/0/29057/coverbig.jpg?v=fb2b6fb57b02bcb8c4d7569a9227d493&imageMogr2/format/webp)
Dua tahun setelah kehilangan istrinya karena kecelakaan, Reno Adiprana merasa hidupnya kehilangan arah. Hari-harinya berjalan seperti mesin-pulang, bekerja, tidur, lalu mengulang lagi. Dunia yang dulu penuh warna mendadak terasa abu-abu. Namun segalanya berubah ketika kantor pusat tempat Reno bekerja memutuskan untuk memutasinya ke Yogyakarta. Awalnya, ia menolak keras. Tapi setelah berpikir panjang, mungkin memang inilah cara Tuhan memaksanya keluar dari kubangan kenangan. Untungnya, Reno masih punya Bude Ratna, kakak mendiang ibunya yang tinggal di lereng Merapi. Perempuan setengah baya yang dikenal ramah dan penuh kasih itu langsung menyambut Reno seperti anak sendiri. "Di sini tenang, Ren. Kamu bisa mulai lagi dari awal," katanya lembut. Akhirnya Reno memutuskan untuk tinggal di rumah Bude Ratna, di sebuah desa kecil di kaki gunung. Setiap hari ia harus nglaju hampir satu jam ke kota untuk bekerja di kantor barunya. Tapi anehnya, perjalanan itu justru membuat dadanya terasa lebih ringan. Suatu pagi, saat mampir ke pasar desa mencari sarapan, Reno melihat seorang perempuan muda tengah sibuk mengaduk panci besar di gerobak kecil. Wajahnya teduh, rambutnya disanggul sederhana, dan senyumnya-entah kenapa-mampu menenangkan hati yang sudah lama kering. Namanya Mira Pradipta, lulusan gizi dari universitas negeri ternama. Tapi bukannya bekerja di rumah sakit atau instansi besar, Mira memilih menjual bubur bayi rumahan. "Kenapa jualan bubur, Mbak?" tanya Reno dengan nada heran suatu pagi. Mira tersenyum tipis. "Karena bubur ini bisa bikin Bapak saya makan tanpa lupa caranya," jawabnya pelan sambil menatap lelaki itu. Dari sanalah semuanya bermula-pertemuan antara seorang duda yang kehilangan, dan gadis sederhana yang bertahan demi ayahnya yang mengidap demensia. Dua jiwa yang sama-sama terluka, tapi perlahan menemukan arti baru tentang rumah, kehilangan, dan cinta yang tumbuh tanpa sengaja di lereng Merapi.
Hujan pertama di awal tahun mengguyur kota Yogyakarta dengan lembut. Butirannya jatuh menimpa jendela mobil yang melaju pelan di jalanan basah. Dari balik kemudi, Reno Adiprana menatap lurus ke depan, sesekali menghela napas panjang. Aroma tanah basah menyeruak masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka, membawa kenangan yang sulit ia buang.
Sudah dua tahun berlalu sejak Rhea, istrinya, meninggal dunia dalam kecelakaan yang tidak pernah sempat ia maafkan-terutama kepada dirinya sendiri. Ia masih mengingat jelas pagi itu, saat Rhea pamit dengan tawa kecil karena terlambat pergi ke klinik tempatnya bekerja. Hanya beberapa jam setelahnya, telepon berdering, mengabarkan semuanya berakhir.
Begitu cepat. Begitu kejam.
Sejak hari itu, hidup Reno terasa seperti putaran jam yang kehilangan arah. Ia pergi bekerja, pulang, makan seadanya, lalu tidur di ranjang yang terasa terlalu luas dan dingin. Tidak ada lagi suara lembut yang menyambutnya di rumah, tidak ada lagi tawa yang memantul di dinding. Semuanya sepi.
"Pak Reno, surat mutasi sudah ditandatangani direktur," ujar rekan kerjanya suatu siang. "Mulai bulan depan, Bapak resmi pindah ke cabang Yogyakarta."
Kabar itu membuat dadanya berdebar aneh. Antara lega dan takut. Ia tahu, pindah kota berarti meninggalkan semua bayangan masa lalu di Jakarta, tapi juga berarti menghadapi kenyataan baru yang belum tentu lebih baik.
Namun setelah malam-malam panjang yang ia habiskan menatap foto Rhea di meja kerja, akhirnya ia sadar: diam di tempat yang sama hanya akan membuatnya semakin tenggelam.
Maka pagi itu, ia menyalakan mobil, menempuh perjalanan panjang menuju Yogyakarta dengan perasaan campur aduk-hampa, takut, tapi juga ada sedikit rasa ingin sembuh.
"Lha, kok kurus, Ren?"
