Kau Bersandiwara Seolah Tak Bersalah

Kau Bersandiwara Seolah Tak Bersalah

Alimun Namora

5.0
Komentar
Penayangan
25
Bab

Pernikahan Nadira batal menjelang akad setelah ia mengetahui bahwa calon suaminya, Fadlan, ternyata seorang pria yang masih terikat pernikahan. Keluarga Nadira pun harus menanggung rasa malu yang begitu mendalam di tengah keramaian undangan dan kerabat. Di tengah kekacauan hatinya, Nadira lari dan mengurung diri di kamar, menahan tangis yang tak kunjung reda. Beberapa saat kemudian, ibunya, Sri, mengetuk pintu dengan hati-hati dan masuk sambil menahan cemas. "Nadira... ada seseorang yang bersedia menggantikan Fadlan. Ia akan menikahimu hari ini juga," kata Sri, menatap putrinya dengan mata penuh harap. Nadira menatap ibunya dengan kaget dan ketakutan. "Siapa, Bu? Aku... aku nggak mau menikah dengan orang yang baru kukenal!" suaranya gemetar. Ibunya menghela napas panjang. "Ini demi keluarga kita, Nak. Kita sudah malu sekali hari ini. Tolong, Nadira... terimalah. Ia... ia orang baik, tetangga kita sendiri. Namanya Rafli." Rafli, pria yang usianya jauh lebih tua dari Nadira, dikenal sebagai tetangga yang dingin dan terkesan sombong. Ia juga seorang duda yang jarang terlihat bercampur dengan tetangga lain. Mengetahui hal ini, Nadira menolak dengan tegas, hatinya penuh rasa takut dan cemas. Namun, hari itu, tak ada jalan lain. Untuk menutupi malu keluarga, Nadira akhirnya harus menerima pernikahan mendadak itu. Hari-hari pertama setelah pernikahan berlangsung canggung. Rafli yang selama ini dikenal dingin, ternyata menyimpan sisi lembut yang tersembunyi. Ia sabar menghadapi kegelisahan Nadira, meski tetap mempertahankan sikap tegasnya. Nadira pun perlahan menyadari, bahwa di balik aura sombongnya, Rafli adalah pria yang bertanggung jawab dan berhati hangat, walau jarak usia mereka terasa jelas. Kini, Nadira harus menghadapi kehidupan barunya-menyesuaikan diri dengan seorang suami yang awalnya asing, dan belajar menemukan arti cinta yang tak selalu datang dari kenyamanan, tapi juga dari kesabaran, pengertian, dan waktu yang berjalan bersama.

Bab 1 menjadi hari bahagia

Pagi itu, rumah keluarga Nadira dipenuhi dengan hiruk-pikuk persiapan pernikahan. Suara keributan dari dapur bercampur dengan dentingan piring porselen dan bisik-bisik para kerabat yang bergegas menata dekorasi. Meski hari itu seharusnya menjadi hari bahagia, hati Nadira justru berdebar kencang, namun bukan karena rasa senang. Ada ketakutan, kecemasan, dan rasa was-was yang menumpuk menjadi satu.

Nadira berdiri di depan cermin, mengenakan gaun pengantin yang cantik berwarna ivory, tetapi matanya tak mampu menyembunyikan kekhawatiran. Ia menatap bayangan dirinya sendiri, mencoba tersenyum, tapi senyumnya terasa dipaksakan.

"Tenang, Nak. Segalanya akan baik-baik saja," bisik ibunya, Sri, sambil menepuk bahu Nadira dengan lembut.

"Tapi, Bu... aku merasa aneh. Aku belum siap... dan..." Nadira menelan ludah. Suaranya pecah ketika pikirannya kembali pada pesan yang ia baca semalam-sebuah pengakuan yang membuat hatinya hancur.

Fadlan, pria yang akan menjadi calon suaminya, ternyata masih beristri. Nadira menutup wajahnya dengan kedua tangan, menahan air mata yang ingin tumpah. Hatinya terasa hancur, tak percaya dunia bisa begitu kejam dalam satu malam.

