Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Sang Pemuas
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalinya Marsha yang Tercinta
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Mas Ganding adalah suami sempurna di mataku. Dia ayah terbaik di dunia yang tidak pernah marah ataupun bersikap kasar.
Ia juga romantis selalu memanjakanku dengan hadiah-hadiah kecil. Kadang membelikan lipstik dan gaun keluaran terbaru. Rumah yang berantakan tidak membuatnya emosi, ia mengerti dengan anak kami yang berumur empat tahun sedang aktif-aktifnya.
Tak jarang Mas Ganding membantu pekerjaan rumah tangga. Mencuci piring dan menyapu. Aku wanita paling beruntung di dunia punya suami seperti dirinya.
"Sini biar, Mas saja yang gantikan cuci piring. Kamu jaga Anju saja dan temani bermain."
Mas Ganding mengambil alih tugasku, mencuci piring yang menumpuk di wastafel.
"Makasih sudah mau membantuku, Mas. Tetaplah seperti ini selamanya," bisikku memeluk pinggangnya dari belakang.
Dia membalikkan badan, menghadapku, merengkuh wajah ini agar mendongak menatapnya yang jauh lebih tinggi.
Lihatlah wajah ini yang tampan, alis tebal dan lesung pipi di sebelah kanan mirip penyanyi Afgan. Matanya yang menatap lembut, guratan muka orang baik.
Mas Ganding tersenyum, memperlihatkan barisan gigi yang putih. Membuat wanita mana saja betah lama-lama memandangi kagum.
Sekilas ia mengecup bibir ini." Mas akan selalu begini dan mencintaimu."
Ah, aku seperti terbang ke langit ke tujuh mendengar bisikkannya. Aku memeluk erat. Ya, akulah ratu yang paling beruntung bisa bersanding dengan raja terbaik sepanjang masa.
Suara dentum bel membuatku segera melepaskan pelukannya. Ada tamu yang datang berkunjung ke rumah.
"Mbak, Meta?!" seruku.
Mata ini membulat sempurna ketika melihat wanita di depanku adalah Mbak Meta yang baru pulang dari luar kota. Ia seorang artis sekaligus model dari sebuah butik terkenal di kota kami.
Usianya hampir kepala tiga, tapi sampai sekarang belum juga menikah. Entah apa yang membuatnya terlambat menemukan jodoh. Mungkin karena ia cantik dan berpendidikan tinggi hingga memilih laki-laki menjadi suami.
"Nandini, Mbak bawa oleh-oleh buat kamu dan Ganding. Ada juga untuk Anju keponakan tersayang," ucapnya sembari mengeluarkan kardus yang ia bawa.
"Gak usah repot-repot, Mbak. Simpan saja uang Mbak untuk ditabung."
"Tak apa. Mbak sudah tinggal sama kamu tak mungkin tinggal geratis begitu saja di sini."
Aku tersenyum melihat kebaikan Mbak Meta yang selalu pulang membawakan oleh-oleh sehabis bepergian. Bahkan tak segan membantu membelikan bahan dapur.
Sudah hampir lima tahun Mbak Meta tinggal bersama kami. Sejak orang tuanya meninggal ia hidup sebatang kara tak punya keluarga. Saudaranya hanya aku yang ia punya. Walau kami hanya sepupu, namun ia sudah kuanggap kakak kandung sendiri.
Mas Ganding juga tidak keberatan, Mbak Meta tinggal di rumah kami. Ia malah senang karena bisa mengasihi anak yatim piatu yang tak punya ayah dan ibu.
Kami memang sama-sama sudah tak punya orang tua. Dulu sebelum menikah aku dan Mbak Meta sama-sama ngekos, setelah aku menikah dengan Mas Ganding, kami pindah di rumahnya. Hidup satu atap saling akur. Mbak Meta juga hanya menginap di rumah beberapa hari, lalu akan pergi lagi untuk mengadakan foto model.
Kamarnya ada di bawah dekat ruang tamu, sementara kami di atas bersama Anju. Rumah besar ini sudah dibeli Mas Ganding jauh sebelum ia menjadi suami. Pekerjaannya yang menjadi sekretaris kantor dibayar dengan gaji yang tinggi.
Mas Ganding melarangku bekerja setelah kami hidup bersama, katanya istri hanya boleh di rumah suami yang cari nafkah. Semua kebutuhanku dipenuhi dengan cukup, ia hanya mengambil uang dari gaji untuk keperluannya saja. Selain itu semua ditransfer ke rekeningku.
"Oya, dimana Ganding? Kenapa tidak kelihatan? Bukankah ini hari libur, seharusnya dia tidak bekerja, kan?" tanya Mbak Meta bertubi-tubi sambil melihat ke sekeliling ruangan.
"Lagi cuci piring, Mbak di belakang," jawabku.
"Kamu suruh suamimu cuci piring? Apa gak kelewatan kepala rumah tangga jadi babu?" cibirnya.
"Nggak lah, Mbak. Mas Ganding sendiri yang mau menggantikan tugasku. Katanya temani Anju bermain saja."
"Wah, Mbak jadi pingin punya suami ideal kayak Ganding. Sayang istri dan pengertian."
Aku tersenyum menanggapi gurauan Mbak Meta. Kami akhirnya bercanda dan tertawa riang sambil menyaksikan Anju putri kecilku bermain.
***
Malam harinya aku terbangun karena guncangan pada lengan. Sedikit menyipitkan mata yang terasa berat untuk dibuka.
"Bunda, Anju haus …." Anju merengek menggoyangkan bahuku.
Tangan ini menggapai cangkir di atas naka, namun tidak ditemukan. Ah, karena bergosip dengan Mbak Meta aku lupa menyiapkan air minum untuk Anju. Terkadang Anju tidur bareng kami, meski punya kamar sendiri.
"Mas, tolong ambilkan air minum untuk Anju!" ucapku sembari memejamkan mata, lalu meraba ke samping. Yang kurasakan hanya bantal guling saja di samping Anju.
"Ayah tidak ada. Bunda mau minum …."
Aku dengan melawan kantuk untuk memaksa duduk. Benar saja, Mas Ganding tidak ada di ranjang yang sudah dikuasai Anju yang tidur terlentang.
"Sebentar ya, Bunda ambil ke dapur dulu," ucapku sembari menyibak selimut. Melihat jam di dinding.
Pukul 01:00 dini hari. Kemana kira-kira suamiku. Beranjak dari kamar dengan mata yang berat. Kemudian menuruni tangga sambil sesekali menguap.
Aku tersentak setelah mendengar suara desahan dari kamar Mbak Meta. Semakin lama terasa kencang. Perlahan kudekati kamar itu untuk memperjelas pendengaran atau mungkin Mbak Meta sedang sakit.
Kuberanikan diri mengetuk pintu itu sambil berteriak memanggil namanya.
"Mbak, apa kamu sakit?" tanyaku sambil menunggu dengan hati berdebar.
Hening. Tak ada jawaban. Perlahan suara desahan itu pun menghilang. Kubuka pintu yang ternyata tidak di kunci.
Mbak Meta terlihat pucat saat aku masuk ke kamarnya, namun keringat dingin membasahi dahinya.
"Astaga, Mbak. Kamu sakit ya?" tanyaku menyentuh keningnya.
"Ti-tidak, Nandini. Aku hanya kepanasan saja, kok," jawabnya gugup.