Suara Bude Ratna terdengar hangat ketika pintu rumahnya terbuka lebar. Perempuan itu memeluk Reno erat-erat, seolah menyambut anak yang pulang dari pengembaraan panjang.
Reno tersenyum tipis. "Biasa, Bude. Makan di kantor nggak teratur."
"Alasannya itu-itu terus. Sini, masuk. Aku udah masak sayur lodeh kesukaanmu," ujarnya sambil menarik tangan Reno ke ruang makan.
Rumah Bude Ratna berdiri di sebuah desa kecil di lereng Merapi. Udara di sana jauh lebih sejuk daripada Jakarta, dengan aroma rumput dan tanah yang khas. Dari halaman belakang, gunung menjulang megah dengan kabut tipis yang menutupi puncaknya. Di kejauhan terdengar suara gamelan dari radio tetangga, berpadu dengan gemericik air yang turun dari talang bambu.
Reno menghela napas dalam-dalam. "Tenang banget, Bude."
"Ya, beginilah desa. Nggak ada macet, nggak ada gedung tinggi. Tapi juga nggak ada kesepian kalau kamu mau buka hati," ujar Bude Ratna sambil tersenyum penuh arti.
Reno hanya menatap sendoknya. "Saya belum tahu, Bude... apakah masih bisa buka hati."
Bude Ratna tidak menjawab. Ia tahu, luka Reno masih dalam. Tak perlu dipaksa sembuh.
Hari-hari pertama di Jogja terasa canggung. Kantor cabang tempat Reno bekerja jauh lebih kecil, suasananya santai, tapi ia masih membawa kebiasaan kota besar-cepat, tegas, kaku.
Teman-teman barunya ramah, tapi ia tetap menjaga jarak. Setiap sore ia pulang ke desa, menembus jalan menanjak yang sepi, hanya ditemani suara jangkrik.
Hingga suatu pagi, rutinitasnya berubah.
Ia sedang mampir ke pasar desa untuk membeli sarapan sebelum berangkat kerja. Pasar itu kecil, penuh warna. Penjual sayur duduk bersila di atas tikar, aroma tempe goreng dan daun pisang bercampur di udara. Di sudut pasar, ia melihat seorang perempuan muda mengaduk sesuatu di panci besar di atas kompor kecil.
Wajah perempuan itu teduh. Rambutnya digelung sederhana, pipinya sedikit merah karena panas uap. Ada ketenangan dalam setiap geraknya.
"Bubur bayi, Mas? Baru matang," katanya ramah begitu Reno mendekat.
Reno menatap gerobak sederhana yang tertulis 'Bubur Sehat Mira'. "Iya, Mbak. Saya beli satu."
"Untuk bayi siapa?" tanya perempuan itu sambil menyiapkan mangkuk kecil.
Reno terdiam sejenak. Pertanyaan sederhana itu tiba-tiba menohok. Ia menunduk, lalu tersenyum pahit. "Nggak ada bayi. Buat saya aja."
Perempuan itu tersenyum malu, matanya menunduk. "Maaf, Mas. Saya kira-ya, soalnya kebanyakan yang beli ibu-ibu muda."
"Tidak apa," jawab Reno singkat.
Setelah menyerahkan uang dan menerima bubur hangat dalam wadah kertas, Reno sempat melirik papan kecil di sisi gerobak: 'Dibuat dengan hati, tanpa pengawet.'
Ia tidak tahu kenapa, tapi kalimat itu membuatnya berhenti sejenak sebelum pergi.
Sejak hari itu, Reno jadi pelanggan tetap. Setiap pagi, sebelum berangkat ke kota, ia selalu mampir membeli semangkuk bubur. Kadang rasa labu, kadang bayam, kadang kacang hijau. Semuanya terasa sederhana, tapi menenangkan.
"Mas Reno kerja di mana?" tanya Mira Pradipta, nama perempuan itu, suatu pagi ketika mereka sudah mulai cukup akrab.
"Di kantor cabang perusahaan konstruksi, di kota," jawab Reno sambil menunggu buburnya dikemas. "Saya nglaju tiap hari."
"Wah, jauh banget, ya. Nggak capek?"
"Kalau di jalan banyak yang bisa dilihat, capeknya malah hilang," ujarnya sambil menatap wajah Mira. Ia tidak tahu kenapa, tapi setiap melihat senyum gadis itu, perasaannya sedikit hangat.
Mungkin karena sudah lama tak ada yang membuatnya merasa hidup.
"Kalau Mbak Mira sendiri, kenapa jualan bubur bayi? Latar belakangnya kan kayaknya... nggak biasa."