Sri menunduk, raut wajahnya menunjukkan campuran kesedihan dan cemas. Ia tahu, pernikahan ini seharusnya menjadi momen yang membahagiakan bagi putrinya. Namun kenyataan berkata lain. "Aku tahu, Nak. Aku juga marah dan kecewa. Tapi sekarang... kita harus berpikir cepat. Keluarga kita... sudah malu di depan semua tetangga dan kerabat."

Nadira menunduk lebih dalam. "Aku... aku nggak mau menikah hari ini. Aku nggak mau melihatnya lagi. Bahkan bayangan Fadlan saja membuatku sakit."

Hening sejenak memenuhi ruangan. Lalu terdengar ketukan lembut di pintu. Nadira mengangkat kepala, dan terlihat ibunya membuka pintu sedikit. "Nadira... ada seseorang yang bersedia menggantikan Fadlan. Ia ingin menikahimu hari ini juga."

Nadira menatap ibunya dengan mata membesar. "Siapa, Bu? Aku... aku nggak kenal orang itu!"

Sri menghela napas panjang, menahan emosi. "Ia... ia tetangga kita sendiri. Orang baik. Ia bersedia, demi membantu keluarga kita menutupi rasa malu ini."

Nadira merasa jantungnya tercekat. Pikiran dan emosinya kacau balau. "Aku nggak mau! Aku nggak mau menikah dengan orang yang baru kukenal! Ini gila!"

Ibunya menatap Nadira dengan tatapan penuh ketegasan, sekaligus kesedihan. "Nadira... tolong dengarkan ibumu. Kita sudah tidak punya pilihan lain. Demi harga diri keluarga, demi semua yang telah terjadi... tolong. Namanya Rafli."

Mendengar nama itu, tubuh Nadira seakan membeku. Rafli-tetangga mereka yang selama ini dikenal dingin, jarang tersenyum, dan tampak sombong. Seorang duda yang bahkan Nadira jarang berbicara dengannya.

Ia mencoba menolak dengan sekuat tenaga, tapi waktu terus berjalan. Persiapan pernikahan sudah mendesak, dan pilihan lain tidak ada. Hatinya yang memberontak hanya bisa pasrah.

Acara pernikahan berlangsung di halaman belakang rumah yang sudah dihias indah dengan bunga-bunga putih dan tirai satin. Kerabat dan tetangga menatap dengan campuran rasa penasaran dan simpati. Nadira duduk di kursi pengantin dengan tangan gemetar, sementara Rafli berdiri di depan, rapi dengan setelan jas hitam. Wajahnya tetap tenang, seperti biasa, tanpa senyum yang bisa menghangatkan hati.

"Selamat pagi, Nadira," suara Rafli terdengar tegas namun lembut. Nadira menatapnya sekilas, mencoba membaca ekspresi pria itu. Tapi yang ia lihat hanyalah kesan dingin yang selama ini melekat.

"Selamat pagi..." Nadira menjawab singkat, suaranya nyaris berbisik.

Ritual pernikahan dimulai. Setiap gerakan terasa canggung. Nadira merasakan semua mata tertuju padanya, menunggu reaksinya. Di hatinya, ia memberontak, ingin lari, ingin menolak, tapi tubuhnya seakan tidak bisa bergerak.

Rafli tetap tenang, mengikuti semua prosesi dengan profesionalisme yang luar biasa. Ia bahkan sesekali melirik Nadira dengan pandangan yang sulit diartikan-antara perhatian, kesabaran, dan sedikit rasa iba. Nadira merasakan jantungnya berdetak kencang. Ia mulai menyadari, meski sikap Rafli dingin, ada keteguhan yang membuatnya merasa aman, meski ia belum siap menerima pernikahan ini.

Hari-hari setelah pernikahan berlangsung canggung. Nadira harus belajar menyesuaikan diri dengan kehidupan baru yang tiba-tiba ini. Rafli, meski tampak dingin dan kaku, selalu hadir tepat waktu, menepati semua janji, dan menjaga Nadira dengan penuh perhatian, meski caranya tidak manis atau romantis seperti yang biasanya ada dalam kisah pernikahan.

Suatu sore, saat Nadira duduk di balkon rumah sambil menatap langit senja, Rafli datang membawakan secangkir teh hangat. "Ini... untukmu," katanya singkat. Nadira menatapnya, terkejut dengan perhatian sederhana itu.

