Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Wanita Di Dada Suamiku

Wanita Di Dada Suamiku

Elisien

5.0
Komentar
172
Penayangan
5
Bab

Mariam sudah sangat percaya diri bahwa dirinya bisa menjadi pengganti bagi wanita yang telah tiada dalam hidup suaminya. Namun, ternyata Adam masih membiarkan mendiang istrinya bertakhta di hatinya sekalipun sudah delapan tahun dia dan Mariam menikah. Ukiran dari jarum dan tinta di dada sebelah kirinya bukan hanya sebatas simbol, melainkan tanda bahwa mendiang istrinya-Medina tidak bisa tergantikan. Bayang-bayang masa lalu suaminya menghantui Mariam, rasa marah dan cemburu pada yang sudah mati terasa seperti perasaan bodoh baginya. Hanya saja, memang begitu adanya. "Lalu, kenapa tetap menikahiku kalau hatimu masih untuk dia yang sudah mati?" Adam terdiam lama. "Ambil saja nisannya untuk menemani tidurmu." Kalimat terakhir Mariam sebelum akhirnya dia bungkam untuk Adam untk awaktu yang lama.

Bab 1 Bayangan Masa Lalu

"Pagi, istriku."

Suara bariton itu menyapa pendengaran si cantik Mariam yang baru saja terbangun dari tidurnya. Matanya yang masih sulit untuk dibuka dan wajahnya masih bengkak mencoba tersenyum pada sang suami yang sudah siap dengan setelan kerjanya. Mariam bukanlah istri yang buruk, namun untuk hari ini dan enam hari kedepan adalah kesempatannya untuk bermalas-malasan karena sedang masa datang bulan yang tidak mengharuskan bangun pagi buta untuk melaksanakan kewajibannya kepada Tuhan. Hal ini juga merupakan kesempatan untuk dimanja oleh suaminya–Adam, yang sangat mengerti tentang wanita.

"Sudah siap saja, Mas. Memangnya mengajar jam berapa?"

Mariam bukanlah seorang pengingat yang baik sekalipun delapan tahun menikah dengan Adam tak membuatnya mengingat dengan jelas jadwal mengajar Pak dosen Adam itu. Dia masih sering bertanya tentang jadwal mengajar yang terus berulang selama bertahun-tahun.

Namun, Adam tetap menjawabnya dan memberi rincian tentang jadwal mengajarnya di kampus.

"Masih nanti siang, sih. Tapi saya harus bertemu dengan mahasiswa yang akan bimbingan," katanya dengan santai memakai dasinya sendiri di depan cermin.

"Bimbingan pagi-pagi?" Mariam mendekat, memeluk tubuh kekar itu dengan erat dan menempelkan wajahnya di punggung lebar Adam.

"Iya. Saya sudah bosan bertemu dengan mahasiswa yang satu itu, jadi harus cepat diselesaikan agar dia cepat lulus dan gak meneror untuk meminta bimbingan." Adam menjawab dengan hembusan nafas pelan di akhir.

Dia berbalik dan terpaksa melepas pelukan istrinya yang tampak masih mengantuk itu. Jarinya menyelipkan anak rambut Mariam dan mengusap pipi gembul itu dengan penuh kehangatan.

"Saya pulang malam, ya?"

Mariam memandang suaminya itu untuk beberapa detik kedepan. Keningnya mengernyit, sorot matanya seolah mengisyaratkan pertanyaan yang diawali dengan 'kenapa?'. Ya, kenapa harus pulang malam?

"Haru minta jalan-jalan dan menonton."

Haru. Jika sudah menyangkut tentang Haru, Mariam tidak pernah membantah, dia mengangguk dengan kedua sudut bibir terangkat membentuk senyuman indah namun terkesan kaku. Delapan tahun menikahi Adam yang notabenenya duda ditinggal mati sang istri dan memiliki satu anak perempuan, tidak juga menghilangkan rasa cemburu Mariam yang telah berusaha keras untuk mewajarkan hal itu. Entah harus berapa tahun lagi dia habiskan untuk menganggap semuanya wajar dan tidak merasa cemburu.

"Boleh," katanya sembari membalas belaian Adam pada pipi kanan pria itu.

"Mau titip apa?" tanya Adam.

"Mmm ... belum ada yang aku inginkan, nanti kalau ada aku telepon, ya."

Anggukan singkat itu kemudian dibarengi dengan lepasnya usapan hangat Adam menandakan bahwa dia harus segera bergegas. Tak lupa memberikan kecupan pada bibir yang masih segar dengan warnanya yang menggoda itu. Mariam mengantar hingga pintu depan, melambaikan tangan saat mobil suaminya mulai melaju keluar dari pekarangan rumah mereka.

Selanjutnya, Mariam kembali merasa kosong. Dia sempat melamun, terbesit lagi pikiran untuk memiliki anak. Delapan tahun menikah tetapi tak kunjung dikaruniai buah hati tentu membuat hatinya ngilu. Baik dirinya maupun Adam tidak ada masalah, dan seharusnya itu memudahkan mereka untuk memiliki momongan.

