Rumah tangga hancur karena kehadiran pelakor.
Apa yang kalian bayangkan ketika kata pelakor mulai bermunculan dimana-mana. Gelisah? Tidak tenang? Uring-uringan? Tentu saja. Terlebih lagi ketika sikap suami perlahan mulai berubah dan tidak seperti biasanya.
Aku menghela nafas. Beribu pertanyaan terus berputar-putar memenuhi otakku. Berkali-kali ku coba menempelkan ponselku di telinga, namun tidak ada jawaban apa-apa. Kemana mas Heru? Apa dia baik-baik saja sekarang. Kenapa akhir-akhir ini dia sudah sangat jarang menghubungiku lagi.
Dari sekian banyak pesan yang ku kirimkan, tidak ada satupun yang di balas. Bahkan dibaca saja tidak. Apa dia sesibuk itu sampai-sampai tidak mempunyai waktu untuk membalas pesanku. Huh, resiko punya suami kerja di luar kota.
"La, Nala." teriak seseorang dari lantai bawah. Suaranya terdengar begitu lantang. Nyaris terdengar seperti orang sedang marah.
Aku buru-buru keluar kamar. Menapaki satu persatu anak tangga yang akan membawaku menuju lantai bawah. Sesampainya di bawah, tatapan tajam ibu mertuaku langsung menyambut kedatanganku.
"Iya bu, ada apa?" Tanyaku kepadanya.
"Ada apa, ada apa. Kamu itu gimana sih! Jadi ibu nggak becus menjaga anaknya. Lihat tuh anak kamu, lompat-lompat di atas sofa."
Ku alihkan tatapanku ke arah sofa. Benar saja, Nina anakku terlihat melompat-lompat di atas sana dengan wajah polosnya.
"Kamu tau sendirikan itu sofa mahal harganya. Baru ibu beli kemarin pula. Nanti kalau rusak gimana?" Omelnya habis-habisan.
"Kamu itu harusnya jagain dong anak kamu. Nanti kalau dia nggak sengaja menyenggol barang-barang yang ada di rumah ini memangnya kamu mampu mengganti rugi."
Aku melangkahkan kedua kakiku menghampiri Nina. Aku tidak bisa menyalahkannya karena terkadang anak seusia Nina memang sedang aktif-aktifnya.
"Satu lagi, bilangin tuh sama anak kamu. Kalau jajan jangan banyak-banyak. Kamu pikir Heru nggak susah apa cari uang buat menghidupi kalian berdua."
Aku hanya diam mendengar penuturan ibu mertuaku. Loh, bukannya tugas seorang suami memang sudah seharusnya begitu ya.
"Kalau ada anak tetangga yang jajan, jangan suka ikut-ikutan. Terus kalau ada penjual makanan yang lewat jangan dipanggil. Ajak anak kamu masuk ke kamar."
"Iya bu."
"Paket!" Teriak seseorang dari luar rumah. Sepertinya itu kurir yang ingin mengantarkan pesananku beberapa hari yang lalu.
"Iya tunggu sebentar." aku berjalan menuju keluar rumah sembari menuntun Nina yang berjalan di sampingku. Setelah melakukan proses pembayaran aku kembali masuk ke dalam rumah.
"Pesan barang lagi?"
"Iya bu, tas baru untuk Nina."
"Nina kan masih kecil. Untuk apa dibelikan tas? Lagi pula diakan belum sekolah. Buang-buang uang aja."
"Nggak papa bu. Biar nggak rebutan lagi sama anak tetangga." Balasku disertai senyuman.
"Lagi pula tas Nina yang lamakan masih ada. Kenapa harus beli yang baru? Kamu itu kebiasaan tau nggak! Selalu aja manjain anak. Nanti kalau sudah besar apa-apa mesti diturutin karena sering dimanja oleh orang tuanya sejak kecil."
"Tas Nina yang lama sudah rusak bu. Nggak bisa di resleting. Makanya Nala belikan yang baru."
"Kamu ini gimana sih. Harusnya kamu itu sebagai istri harus pintar-pintar mengatur uang suami. Jangan dihambur-hamburkan untuk membeli sesuatu yang nggak penting. Memangnya tas bisa dimakan? Memangnya tas bisa membuat kamu dan anak kamu nggak kelaparan!" Balas Samita.
"Kamu pikir cari uang itu gampang? Kamu pikir anak ibu itu gudang uang yang bisa kamu porotin setiap saat?"
Aku terdiam sembari menundukan kepala. Mungkin diam lebih baik dari pada membantah yang berakhir dengan pertengkaran.
"Kalau begini terus gimana mau punya rumah. Masa iya seumur hidup mau numpang sama ibu. Memangnya nggak malu?" Sindir Samita.
Astaga, hatiku berdesir hebat mendengar perkataan ibu mertuaku barusan.
"Yaudah kamu ke dapur sana. Masak makanan buat makan nanti malam. Ingat, jangan terlalu asin. Bisa-bisa darah tinggi ibu naik karena kebanyakan makan masakan kamu." Titahnya.
"Iya bu." Ku bawa tubuh mungil Nina ke dalam gendonganku dan membawanya menuju kamar. Sebaiknya aku menidurkan Nina terlebih dahulu, baru setelah itu berkutat pada alat-alat dapur.
Sebelum itu, kuraih ponselku yang berada di atas nakas lalu menyalakan layarnya. Kali saja ada panggilan masuk atau pesan dari mas Heru.
Aku menghela nafas. Kosong! Tidak ada pesan ataupun panggilan masuk dari mas Heru seperti yang ku harapkan.
"Awas aja kamu mas. Begitu kamu pulang nanti aku cuekin kamu seperti kamu cuekin aku. Biar kamu tau gimana rasanya dicuekin." Ucapku dalam hati.
Perlahan ku baringkan tubuh mungil Nina ke atas kasur. Menarik selimut tebal hingga menutupi tubuh mungil itu sampai sebatas dada.
Aku mendekatkan wajah. Memberikan kecupan singkat di kening Nina yang tengah tertidur pulas.
Bersambung..
Bab 1 Mertua Julid
24/08/2023
Buku lain oleh D_Loveliqq
Selebihnya