"Terima kasih..." Nadira mengucap lirih.

Rafli hanya mengangguk, lalu duduk di kursi dekatnya. Hening. Udara terasa berat, tapi tidak menakutkan. "Aku tahu ini sulit. Aku juga tidak ingin menikah seperti ini. Tapi kita harus menjalani kenyataan yang ada."

Nadira menunduk, mencoba menahan tangis. "Aku... aku takut. Takut kalau aku tidak bisa mencintaimu. Takut kalau semuanya hanya pura-pura."

Rafli menatapnya dalam-dalam, kemudian berkata dengan tenang, "Aku juga takut, Nadira. Tapi aku percaya, cinta itu bisa tumbuh perlahan. Kita hanya perlu waktu."

Kata-katanya sederhana, tapi entah mengapa, hati Nadira sedikit tergerak. Ia menyadari bahwa di balik sikap tegas dan dingin Rafli, ada seseorang yang sabar, penuh pertimbangan, dan bertanggung jawab.

Hari-hari pun berlalu, Nadira mulai melihat sisi lain Rafli. Ia bukan lagi tetangga sombong yang selalu membuatnya kesal. Ia seorang pria yang memiliki cerita, rahasia, dan luka sendiri. Nadira perlahan belajar membuka diri, memahami bahwa cinta tidak selalu datang dari kenyamanan dan kegembiraan semata, tapi juga dari pengertian, kesabaran, dan waktu yang dijalani bersama.

Suatu malam, ketika Nadira duduk di ruang tamu, Rafli masuk membawa dua mug cokelat hangat. Ia duduk di samping Nadira, tidak terlalu dekat, tapi cukup dekat untuk membuat Nadira merasa hangat.

"Kau tahu," Rafli memulai percakapan yang jarang ia lakukan, "dulu aku tidak percaya cinta yang tiba-tiba. Tapi aku belajar, kalau cinta bisa muncul dari hal-hal yang sederhana... seperti dua orang yang belajar menanggung beban bersama."

Nadira menatap Rafli. Kata-kata itu menyentuh sesuatu di hatinya. Ia tersenyum kecil, perlahan merasakan kehangatan yang sebelumnya asing baginya. Mungkin, pikirnya, meski awalnya pernikahan ini terpaksa, bukan berarti tidak bisa menjadi sesuatu yang nyata.

Dan di sanalah, di tengah kebingungan dan rasa cemas, Nadira memulai lembaran baru dalam hidupnya-dengan Rafli, seorang pria yang selama ini hanya dikenal sebagai tetangga dingin, namun kini menjadi bagian dari dunia barunya.

Suara hujan rintik-rintik terdengar di luar jendela kamar Nadira. Ia duduk di tepi ranjang, menatap tumpukan buku yang tertata rapi di rak, mencoba mengalihkan pikirannya dari semua yang terjadi beberapa hari terakhir. Suasana rumah terasa sunyi, hanya terdengar gemericik hujan dan sesekali derit lantai kayu saat Rafli berjalan di lantai atas.

Sejak pernikahan mendadak itu, Nadira merasa seperti hidupnya dicabut dari kenyamanan dan kesehariannya. Semua yang ia kenal-rutinitas, kebebasan, bahkan teman-temannya-terasa berubah. Rafli, di sisi lain, tampak selalu tenang. Ia tidak pernah memaksa Nadira melakukan sesuatu yang tidak mau ia lakukan, tapi kehadirannya yang konsisten dan disiplin justru membuat Nadira semakin gelisah.

Hari itu, Nadira memutuskan untuk berjalan-jalan di halaman belakang, menahan keinginan untuk menangis sendirian di kamar. Hujan yang menetes di dedaunan memberikan ketenangan yang aneh, seperti dunia sedang menunggu sesuatu. Rafli keluar dari rumah, membawa payung besar untuk dirinya sendiri, lalu menatap Nadira yang masih berdiri di dekat tanaman mawar.

"Kau tidak basah?" tanyanya singkat. Nada suaranya tetap tenang, tapi ada kekhawatiran samar di matanya.

"Aku bisa menahan sedikit hujan," jawab Nadira sambil menunduk. Suaranya pelan, seolah mencoba menjaga jarak. Namun Rafli tetap melangkah mendekat, tanpa mengganggu ruang pribadinya.

