/0/28624/coverorgin.jpg?v=fed94a2e5fc1377317852acfd51dc459&imageMogr2/format/webp)
Di suatu siang, Anjasmara tampak berada di sebuah kedai untuk mengisi perut. Pemuda berusia dua puluh tahun ini berbaur dengan pengunjung lain.
Ketika sedang menikmati santapannya, tiba-tiba terdengar gumaman pengunjung kedai lain. Bisik-bisik dengan nada penuh ketakutan. Sepertinya mereka tidak berani bersuara keras.
Si pemuda segera mencari tahu apa yang terjadi. Anjasmara memutar bola mata ke sana kemari tanpa memalingkan kepala.
Tak lama kemudian di jalan depan kedai tampak lewat satu rombongan orang. Rupanya ini yang dibicarakan orang-orang.
Anjasmara melihat seorang gadis yang diikat seluruh badannya, diusung di atas tandu yang dipikul oleh empat lelaki berbadan kekar.
Di belakangnya ada belasan orang berjalan mengikuti. Setelah lewat jauh, Anjasmara baru menanyakan hal tadi kepada pemilik kedai.
Si pemilik kedai tampak ragu untuk menjawab. Seolah takut terdengar oleh rombongan yang lewat tadi. Sampai-sampai keringat kecil menetes di dahinya.
"Tenang saja, Pak. Mereka sudah jauh, katakan saja!" bujuk Anjasmara.
"Itu gadis persembahan untuk Dewi Gedeng Permoni!" Suara si pemilik kedai sedikit berbisik, tapi masih terdengar jelas ke telinga Anjasmara.
"Persembahan?" Anjasmara kerutkan dahi. Mencari jawaban lain.
Kemudian Si pemilik kedai agak mengeraskan suara dari sebelumnya. Merasa keterangan ini harus disampaikan kepada tamunya.
"Desa ini dikuasai oleh wanita setengah siluman Dewi Gedeng Permoni yang setiap purnama meminta gadis persembahan. Karena kalau tidak menuruti permintaannya, maka desa ini akan selalu dilanda bencana,"
"Tidak masuk akal!" gumam Anjasmara. "Terus sudah berapa gadis yang dikorbankan?" tanyanya kemudian.
"Ini yang ke dua belas!"
"Waduh!" umpat Anjasmara.
Lagi-lagi kening Anjasmara semakin mengkerut. Dia harus tahu lebih banyak tentang hal ini, dia harus ikut campur masalah ini. Desa ini harus dibebaskan dari penipuan yang dilakukan Dewi Gedeng Permoni.
"Ini pasti cuma akal-akalan. Ada apa dibalik semua ini?" gumam Anjasmara.
Setelah beres makan dan membayar, Anjasmara segera keluar dari kedai. Dia diam-diam mengikuti rombongan yang membawa gadis persembahan.
Tidak susah untuk mengejar rombongan itu karena menggunakan ilmu meringankan tubuh yang dia miliki. Apalagi rombongan tersebut berjalan biasa saja.
Rombongan pembawa Gadis Persembahan itu kini sedang menaiki sebuah bukit kecil yang pepohonannya begitu rapat bagaikan di hutan.
Suasana di sana juga tampak mencekam seolah-olah di balik semak yang tersembunyi sudah ada makhluk mengerikan yang siap memangsa. Namun, Anjasmara tidak merasa gentar sedikit pun.
Anjasmara terus menguntit tanpa mengeluarkan suara. Dia ingin tahu seperti apa tempat yang akan menjadikan gadis di atas tandu itu sebagai persembahan.
Rombongan pembawa Gadis Persembahan sampai di puncak bukit yang tanahnya datar dan cukup luas seperti lapangan yang sisi-sisinya dipagari pepohonan.
Sementara Anjasmara sudah menemukan tempat untuk bersembunyi dengan aman. Keberadaannya tidak akan terendus oleh orang-orang itu.
Di tengah-tengah lapangan itu ada sebuah lubang besar seperti sumur yang dikelilingi batu-batu ukuran sedang yang disusun melingkar. Lubang ini dijaga empat lelaki bertubuh kekar.
Gadis yang diusung tandu diletakan di dekat lubang sumur. Lalu entah dari mana asalnya tiba-tiba berkelebat satu sosok dan mendarat tepat di depan Gadis Persembahan. Seorang wanita berpakaian seperti putri bangsawan.
Wanita berumur sekitar tiga puluh tahun. Wajahnya dewasa, tapi cukup menarik karena terbantu bentuk tubuh sintal padat menggoda kaum lelaki.
Di kepalanya terpasang sebuah mahkota kecil. Sorot matanya tajam. Pakaiannya begitu ketat sehingga memperlihatkan lekuk tubuhnya yang indah. Dada Anjasmara berdesir melihat tubuh wanita ini.
"Sembah untuk Dewi Gedeng Permoni!"
/0/19453/coverorgin.jpg?v=27cf6cfd19e4e6b5bb18463954ec3562&imageMogr2/format/webp)
/0/17322/coverorgin.jpg?v=42ab220d18228ed2cbfbbe34b318616c&imageMogr2/format/webp)
/0/6480/coverorgin.jpg?v=7b42e334b6b42ad5c0d3092eaacb4684&imageMogr2/format/webp)
/0/5817/coverorgin.jpg?v=5ef438976c051573a4e21b55f5f410c1&imageMogr2/format/webp)
/0/4346/coverorgin.jpg?v=e99ad841c1d7ed14fd14bd07f0817b0f&imageMogr2/format/webp)
/0/7027/coverorgin.jpg?v=75220ee91a5a06d65d76a3fd76c4fce3&imageMogr2/format/webp)
/0/15065/coverorgin.jpg?v=28936aea89b55535db921173a459096c&imageMogr2/format/webp)
/0/15780/coverorgin.jpg?v=4dceae18cd8653a26ddcb313f48d3eec&imageMogr2/format/webp)
/0/13100/coverorgin.jpg?v=afe254af17e871e6088cf43bee5fc044&imageMogr2/format/webp)
/0/17365/coverorgin.jpg?v=6db8622c3069ac6f74d1e2e5fb155f63&imageMogr2/format/webp)
/0/16463/coverorgin.jpg?v=83f6dd3af71ea3068b6d2868bc1debf9&imageMogr2/format/webp)
/0/2562/coverorgin.jpg?v=1c0bc876cf31e2917d8e16ad7eb33bc5&imageMogr2/format/webp)
/0/5715/coverorgin.jpg?v=a434b913e9c44fad1ab8c1500c38b6d6&imageMogr2/format/webp)
/0/4247/coverorgin.jpg?v=084a3a9b57319d8195e2577f605c01bc&imageMogr2/format/webp)
/0/12466/coverorgin.jpg?v=9708eb3a96ea70a88003a6546546066e&imageMogr2/format/webp)
/0/19255/coverorgin.jpg?v=bf25a176b00c418376355bc8252f0915&imageMogr2/format/webp)
/0/2351/coverorgin.jpg?v=33bc23e32df7f5ac3937c4479d10eeea&imageMogr2/format/webp)
/0/5137/coverorgin.jpg?v=3e12bdfe33eb1540a0e762dd56d321e1&imageMogr2/format/webp)
/0/10935/coverorgin.jpg?v=e86a26eb8434a9f9a6f97106a2619d18&imageMogr2/format/webp)