Mira tersenyum kecil, tapi matanya sedikit sayu. "Saya dulu kuliah di jurusan gizi, Mas. Tapi setelah lulus, Bapak saya sakit. Demensia. Kadang lupa waktu, kadang lupa saya ini siapa. Jadi saya harus di rumah terus buat ngawasin."
Reno menatapnya, diam. "Maaf, saya-nggak tahu."
"Nggak apa. Saya sudah terbiasa," ujar Mira lembut. "Awalnya saya bingung gimana tetap bisa dapat penghasilan tanpa ninggalin rumah. Akhirnya saya bikin bubur bayi homemade. Dari situ malah banyak pelanggan."
"Hebat," kata Reno tulus. "Bisa kuat kayak gitu."
Mira hanya tersenyum. "Kadang harus kuat karena nggak ada pilihan lain."
Kata-kata itu menghantam Reno tanpa peringatan. Karena entah kenapa, ia merasa sedang berbicara dengan dirinya sendiri.
Hari berganti minggu. Interaksi kecil mereka menjadi rutinitas yang tak pernah Reno sadari ia butuhkan. Kadang mereka berbincang sebentar soal cuaca, kadang tentang bahan makanan, kadang sekadar saling sapa singkat. Tapi setiap pertemuan, selalu meninggalkan rasa hangat yang bertahan hingga malam.
Bude Ratna tentu menyadarinya.
"Ren, kamu akhir-akhir ini sering senyum sendiri, lho," ujarnya suatu malam sambil menata lauk di meja makan.
"Ah, masa, Bude?"
"Ya masa aku nggak tahu? Dulu kamu makan aja diam. Sekarang tiap malam kok kayak nunggu pesan WhatsApp."
Reno tertawa kecil, mencoba mengalihkan. "Namanya juga adaptasi tempat baru."
Bude Ratna menatapnya curiga. "Adaptasi sama siapa, hayo?"
Reno hanya menggeleng sambil tersenyum malu. Ia tahu Bude Ratna terlalu peka untuk dibohongi.
Suatu sore, hujan turun deras ketika Reno pulang dari kantor. Jalanan desa licin, kabut turun cepat. Di tikungan dekat pasar, ia melihat gerobak bubur Mira sudah ditutup, tapi lampu di warung kecil sebelah rumahnya masih menyala.
Tanpa pikir panjang, Reno menepi. Ia melihat Mira tengah memindahkan bahan-bahan dari gerobak ke dapur. Baju dan rambutnya sudah basah kuyup.
"Mbak Mira!" panggil Reno dari depan pagar bambu.
Mira menoleh, sedikit kaget. "Mas Reno? Kok bisa lewat sini?"
"Lihat gerobakmu masih di luar, saya kira butuh bantuan."
Mira tertawa kecil, suaranya tenggelam dalam hujan. "Masih sempat aja nolongin di tengah badai begini."
Reno nyengir. "Ya, siapa tahu Mbak Mira nggak punya payung."
"Punya, tapi payung saya juga bocor," jawabnya sambil menunjukkan payung lusuh yang sudah miring di satu sisi.
Akhirnya Reno memutuskan membantu memindahkan gerobak ke tempat teduh. Hujan makin deras, tapi entah kenapa suasana itu terasa hangat. Setelah semuanya selesai, Mira menyodorkan segelas teh hangat kepadanya.
"Terima kasih, Mas. Kalau nggak dibantu, bubur besok bisa gagal jual."
Reno menerima teh itu, uapnya mengepul tipis. "Sama-sama. Saya juga butuh alasan buat berhenti kerja terus."
Mira tersenyum samar. "Berhenti kerja terus maksudnya?"
"Kadang saya kerja cuma buat nggak merasa kosong. Tapi kalau berhenti, ya... kosong itu datang lagi."
Mira menatapnya lama, tak berkata apa-apa. Di bawah gemericik hujan dan aroma teh, dua orang itu hanya diam-tapi diam yang tidak lagi canggung.
Malam itu, di rumah, Reno tidak bisa tidur. Ia memandangi foto Rhea di meja kerja-foto yang selalu ia bawa ke mana pun.
"Rhea..." bisiknya lirih. "Aku nggak tahu apakah ini salah, tapi aku mulai merasa... ada kehidupan lagi."
Air matanya menetes tanpa bisa ditahan. Tapi kali ini, bukan karena kehilangan. Melainkan karena ia tahu, mungkin sudah waktunya berhenti menyalahkan diri sendiri.
Keesokan harinya, Reno kembali ke pasar. Namun gerobak bubur Mira kosong. Hanya tertulis papan kecil: 'Libur dulu, Bapak sedang kambuh.'
Hatinya berdebar. Entah kenapa, ia merasa cemas luar biasa. Tanpa berpikir, ia mencari alamat yang tertera di papan itu, menapaki jalan kecil menuju rumah kayu sederhana di pinggir sungai.