Mereka berdiri dalam diam beberapa saat, hanya suara hujan yang menemani. Nadira merasa canggung, namun ada rasa aman yang tidak ia mengerti dari keberadaan Rafli. Ia menoleh, mencoba membaca ekspresinya, tapi wajah Rafli tetap maskulin dan tegas, tanpa sedikit pun menunjukan kelemahan.

"Kau... apa kau menyesal?" Nadira akhirnya bertanya, suaranya nyaris tak terdengar. Pertanyaan itu terasa berat.

Rafli menatap langit yang mendung, lalu menunduk sejenak. "Tidak. Aku... menyesal tidak bertemu denganmu dalam kondisi berbeda. Tapi aku tidak menyesal memutuskan menikahimu."

Kata-kata itu membuat dada Nadira sesak. Ia tidak tahu harus merasa lega atau semakin cemas. Rasanya dunia baru yang menimpanya ini terlalu cepat, terlalu tiba-tiba.

Seiring hari berganti, Nadira mulai merasakan ketegangan yang berbeda dari sebelumnya. Rafli bukan tipe pria yang suka berbasa-basi, tapi setiap tindakannya memiliki tujuan. Ia memperhatikan makanan yang Nadira makan, memastikan ia tidak terlalu lelah, bahkan menanyakan kabar tidur Nadira. Semua hal kecil itu membuat Nadira sadar-meski tidak pernah diucapkan, Rafli memperhatikannya dengan serius.

Suatu sore, Nadira mendapati Rafli sedang membersihkan gudang yang jarang digunakan. Ia berdiri di ambang pintu, menatap pria itu dengan rasa penasaran. Rafli tampak berbeda dari citra sombong dan dinginnya di mata tetangga. Tangannya yang besar bekerja dengan cekatan, namun matanya tetap waspada, seolah selalu menilai segala kemungkinan di sekelilingnya.

"Kau selalu melakukan semuanya sendiri?" tanya Nadira, suaranya masih penuh rasa ingin tahu.

Rafli menoleh sebentar, mengangkat alisnya. "Aku tidak suka merepotkan orang lain. Terutama sekarang, aku ingin semuanya tertata rapi."

Nadira menelan ludah. Ada rasa kagum yang aneh bercampur dengan cemas. Ia belum siap menerima pernikahan ini sepenuhnya, tapi di sisi lain, ia mulai menyadari bahwa Rafli adalah pria yang berbeda dari bayangan awalnya.

Malam harinya, saat hujan mulai reda, mereka duduk di ruang tamu. Nadira membuka jendela, membiarkan aroma tanah basah masuk. Rafli duduk di seberang, membaca koran. Keheningan mereka bukan lagi canggung, melainkan penuh pertimbangan. Nadira merasa seakan ada ruang yang lambat-laun mulai diisi oleh sesuatu yang belum bisa ia definisikan.

"Rafli... kau selalu terlihat kuat. Tidak ada yang bisa menggoyahmu," kata Nadira tiba-tiba, menatap pria itu.

Rafli menurunkan korannya, menatap Nadira dalam-dalam. "Kekuatan itu... kadang hanya topeng. Ada banyak hal yang kulalui sendiri, banyak hal yang tidak orang lain tahu. Aku juga takut, Nadira. Aku hanya pandai menyembunyikannya."

Nadira terdiam, kata-katanya tersangkut di tenggorokan. Ia tidak menyangka Rafli bisa berkata begitu, menyingkap sisi yang jarang ia tunjukkan. Ada kerentanan yang ia lihat, sesuatu yang membuat pria itu lebih manusiawi di matanya.

"Hidup kita... terlalu cepat berubah," Nadira berbisik. "Aku masih belum mengerti semua ini."

"Tidak apa-apa," jawab Rafli, suaranya lembut. "Kau tidak perlu mengerti semuanya sekarang. Kita hanya perlu belajar menjalani hari demi hari. Perlahan."

Kalimat itu menenangkan, tapi juga membuat Nadira merasa terjebak. Ia mulai bertanya-tanya, apakah hatinya bisa benar-benar menerima pernikahan yang awalnya dipaksakan ini.

