Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Cinta Sang Majikan

Cinta Sang Majikan

Kim Meili

2.5
Komentar
11.7K
Penayangan
31
Bab

Pernah menjadi korban pemerkosaan membuat Amber Aileen menjadi begitu putus asa. Kehidupannya yang masih muda harus hancur karena dia yang menjadi bahan cemoohoan warga dan berakhir dengan dia yang diusir dari rumah. Sakit, frustasi, mendorong Amber untuk melakukan percobaan bunuh diri. Namun, beruntung karena masih ada seseorang yang menyelamatkan dan meyakinkan Amber untuk mendapatkan kehidupan yang baik. Gavin Austin, merupakan pria dingin dan tanpa belas kasih. Siapa saja yang berurusan dengannya pasti akan berakhir mengenaskan. Sayangnya, hal itu tidak berlaku saat dia bertemu dengan Amber. Pria itu seakan terpesona dengan wanita itu, membuatnya selalu bersikap manis dan lembut. Sayangnya, apa yang Gavin lakukan malah menyulut emosi sang mama dan Eveline, wanita yang sudah dijodohkan dengannya. Hingga suatu malam, Gavin dan Amber melakukan hal yang membuat hubungan keduanya terus berlanjut dan sulit dipisahkan. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Akankah Amber mendapatkan kebahagiaan seperti yang pernah dijaniikan Gavin dengannya? Selain itu, apa yang akan dilakukan Amber ketika dia yang hamil malah menerima kabar mengejutkan dari Gavin?

Bab 1 Percobaan Bunuh Diri

“Jangan! Jangan lakukan itu! Jangan hancurkan kehidupan kamu!”

“Gadis cantik, kamu masih memiliki masa depan yang cerah!”

Suara teriakan terdengar dengan sangat jelas di bawah bangunan dengan dua belas lantai itu. Banyak orang berkerumun dan meneriakkan hal yang sama. Semua mendongakkan kepala, menatap ke arah bagian paling puncak gedung pencakar langit itu, berharap seseorang yang ada di atasnya tidak melakukan tindakan bunuh diri.

Namun, gadis berambut sepundak itu tidak mendengarkan sama sekali. Manik matanya menatap kerumunan yang ada di bawahnya dengan air mata terus mengalir. Terpaan angin kencang sesekali membuat rambutnya yang lurus bergerak. Pakaian sederhana yang dia kenakan pun sesekali bergerak, mengiktui arah angin yang terasa cukup panas. Hingga membuat gadis itu menutup mata secara perlahan.

Jangan, jangan lakukan itu, Om. Jangan sentuh aku!

Jangan. Tidak. Jangan. Tolong!

Sebuah ingatan melintas. Amber yang mengingatnya pun membuka mata dengan cepat. Terdengar deru napas berat yang begitu jelas. Raut wajah takut langsung tergambar, membuat Amber menelan saliva pelan. Degup jantungnya pun berdetak cukup keras, membuatnya meremas rok bergelombang yang dia kenakan.

Sejenak, Amber menatap kerumunan di bawahnya. Semua orang seakan mencemaskan dirinya, membuat Amber tertawa kecil. Di saat keluarganya membuangnya, kenapa orang asing begitu mencemaskan dirinya? Sebenarnya, mereka benar cemas atau hanya sekedar takut akan terjadi hal tidak menyenangkan di bangunan tempat mereka tingga? Pada akhirnya, tebakan kedua pastilah yang benar.

Amber menarik napas dalam dan membuang perlahan. Dunia memang tidak pernah berpihak dengannya. Dia yang sudah menjadi yatim piatu harus tinggal dengan sang paman yang tidak menyukai dirinya. Mungkin, jika rumah yang mereka tempati bukanlah peninggalan dari orang tuanya, Amber yakin, sejak kecil dia sudah tinggal di jalanan. Menyadari tidak ada seseorang yang harus dia pikirkan, Amber mulai melangkahkan kaki, menuju ke arah pinggir rooftop. Dia akan mengakhiri hidupnya saat ini juga. Lagi pula, untuk apa dia hidup kalau tidak ada yang menginginkannya?

“Jangan lakukan itu!”

Amber yang mendengar suara teriakan itu begitu dekat pun menghentikan langkah. Hanya kurang tiga langkah dan hidupnya akan berakhir saat ini juga. Namun, teriakan itu membuat Amber menghentikan niatnya. Dengan tenang, dia memutar tubuh dan melihat wanita paruh baya tengah berdiri di depannya dengan napas tersengal.

“Gadis cantik, jangan lakukan itu. Jangan akhiri hidup kamu yang masih muda ini,” ucap wanita itu, menatap Amber lekat.

Amber yang mendengar pun tersneyum sinis dan mengalihkan pandangan. “Kenapa? Kamu takut aku akan mati dan menjadi arwah gentayangan di bangunan itu sehingga mengganggu kehidupan kalian?” tanya Amber sinis.

“Bukan karena itu. Lagi pula, aku tidak tinggal di sini. Jadi, aku tidak mempermasalahkan hal itu,” jawab wanita itu dengan tenang.