"Mungkin, kalau aku bisa memberinya anak, Mas Adam bisa diam di rumah tanpa harus terus menerus menemui Haru."

Mungkin menurut banyak orang jika mengetahui isi hatinya itu, Mariam adalah Ibu tiri yang jahat. Padahal, perasaan semacam itu normal, Mariam adalah istri yang harus menanggung kecemburuannya pada anak dari suaminya yang lebih banyak mendapat perhatian, bahkan harus cemburu pada mendiang istri suaminya yang telah tiada lebih dari sepuluh tahun yang lalu.

Bagaimana dia bisa tidak untuk cemburu kalau Adam saja masih membiarkan ukiran indah dari tinta di dada kirinya yang melukiskan wajah dengan senyuman indah yang di sampingnya tertulis kecil nama wanita itu, Medina–mendiang istri Adam.

Sebesar itu rasa cintanya terhadap mendiang Medina sehingga melupakan rasa cemburu Mariam yang merupakan istrinya saat ini dan mungkin seterusnya.

**

Adam dengan kacamata hitamnya yang bertengger di hidung mancungnya berjalan dengan menenteng bunga mawar putih dan memasuki area pemakaman yang padat itu. Kakinya membawanya pada makam wanita yang berhasil membuatnya sulit melupakan hingga bertahun-tahun lamanya.

Dia berhenti di makam yang ditutupi rumput hijau pendek dan terurus. Batu nisan bertuliskan Medina Hanisa diusap dengan tangannya.

"Assalamualaikum, Medina." Adam menyapa dengan lembut. "Maaf saya jarang berkunjung beberapa tahun terakhir."

Kegiatan bulanannya, yakni berziarah ke makam Medina sudah jarang terlaksana karena Adam juga ingin menjaga perasaan Mariam.

"Maaf karena jarang membawa Haru kesini, ya," ucapnya lagi. "Ini saya datang bawa bunga yang kamu sukai sejak dulu, nanti sore saya datang lagi bersama Haru."

Adam menghela nafas, tangannya masih mengusap nisan dingin mendiang istrinya. Entah apa yang membuatnya berat untuk melupakan sosok Medina, rasanya dia sudah sangat berlebihan, tapi apa boleh buat? Medina adalah cinta pertamanya sejak di bangku SMA hingga menikah dan saat mereka sama-sama lulus kuliah, keduanya memutuskan untuk menikah.

Saat itu Adam seolah dibawa terbang tinggi dengan keadaan dimana Medina hamil tak lama setelah mereka menikah. Keduanya menantikan kehadiran si kecil bersama-sama, bahkan saat melahirkan Haru pun, Adam menemani Medina di ruang bersalin, menyaksikan bagaimana istrinya berjuang demi anak mereka. Semua hal itu membawa euforia tersendiri bagi Adam, kini dia memiliki keluarga kecilnya sendiri.

Namun, belum genap empat puluh hari Haru kecil terlahir, Medina harus berpulang. Ada hal serius yang terjadi setelah beberapa minggu dia melahirkan putri untuk Adam.

Adam merasa dunianya runtuh. Bahkan dalam waktu yang bersamaan dia juga baru mengetahui bahwa Haru memiliki kelainan pada jantungnya. Kebahagiaan itu seolah sirna, seperti debu yang tersapu oleh angin. Siapapun akan hancur apabila ditinggalkan oleh yang terkasih, Adam bahkan membesarkan Haru sendirian, dia hanya fokus bekerja dan mengurus Haru. Beberapa tahun berlalu pun dia tak pernah dekat dengan seorang wanita, hingga akhirnya bertemu dengan Mariam yang merupakan pegawai di toko bunga tempatnya biasa membeli bunga untuk mendiang Medina.

Kisah cinta mereka sangatlah singkat, perkenalan hanya berjalan kurang lebih dua bulan dan Adam memutuskan untuk menikahi gadis itu. Hal tersebut menimbulkan pertikaian, orang tua Medina tidak ingin jika cucu mereka–Haru, harus hidup dengan Ibu tirinya–Mariam. Sehingga, delapan tahun yang lalu Haru hidup dengan nenek dan kakeknya.

Adam bangkit, dia membuang nafas pelan sebab kepalanya justru mengirimkan ingatan lama mengenai kehidupannya bersama Medina dulu. Dia menyadarkan dirinya bahwa ada Mariam yang kini harus dia cintai. Kakinya melangkah pergi setelah cukup lama berada disana. Dia tak ingin berbohong pada Mariam tentang bimbingan yang dibicarakan tadi pagi, sehingga Adam bergegas untuk memenuhi janjinya pada mahasiswa yang sudah merengek meminta waktunya untuk bimbingan tugas akhir.

****

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku