Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Hujan begitu deras mengguyur kota London. Langit jelas sekali tampak gelap, sementara jalanan masih terang menampakkan orang-orang yang berhalu lalang. Ada yang berlari sambil menutup kepala atas dengan sesuatu, ada juga yang berjalan santai mengenakan mantel, ada juga yang berjalan cepat menggunakan payung.
Halte bus cukup ramai sekarang. ada sekitar sepuluh orang yang berada di sini menunggu angkutan umum. Vivian yang sudah setengah basah, masih duduk sambil memainkan ponselnya. Dia menghilangkan rasa bosan dengan memainkan game di sana.
Biasanya Bus akan melintas sekitar pukul lima tepat, itu artinya Vivian dan yang lain masih harus menunggu sekitar sepuluh menit sampai bus datang.
Drt! Drt!
Hampir saja Vivian menjatuhkan ponselnya yang mendadak bergetar itu.
“Ya, Halo, Bu. Ada apa?”
“Di mana kamu?”
“Masih di halte. Kenapa?”
“Belikan ibu obat sakit kepala.”
Vivian berdiri ketika beberapa orang sudah mendekat ke jalan. Dia menoleh ke arah kiri dan terlihat sebuah bus berwarna biru melaju mendekat.
“Baik, Bu, nanti aku belikan. Sudah dulu ya, busnya sudah datang.”
Vivian ikut maju di antara gerombolan orang-orang yang juga hendak masuk ke dalam mobil. Namun, di saat satu kakinya hendak naik pada tangga bus, Vivian melihat sesuatu yang membuatnya terbengong.
Beberapa orang di dalam bus, menatap ke luar dari balik jendela bersamaan. Sang sopir juga sampai meninggikan pandangan menunggu Vivian yang tidak kunjung naik. Pandangannya juga mengarah ke luar sana yang entah sedang menatap apa.
Apa aku tidak salah lihat?
“Nona!” tegur pak supir. “Mau naik atau tidak? yang lain sudah menunggu.”
Vivian sontak bergidik. Dia plonga-plong seperti orang linglung, lalu detik berikutnya bergidik cepat. Sama sekali tidak mengucapkan apapun, Vivian menurunkan satu kakinya, lalu berjalan meninggalkan bus yang masih terparkir. Sang sopir sudah menghela napas, sementara para penumpang ada yang berbisik dan mencibir.
Sekarang, Vivian berjalan lebih cepat tidak peduli jika nanti bajunya semakin basah. Memang sudah tidak hujan deras seperti tadi, tetapi gerimis juga masih tetap bisa membuat kepala basah sampai ke bawah.
“Mau ke mana mereka?” gumam Vivian.
Dua orang yang tidak jauh di hadapannya, berjalan sambil saling merangkul. Dari belakang tidak terlalu jelas terlihat itu siapa, tapi tadi Vivian jelas sekali bisa melihat siapa dua orang itu. mantel tebal parasut itu juga Vivian sangat mengenalinya.
Mereka berdua terus berjalan sampai memasuki sebuah gang. Ada beberapa orang di sini yang tengah merokok, ada pula yang tengah bercumbu dan tentunya ada pemandangan lain yang sama sekali tidak Vivian hiraukan sampai ia tersadar sudah berdiri di depan sebuah apartemen.
Vivian pernah ke sini sebelumnya. Dia datang menginap dengan teman-temannya karena waktu itu dia banyak kerjaan di tempat kerjanya. Karena takut datang terlambat, akhirnya dia memutuskan untuk menginap semalam di apartemen temannya.
“Mau apa mereka ke sana?”
Vivian ikut masuk ketika dua orang itu masuk ke dalam. Masuk ke lantai satu dan saat hendak naik tangga, Vivian sudah menghubungi salah satu dari mereka melalui ponselnya. Vivian berdiri di balik dinding, sambil bersandar dan menarik napas dalam-dalam.
“Tunggu sebentar.” Cleve melepas rangkulan lalu merogoh ponselnya di dalam saku mantelnya.
Setelah melihat layar ponselnya, Cleve menatap Wanita cantik di hadapannya yang bernama Hannah. Hannah tampak menaikkan kedua alis dan membuka mulut tanpa bersuara. Cleve yang makan dengan gerak bibir itu, meminta Hannah itu tetap diam lebih dulu.
Sebelum menekan tombol dial berwarna hijau, Cleve berdehem dan mengatur diri supaya tidak gugup atau panik.
“Halo, Sayang. Ada apa?”
“Kamu di mana?”
“Oh aku … aku sedang di rumah. Kenapa?”