Dari jauh, ia melihat Mira sedang duduk di teras, menenangkan seorang pria tua yang menatap kosong ke arah pepohonan.
"Bapak, ini Mira... anak Bapak," ucapnya lembut. Tapi pria itu hanya tersenyum bingung.
Reno berdiri di pagar, tak berani masuk. Tapi Mira melihatnya, lalu tersenyum lemah. "Mas Reno..."
"Maaf, saya cuma mau lihat kabar."
Mira bangkit, menghampirinya. "Bapak lagi lupa lagi. Tadi sempat marah-marah, nyari ibu yang udah nggak ada."
Reno menatap mata Mira yang lelah. "Kalau butuh apa-apa, kabari saya, ya."
Mira mengangguk pelan. "Terima kasih. Tapi ini cuma sementara, nanti juga tenang lagi."
Reno tahu, kata "sementara" itu seringkali berarti "selamanya". Tapi ia tidak ingin menyinggung lebih jauh.
Minggu-minggu berikutnya, mereka semakin dekat. Reno sering membantu mengantar bahan ke pasar, kadang menemaninya menyiapkan adonan bubur saat pagi buta.
Dan entah bagaimana, di antara uap panci dan tawa kecil, luka lama perlahan sembuh.
Suatu pagi, saat matahari baru muncul di balik kabut Merapi, Mira berkata, "Mas tahu nggak, kenapa saya jualan bubur bayi?"
Reno tersenyum. "Sudah, karena Bapak."
"Sebagian, iya," jawab Mira lembut. "Tapi juga karena saya ingin belajar sabar. Bubur itu butuh waktu. Nggak bisa terburu-buru. Sama seperti hidup."
Reno memandangi wajahnya lama. Ada cahaya lembut di mata Mira, yang membuat hatinya bergetar pelan.
Ia tersenyum tipis. "Mungkin, saya juga sedang belajar hal yang sama."
Malam itu, di halaman rumah, Reno menatap langit Merapi yang dipenuhi bintang. Suara serangga bersahutan. Dari jendela dapur, Bude Ratna muncul membawa dua cangkir teh.
"Cantik, ya?" katanya pelan.
"Iya, Bude. Tenang sekali."
Bude Ratna duduk di sebelahnya. "Kadang Tuhan nggak kasih kita orang yang kita mau, tapi orang yang kita butuh. Kamu ngerti maksudku, kan?"
Reno menatap cangkir tehnya. Uapnya berputar seperti napas hangat kehidupan. "Mungkin, Bude. Mungkin saya mulai mengerti."
Di kejauhan, cahaya dari dapur rumah Mira masih menyala.
Dan untuk pertama kalinya setelah dua tahun, Reno tersenyum bukan karena kenangan masa lalu-melainkan karena masa depan yang perlahan tampak mungkin.
Bab 1 Butirannya jatuh menimpa jendela
28/10/2025
Bab 2 menikmati perjalanan
28/10/2025
Bab 3 Sudah hampir tiga bulan
28/10/2025
Bab 4 aroma tanah
28/10/2025
Bab 5 pelan tapi pasti
28/10/2025
Bab 6 Mira nggak kelihatan beberapa hari
28/10/2025
Bab 7 ayah tidak terdengar
28/10/2025
Bab 8 pandangannya segera tertuju pada rumah Mira
28/10/2025
Bab 9 sayuran yang baru dipetik dari kebun
28/10/2025
Bab 10 Reno keluar dari dapur dengan membawa segelas teh
28/10/2025
Bab 11 keluar rumah lebih awal
28/10/2025
Bab 12 sibuk menyiapkan sarapan
28/10/2025
Bab 13 menunjukkan kecemasan yang tak terselubung
28/10/2025
Bab 14 beberapa warga mulai resah
28/10/2025
Bab 15 mendukung
28/10/2025
Bab 16 menandakan munculnya ketidakpuasan
28/10/2025
Bab 17 biasanya riang
28/10/2025
Bab 18 kegelisahan yang terasa samar
28/10/2025
Bab 19 ada sesuatu di udara
28/10/2025
Bab 20 meniru program
28/10/2025
Bab 21 melapor adanya kejadian
28/10/2025
Bab 22 mencurigakan di sekitar
28/10/2025
Bab 23 Ada rasa lega
28/10/2025
Bab 24 kabar dari desa tetangga
28/10/2025
Bab 25 Suasana desa
28/10/2025
Bab 26 beberapa terlihat cemas
28/10/2025
Bab 27 perasaan tidak nyaman
28/10/2025
Buku lain oleh Alimun Namora
Selebihnya