/0/30351/coverorgin.jpg?v=1a70ca6c85bd2d369dece791687b8226&imageMogr2/format/webp)
BRAK!
Suara benturan keras mengiringi terbukanya pintu kamar mandi.
“ADUH!” seru seorang remaja pria terperanjat dan panik. Tubuh telanjangnya tak mampu bergerak, hanya bisa menatap pintu.
“Eh, maaf! dikira nggak ada orang,” sergah seorang wanita berpakian serba tertutup yang tampak juga terkejut. Meski suaranya terdengar terlalu tenang untuk ukuran seseorang yang tak sengaja masuk ke kamar mandi saat ada orang lain.
Wanita itu berdiri mematung di ambang pintu, wajahnya tegang, mata terbelalak dan mulut sedikit terbuka. Tapi sejurus kemudian, ekspresinya berubah kendur dan tenang, bahkan seulas senyum tersungging samar. Wanita itu sangat tahu apa yang sedang dilakukan anak tirinya.
“Astagfitullah!” Remaja pria itu kembali berseru tersadar dari terkejutnya.
Tangannya refleks meraih handuk yang tergantung di kapstok, lalu melilitkannya di pinggang, menutupi bagian tubuh yang seharusnya tak boleh terlihat oleh siapa pun, apalagi ibu tirinya. Dia tak peduli dengan tangan dan batang senjatanya yang penuh dengan busa sabun.
“Maaf, Hafiz!” Wanita yang oleh kebanyakan warga kampung dijuluki ‘Ustazah Susan’ itu kembali berucap dengan nada lebih lembut.
“Bu, mau ngapain?” tanya Hafiz, mencoba tenang, meski kesal. Jantungnya masih berdebar, malu dan canggung menjadi badai kecil yang berkecamuk dalam dadanya.
Susan tidak langsung menjawab. Matanya tetap memandangi selangkangan anak tirinya yang tampak menyembul di balik handuknya. Lalu ia menoleh ke belakang memastikan tak ada siapa-siapa di luar sana. Kemudian kembali menatap Hafiz dengan sorot mata yang sulit diartikan. Bersalah, kagum, atau malah berhasrat?
“A-anu..., ibu mau ambil sabun cuci,” katanya pelan, tersenyum manis dengan mata tetap tidak beralih dari handuk yang melilit pinggang Hafiz.
“Ambilah, lalu segera keluar, Bu!” kata Hafiz, berusaha tetap sopan meski suara meninggi.
Susan mengangguk pelan, lalu mengulurkan tangganya mengambil sabun cuci. Namun tidak langsung keluar, malah bersandar pada kusen pintu kamar mandi yang sempit.
“Hafiz...” panggilnya lirih.
Hafiz mengerutkan dahi dan menatapnya. “Ya?” jawabnya singkat.
“Ternyata kamu sudah dewasa dan makin gagah...” ucap Susan lirih dan manja.
Deg!
Jantung Hafiz makin berdegup tak karuan.
Sebelum ia sempat bicara lebih jauh, Susan sudah membalikkan badan dan menutup pintu perlahan, menyisakan udara yang terasa lebih berat dari sebelumnya. Hafiz berdiri kaku, tak bersuara. Kedua tangannya erat menggenggam handuk di pinggangnya seolah takut direbut atau terlepas.
Tak lama kemudian dia mulai menggayung air dan membasahi sekujur tubuhnya. Namun meski semuanya telah basah dan penuh busa sabun. Sebagian tubuhnya masih gemetar karena sangat kaget. Pikirannya terombang-ambing, mencari penjelasan rasional.
‘Kenapa dia masuk tanpa ketuk pintu dulu? Jangan-jangan memang sengaja?’ pikir Hafiz cemas. Ia bahkan menduga kalau ibu tirinya, mengintip dulu sebelum masuk. “Dan bodohnya kenapa aku juga lupa mengunci pintu.”