“Kalau begitu, kenapa kamu menghentikanku? Aku tidak mengenal kamu dan aku tidak akan menuruti kemauan kamu. Aku ke sini untuk mengakhiri hidup dan aku tidak akan mendengarkan apa pun yang kalian katakan.” Kali ini, Amber terlihat sangat serius dengan apa yang dia ucapkan.

“Aku Mega. Aku ke sini karena aku tidak mau kamu melakukan hal gila. Kamu masih memiliki kehidupan yang panjang. Kamu masih muda dan tidak seharusnya kamu mengakhiri hidup dengan cara seperti ini. Kamu masih memiliki masa depan yang cerah, Nak.”

“Masa muda dan masa depan yang cerah,” ulang Amber dan tertawa kecil. “Dimana letak masa depan yang cerah, Nyonya? Sekarang aku bahkan tidak memiliki tempat tinggal. Orang tuaku meninggalkanku sejak kecil, menjadikanku anak yatim dan piatu. Sekarang, aku diusir dari rumahku sendiri karena masalah yang tidak aku inginkan. Selain itu, masyarakat menolak kehadiranku. Mereka mencemooh. Padahal aku tidak melakkan kesalahan apa pun. Aku hanya korban pemerkosaan dan mereka begitu mengucilkanku. Mereka bilang, aku membawa nama buruk untuk desa dan keluargaku. Coba katakan, dimana masa depanku?!”

Amber menitikkan air mata dan menatap wanita di depannya lemah. “Aku juga tidak mau mengalaminya. Aku tidak mau menjadi korban pemerkosaan seperti ini. Aku juga tidak mau menjadi bahan cemoohan. Aku tidak bersalah apa pun, tetapi mereka malah menghukumku dan bukan pria-pria kurang ajar itu,” lanjut Amber.

Mega yang mendengar hal itu pun terdiam, menatap Amber yang begitu lemah. Dia bisa melihat raut wajah frustasi dari gadis itu. Tubuh ringkih dan pakaian sederhana seakan membuatnya tampak semakin menyedihkan. Hingga perlahan, dia mengulurkan tangan dan menatap lekat.

“Kalau mereka tidak menerima dan membuang kamu, ikutlah denganku. Kamu mulai semua dari awal dengan kehidupan yang jauh lebih baik. Aku pastikan, kamu akan bahagia di tempat baru kamu,” ucap Mega.

Amber yang sejak tadi menundukkan kepala pun menatap ke arah Mega berada. “Kemana?”

***

“Selamat malam, Tuan,” sapa seorang pelayan sembari menundukkan kepala.

Namun, sapaannya tidak mendapat jawaban sama sekali. Pria itu masih terus melangkahkan kaki lebar. Raut wajahnya sama sekali tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Tatapan setajam elang pun tidak beralih sama sekali. Hingga dia yang sudah sampai di ruang makan pun menghentikan langkah dan menatap dua orang yang tengah duduk bersebelahan dengan raut wajah bahagia.

“Ma,” panggil Gavin dengan tenang.

Kala—mama Gavin yang mendengar hal itu pun langsung menghentikan obrolan. Manik matanya menatap ke asal suara dan tersenyum lebar ketika melihat putra tunggalnya itu datang. Dengan tenang, dia bangkit dan melangkahkan kaki, menuju ke arah putranya.

“Kamu sudah pulang dari tadi?” tanya Kala ketika sudah berhenti di depan Gavin.

“Baru saja,” jawab Gavin singkat. Manik matanya beralih, menatap wanita dengan pakaian modis yang tengah duduk dan menatapnya lekat.

Kala yang mengerti dengan tatapan putranya pun mengulum senyum. Dia meraih lengan Gavin dan berkata, “Eveline sudah menunggu kamu dari tadi. Dia mau makan malam bersama dengan kita dan karena sekarang sudah lengkap, mama rasa kita sudah bisa memulainya.”

Namun, Gavin yang mendengar hanya diam. Dia tidak menolak, tetapi tidak juga antusias. Dia hanya melangkahkan kaki, menuju ke arah meja makan dan mengikuti sang mama. Sampai dia yang sudah berada di sana pun duduk di kursi paling depan, membiarkan pelayan lain menyiapkan makanan di piring mereka.

Eveline yang sejak tadi menatap Gavin pun tersenyum lebar. “Gavin, bagaimana kabar kamu? Aku dengar kamu baru membuka kantor cabang baru. Apa semuanya lancar? Kalau kam….”

Gavin yang mendengar ocehan Eveline pun hanya diam. Dia memilih mengalihkan pandangan, menatap ke arah lain dan mendapati Mega tengah melangkah ke arahnya. Namun, bukan asisten rumah tangganya yang menarik perhatian. Gavin yang melihat lebih tertarik dengan gadis yang berdiri di sebelah Mega. Hingga keduanya berhenti tidak jauh dari Gavin, membuat pria itu menatap tajam.

“Kamu membawa siapa, Mega?”

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Kim Meili

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku