Syakila memandang bayangan dirinya di cermin, mengenakan kebaya pengantin warna putih yang sederhana namun sangat anggun. Wajahnya dipoles lembut dengan riasan tipis yang menonjolkan kecantikan alami yang ia miliki. Di balik senyum tipis yang ia paksakan, ada kegelisahan yang bergejolak di dalam hatinya.
Hari ini seharusnya menjadi hari yang paling membahagiakan dalam hidupnya, namun entah mengapa ia merasa seperti ada yang salah. Orang-orang di sekelilingnya sibuk memuji betapa cantiknya ia, betapa cocoknya ia dengan Reihan, lelaki yang akan menjadi suaminya dalam hitungan jam. Namun, hanya sedikit yang tahu bahwa hatinya dipenuhi keraguan dan kekhawatiran yang tak bisa terucapkan.
Saat itu, tiba-tiba saja pintu kamarnya diketuk pelan. “Syakila, sudah siap?” suara lembut ibunya terdengar, menyelinap masuk ke dalam ruangan.
Syakila menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Iya, Bu. Sebentar lagi."
Ibunya masuk, wajahnya dipenuhi kebahagiaan yang sulit disembunyikan. "Kamu cantik sekali, Nak. Reihan beruntung mendapatkanmu."
Syakila hanya tersenyum tipis, tidak tahu harus berkata apa. Baginya, kata-kata itu terdengar kosong, seolah bukan untuk dirinya. Apakah Raihan benar-benar beruntung? Ataukah ini hanya takdir yang dipaksakan?
Di dalam hatinya, Syakila terus bertanya-tanya, mengapa ia merasa tidak nyaman setiap kali memikirkan Reihan. Pria itu tampan, mapan, dan dari luar, tampak seperti pasangan yang sempurna. Tapi setiap kali mereka bertemu, ia selalu merasakan dinding dingin yang tak terlihat di antara mereka, seolah ada sesuatu yang ditahan, yang tidak ingin diungkapkan.
"Ayo keluar, sayang. Nak Reihan dan pak penghulu sudah menunggumu di sana," kata Bu Azizah seraya tersenyum bahagia.
"Iya, Bu," sahut Syakila dengan tersenyum tipis seakan menyembunyikan sesuatu yang tidak bisa di ucapkan dengan kata-kata.
Bu Azizah mengulurkan tangannya, menarik tangan Syakila dan membawanya ke dalam genggaman. Lalu mereka berjalan keluar dari dalam kamar tersebut.
Wanita paruh baya itu sangat bahagia saat melihat putrinya menikah dengan Reihan, putra temannya.
Saat Syakila berjalan ke luar menuju halaman rumah tempat pernikahan mereka akan dilangsungkan, ia melihat Reihan sedang berdiri di depan, mengenakan pakaian pengantin dan jas warna putih yang tampak gagah. Namun, tatapan matanya tidak seperti yang Syakila harapkan. Mata Reihan tampak kosong, tanpa kilau kebahagiaan yang seharusnya ada pada pengantin pria di hari pernikahannya.
Reihan tidak pernah benar-benar melihatnya. Syakila merasakan itu dengan sangat jelas, seolah-olah ia hanya menjadi bayang-bayang di latar belakang hidup Reihan, bukan cahaya yang menerangi hari-harinya. Tapi ia mengabaikan perasaan itu, mencoba untuk percaya bahwa semuanya akan berubah seiring dengan berjalannya waktu.
"Syakila, jangan melamun gitu, ibu tahu kamu sudah tidak sabar lagi kan ketemu nak Reihan?" Kata Bu Azizah.
Lagi-lagi Syakila hanya tersenyum tipis. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Syakila tahu semua orang mengatakan jika dirinya beruntung mempunyai calon suami yang tampan dan berseragam, tapi tidak dengan hati Syakila.
Syakila di tuntun sang ibu duduk di kursi yang ada di samping calon suaminya, lalu Bu Azizah menutup kepala Reihan dan Syakila dengan kerudung putih.
Ayah Syakila sudah meninggal, yang sekarang menjadi wali nikahnya adalah sang paman. Dengan di bimbing pak penghulu, Reihan mengucapkan ijab qobulnya di depan semua orang yang hadir dalam acara tersebut.
"Saya terima nikah dan kawinnya Syakila Humaira binti almarhum bapak Ahmad Aziz dengan mas kawin emas antam sepuluh gram dan uang dua puluh lima juta rupiah di bayar tunai!" Ucap Reihan dengan satu tarikan napas.
/0/20409/coverorgin.jpg?v=08a1d5f4a7d96e643f2972c51eb02bba&imageMogr2/format/webp)
/0/2969/coverorgin.jpg?v=5a035c662c8898ee5d3415573bb1b085&imageMogr2/format/webp)
/0/9312/coverorgin.jpg?v=21d9bc4ea5347318d4e102094147b4c7&imageMogr2/format/webp)
/0/30743/coverorgin.jpg?v=206a36a220d7e12db2205562ad6c9db6&imageMogr2/format/webp)
/0/16428/coverorgin.jpg?v=3d8410225546bfa5035f1dc4b89f685f&imageMogr2/format/webp)
/0/3968/coverorgin.jpg?v=ceb6ecf5c18b901dd17f817d8465961f&imageMogr2/format/webp)
/0/18144/coverorgin.jpg?v=15b1340d5ddc298759b5c0fc43f49d98&imageMogr2/format/webp)
/0/26443/coverorgin.jpg?v=3c05568e6614933eba8efe02ab9064d3&imageMogr2/format/webp)
/0/24179/coverorgin.jpg?v=e00f98169063678a1b684ffacd95da09&imageMogr2/format/webp)
/0/29187/coverorgin.jpg?v=5619c1fee4829449be2abe5a6e8a3a99&imageMogr2/format/webp)
/0/23837/coverorgin.jpg?v=5e106eb88649e91ce7adc941fd5e29aa&imageMogr2/format/webp)
/0/16927/coverorgin.jpg?v=7b46931921d8c029c2f0426f3bf18b01&imageMogr2/format/webp)
/0/21212/coverorgin.jpg?v=7cc3ea19cbf418d3537e6f56b8b2e12f&imageMogr2/format/webp)
/0/29057/coverorgin.jpg?v=fb2b6fb57b02bcb8c4d7569a9227d493&imageMogr2/format/webp)
/0/17495/coverorgin.jpg?v=b79d1ba9ab9a6d921793ad434832b358&imageMogr2/format/webp)
/0/24654/coverorgin.jpg?v=0995dc762b2d9a75057d0f824a2438f2&imageMogr2/format/webp)
/0/17399/coverorgin.jpg?v=ce332ff4cfc7f860939dfb5ed516696b&imageMogr2/format/webp)
/0/15858/coverorgin.jpg?v=437451542586af31549968a254f81cc6&imageMogr2/format/webp)
/0/12809/coverorgin.jpg?v=25b95af4d1891e29c4aaf0f0e6f9b5c1&imageMogr2/format/webp)
/0/17923/coverorgin.jpg?v=449eb9187a70a1d7136878540e3dc684&imageMogr2/format/webp)