkaran orang tua nya, Delisha pun ikut menangis. Dia juga memohon pada mas Sein agar tidak meninggalkan kami.

" Pa...tolong jangan pergi, nanti Delisha tidak punya papa," rengeknya sambil memeluk tubuh mas Sein.

"Maafkan Papa Delisha, papa sudah tidak bisa lagi hidup bersama Mama, jika Delisha mau, Delisha bisa ikut Papa!" ajak mas Sein membujuk Delisha.

"Gak, Delisha gak mau! Delisha butuh Papa dan Mama, bukan hanya Papa atau Mama saja!" bentak Delisha sambil menghentakkan kakinya.

"Kan ada Tante Sayang yang akan jadi Mama kamu," sambung Ryana yang dari tadi menikmati tontonan pertengkaran kami. Delisha hanya terdiam dan kembali memelukku.

Mas Sein pun kembali menarik kopernya, dan menggandeng mesra tangan Ryana tanpa memperdulikan kami. Mereka berjalan ke hadapanku tanpa sedikit rasa malu dan kasihan terhadap apa yang mereka perbuat.

"Rani, hari ini aku talak Kamu! Kamu sudah bukan istriku lagi, dan Kamu tidak berhak untuk ikut campur lagi dalam urusanku!" bentak mas Sein .

"Mas, jangan pergi! aku sangat mencintaimu, tolong pikirkan putri kita juga!" rintihku seraya bersimpuh di kakinya.

"Emang gue pikirin!" cetus mas Sein. "Hari ini juga, aku menceraikan Kamu!" lanjutnya dengan wajah penuh emosi seraya mengangkat kakinya sehingga membuatku tersungkur.

Bagaikan disambar petir, hancurnya hati ini berkeping- keping menerima kepahitan yang harus kutelan. Mas Sein lebih memilih Ryana gadis muda itu. Mereka bergegas pergi meninggalkan kami tanpa rasa bersalah. Air mataku jatuh bercucuran dan aku hanya bisa menatap kepergian mas Sein yang menggandeng mesra tangan gadis muda itu, yang berambut pirang, kulit putih dan sexi. Hingga akhirnya aku pingsan karena tak kuat menerima kenyataan ini

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Rezky kita

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku