Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
[Sayang, aku pulang agak malam, kamu dan Cheryl makan duluan aja, ya!]
Selena menghela nafas dengan berat. Pesan dari suaminya, Royano Budiman, menganggu suasana hatinya yang bersemangat merampungkan laporan kerja hariannya.
Diliriknya sudut kanan bawah laptopnya, pukul 17.15. Suaminya selalu memberi kabar menjelang jam pulang kantornya. Entah sengaja atau memang baru sempat memberi kabar.
Selena berniat acuh, tak ingin membalas pesan itu. Jarinya bergerak lincah pada keyboard laptop, melakukan pemeriksaan ulang pada setiap sheet dan file laporannya. Namun matanya tidak berhenti melirik ponsel.
[Iya, sayang. Jangan telat makan malam, ya! Oiya, kalau bisa hari ini bacain buku dongeng baru untuk Cheryl.]
Ditambahkannya emoticon kiss diakhir pesan. Berharap suaminya mengerti kerinduan hatinya membagi waktu bersama dengan Cheryl.
Ah. Tidak seharusnya aku takut meminta perhatian dari suami sendiri, bagaimanapun ini demi Cheryl, buah cinta kami. Bayi berumur 3 tahun yang sedang bersemangat mengeksplor dunianya.
Selena memijit batang hidungnya perlahan. Ia mulai jenuh bersikap seolah semua baik-baik saja. Ia enggan mengakui pernikahan mereka semakin dingin, meski baru akan genap 4 tahun bulan depan.
Dua menit berlalu sejak Selena membalas pesan Roy, tidak ada balasan lagi. Selalu begitu.
"Apa lagi yang kau harapkan, Selena? Jangan menunggunya pulang!"
Monolog yang membantunya melepaskan rasa sesak tertahan di dadanya. Ia bergegas untuk pulang. Tangannya membereskan laptop kerja dan merapikan meja. Ia terbiasa meninggalkan meja dan kubikel kerjanya dalam keadaan bersih dan rapi.
Sudah pukul 18.00, ia perlu ke toilet sebelum memesan taksi online.
"Lena, belum pulang?" Harris, managernya, menyapa dari ruangannya.
"Loh! Bapak masih ada?" Selena memundurkan langkahnya ke arah pintu ruangan.
"Baru selesai zoom meeting dengan direktur" seru Harris tanpa menoleh ke arah Selena berdiri.
"Semangat, pak! Ada kebijakan baru atau kerja tambahan, pak?" Ia masih berdiri di pintu.
"Nothing, masih sama dengan minggu lalu" jawaban pendek dari Harris membuat Selena kehabisan akal.
Ia berlalu setelah berpamitan. Mustahil membuat percakapan hangat dan panjang dengan managernya. Baik berdua maupun dalam tim, managernya konsisten pelit berbicara, bahkan menghindari kontak mata.
Selena mengingat lagi hari pertama Harris bergabung di kantor, itu dua tahun yang lalu. Saat itu Selena ditunjuk oleh direktur untuk membawa Harris berkenalan ke seluruh departemen. Candaan teman-teman ditanggapi Harris dengan senyum tipis dan 'oh' saja.
Meski sejauh ini belum pernah ada masalah yang berarti dalam pekerjaan dengan Harris, Selena sangat berhati-hati agar tetap nyaman dalam bekerja. Stigma bos laki-laki manipulatif dan suka melecehkan staff perempuan tidak ada dalam tampilan harian Harris.
Selena bergegas dari toilet setelah menerima panggilan dari supir taksi online pesanannya. Digenggamnya tas kerja di tangan kanan, shoulder bag kesayangan yang dihadiahkan Roy saat ulang tahun pernikahan mereka yang pertama.
"Yaah! Lupa lagi!" Selena mendengus kesal, tas bekalnya masih tertinggal di meja kerja. Ia berlari kecil sambil menulis pesan singkat ke supir agar menunggu.
"Bugh!" Tubuhnya menabrak seseorang dan hampir kehilangan keseimbangan.