Setelah mandi Hafiz keluar dengan tubuh berbalut handuk di pinggangnya. Saat masuk rumah, ia sedikit tertegun karena mendapati ibu tirinya sedang duduk di kursi tamu, sibuk dengan ponselnya, dalam pakaian yang tak biasa. Daster mini sangat kontras dengan pakaian syar’i yang biasa dikenakannya. Padahal tadi saat masuk kamar mandi, masih mengenakan gamis dan jilbab.
Hafiz memalingkan muka dan mempercepat langkahnya menuju kamar. Begitu sampai di dalam, ia menghela napas lega, merasa sedikit aman. Tetapi, belum sempat mengambil pakaian untuk dipakainya, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Hafiz lagi-lagi lupa mengunci pintu kamar itu.
Hafiz sedikit melonjak, darahnya serasa berhenti mengalir saat melihat ibu tirinya berdiri di ambang pintu menatapnya nanar sulit dijelaskan.
“Boleh ibu masuk sebentar?” tanya Susan lembut, terkesan ganit.
Hafiz terdiam, detak jantungnya kembali tak beraturan. Ia mencoba untuk tetap tenang, meski rasa cemas dan bingung terus menghantui.
“Mau apa, Bu?” tanya Hafiz dengan suara pelan, mencoba terdengar biasa.
Susan menatapnya, lalu maju selangkah, sementara Hafiz refleks mundur beberapa langkah dengan sorot mata curiga yang semakin dalam. Ia berusaha menahan diri untuk tidak berteriak atau melawan, tetapi perasaan risih semakin membuncah.
“Jangan takut, Fiz.” Suara Susan terdengar lebih pelan, hampir seperti berbisik. Namun, kata-kata itu justru semakin membuat jantung Hafiz berdegup lebih kencang.
Ia menarik napas panjang, mencoba mengendalikan diri, merasa terjebak dalam situasi yang tidak bisa dikendalikan.
“Kamu nggak suka ibu masuk kamar ini?” tanya Susan.
“Tapi aku belum pakai baju, Bu!” Hafiz berusaha menetralisir keadaan. “Memangnya mau apa sih?” Nadanya mulai terdengar lebih tegas.
Susan mendekat lagi, tangannya terulur ke arah Hafiz, seakan ingin menyentuhnya. Refleks, Hafiz meloncat ke atas ranjang, berdiri dengan kedua lututnya di atas kasur. Tubuhnya gemetar, dan rasa takut mulai menguasai dirinya.
“Kamu sudah gila ya, Bu?” bentak Hafiz hampir berteriak, kesal dan tidak tahu harus bicara apa lagi.
“Jangan berteriak begitu, Hafiz, aku ini ibumu!” bentak Susan dengan nada yang penuh tekanan dan wajah mendongak.
“Ibu hanya mau bilang, ayahmu sudah loyo, sudah lama nggak bisa memberi nafkah batin pada istrinya. Sedangkan aku sebagai istrinya masih membutuhkan itu!” Suara Susan bergetar, seperti hendak menangis.
/0/24027/coverorgin.jpg?v=00d82a3d6f2079c1d5a13fd023ac1e50&imageMogr2/format/webp)
/0/7222/coverorgin.jpg?v=fa840bf8f80501551acf4848587246b5&imageMogr2/format/webp)
/0/6457/coverorgin.jpg?v=5dd8743fe501710526e667bea827bd10&imageMogr2/format/webp)
/0/3164/coverorgin.jpg?v=37411865fdde4eb01ca2739dad6ddb01&imageMogr2/format/webp)
/0/5350/coverorgin.jpg?v=5f0cd1a044bdc9706c573f16a00f3151&imageMogr2/format/webp)
/0/5842/coverorgin.jpg?v=6bca322e6302fcbc373878aa6a6a44ff&imageMogr2/format/webp)
/0/2369/coverorgin.jpg?v=d5c6d912f1a1f5426606ecebd4fd33a0&imageMogr2/format/webp)
/0/10879/coverorgin.jpg?v=832f849f50e9ff94dbfcfb8d619a6081&imageMogr2/format/webp)
/0/2951/coverorgin.jpg?v=d73daa2b4f10c884e75a48c039e3d213&imageMogr2/format/webp)