"Kamu bisa lebih hati-hati?" Harris membantunya berdiri tegak. Telapak tangannya yang besar menempel di punggung dan panggul Selena. Alih-alih menegakkan posisi berdiri, Selena malah memeluk Harris karena posisinya yang juga belum seimbang.
Terlalu asik dengan ponsel sambil berlari kecil membuatnya menabrak Harris di pintu masuk ruangan departemen mereka.
"Kamu gak papa? Ada yang sakit?" Harris membuat jarak sambil memasukkan tangan ke kantong celananya. Matanya lurus menatap Selena.
Belum hilang degub jantung karena panik, Selena malah semakin gugup karena tatapan mata Harris.
"E ... saya gak apa-apa, pak. Saya minta maaf" Sedikit nyeri di dahinya, sepertinya akibat benturan dengan dagu Harris.
Menyadari kecanggungan yang harus diakhiri, Selena mengangguk pamit, "Tas bekal saya ketinggalan, pak. Saya buru-buru karena taksi pesanan saya sudah di lobby"
Ia berlalu dari hadapan Harris tanpa menunggu sahutan pria itu. Rasa gugup makin menjadi saat ia lihat Harris masih berdiri memandanginya.
"Pak, saya duluan. Saya pamit kedua kali, nih!" erang Selena pelan dengan senyum. Harris melangkahkan kakinya mengikuti Selena.
Keduanya membisu saat mengantri lift dan turun ke lobby. Selena yang tak ingin lebih canggung lagi langsung menuju taksi pesanannya.
"Huft ... apes banget, sih! Untung pak Harris gak marah" Selena ingat Harris terdesak ke pintu kaca saat tabrakan tadi. Diusapnya dahi yang masih perih, tak hanya karena benturan juga karena janggut kasar Harris yang baru tumbuh menggesek dahinya.
'Kepalanya tadi nabrak kaca, dong!' Mulut Selena membulat. Ia ingat lagi, Harris tampak baik-baik saja tadi bahkan menatapnya lama. Tatapan yang membuat Selena gugup, rasa khawatir terpancar dari netra coklat tua itu.
Ada buncah hangat di dadanya, sudah lama ia tidak melihat hal itu di mata Roy. Sejak hamil dan melahirkan Cheryl ada jarak tercipta. Entah sejak kapan mereka saling acuh dan abai, tidak ada lagi pelukan hangat dan obrolan enak di rumah. Ia rindu tatapan sayang Roy.
Matanya mendadak memburam. Genangan air bersiap jatuh dari sudut matanya. Tidak, ia tidak boleh menyerah. Menangis tidak menyelesaikan masalah. Malah akan membuatnya tampak semakin konyol di depan Roy.
Diusapnya lengannya perlahan. Pelukan Harris terekam jelas dalam memorinya. Kedua telapak tangan yang menempel menopang punggung dan panggulnya, juga perut dan dada Harris di dadanya. Ia bahkan merasakan paha kokoh Harris berada diantara kedua pahanya saat akan terjatuh.
Selena memejamkan mata, menahan gejolak yang muncul karena ingatannya. Ia malu dengan dirinya, tak seharusnya tubuhnya merespon cepat hanya karena pelukan Harris. Tubuhnya berdenyut, ia butuh pengalihan.
Dipandanginya jalanan yang padat dengan kendaraan serupa. Jam pulang kantor memang tak ayal membuat macet. Semua orang ingin segera tiba di rumah bertemu dengan keluarga atau sekedar melepas penat dari sibuknya pekerjaan. Sama hal dengan dirinya, selalu ingin tiba lebih awal di rumah, memeluk Cheryl dan main berdua. Sambil menyiapkan makan malam untuknya dan Roy, andai Roy mau pulang lebih awal.
Jalanan kembali lancar saat memasuki area perumahan tempat tinggal mereka. Selena berusaha tetap optimis dan bersemangat. Ia tak ingin Cheryl bertemu dengan wajah muram atau lelahnya. Senyum nakal terbentuk di bibirnya, ia punya rencana dipenghujung malam.