Beberapa hari kemudian, Nadira menemukan buku harian lama Rafli yang tidak sengaja terselip di rak ruang tamu. Rasa penasaran membawanya membuka halaman demi halaman. Ia membaca catatan tentang kehilangan, penyesalan, dan rasa kesepian Rafli setelah kehilangan istrinya dulu.

Setiap kata di buku itu seakan memberi Nadira pemahaman baru. Rafli bukan hanya pria sombong dan dingin. Ia adalah seseorang yang pernah terluka, berjuang sendiri, dan kini mencoba memulai hidup baru, meski dengan cara yang tidak biasa.

Malam itu, Nadira duduk termenung sambil memegang buku harian itu. Ia mulai merasa, mungkin ada kemungkinan untuk mempercayai Rafli. Mungkin ada kesempatan untuk membuka hati, meski perlahan.

Keesokan harinya, mereka pergi ke pasar untuk membeli kebutuhan rumah. Rafli mengendarai mobil, Nadira duduk di samping. Perjalanan itu sunyi, tapi nyaman. Tidak ada kata-kata yang dipaksakan. Hanya ada keheningan yang perlahan menjadi akrab.

Di pasar, Rafli berbicara dengan pedagang dengan cara yang sopan namun tegas. Nadira memperhatikan caranya berinteraksi, caranya membuat orang lain menghormati dirinya tanpa harus menakut-nakuti. Ia mulai menyadari, meski Rafli terlihat dingin, ia memiliki karisma dan sikap yang membuat orang lain percaya padanya.

Malam harinya, di rumah, Nadira mencoba memasak untuk pertama kalinya setelah menikah. Rafli duduk di meja makan, menatapnya dengan senyum tipis yang jarang ia tunjukkan. "Hati-hati, jangan terlalu panas," katanya. Nadira tersenyum canggung, tapi merasa hangat di dalam.

"Terima kasih... Rafli," katanya. "Aku... aku ingin belajar, tapi aku takut salah."

Rafli mengangguk. "Tidak apa-apa salah. Kita semua belajar dari kesalahan. Bahkan aku pun masih belajar."

Ada rasa ringan di hati Nadira malam itu. Sedikit demi sedikit, ia mulai memahami, bahwa pernikahan mendadak ini mungkin bukan kebetulan yang buruk. Ada peluang untuk membangun sesuatu, walau awalnya penuh ketidakpastian.

Hari-hari berikutnya, Nadira mulai terbiasa dengan kehadiran Rafli. Ia masih sering merasa canggung, masih sering takut membuka hati sepenuhnya, tapi setiap interaksi dengan Rafli membuatnya sedikit lebih percaya. Rafli, di sisi lain, tetap konsisten, tidak memaksa, tapi selalu hadir dengan cara yang membuat Nadira merasa aman.

Suatu sore, ketika matahari mulai tenggelam, Nadira duduk di balkon. Rafli keluar dari rumah dengan membawa dua gelas air lemon hangat. Ia duduk di samping Nadira, tidak terlalu dekat, tapi cukup untuk membuat Nadira merasa diperhatikan.

"Kau tahu, Nadira... kadang hidup memang tidak adil. Tapi kadang juga memberikan kesempatan kedua. Kita hanya perlu siap mengambilnya," kata Rafli, menatap mata Nadira dengan serius.

Nadira menatap Rafli, hatinya berdebar. Ia merasa sesuatu mulai tumbuh di dalam dirinya-rasa percaya, rasa aman, dan bahkan sedikit rasa ingin tahu tentang cinta yang mungkin bisa muncul di antara mereka.

Dan malam itu, di bawah langit yang mulai gelap, Nadira menyadari bahwa meski pernikahan ini terjadi secara mendadak dan penuh ketidakpastian, ada kemungkinan bagi hatinya untuk menerima Rafli-perlahan, dengan waktu dan kesabaran.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Alimun Namora

Selebihnya
Ketika Istri Sah Hanya Dijadikan Pengasuh Anakmu

Ketika Istri Sah Hanya Dijadikan Pengasuh Anakmu

Romantis

5.0

Dua tahun setelah kehilangan istrinya karena kecelakaan, Reno Adiprana merasa hidupnya kehilangan arah. Hari-harinya berjalan seperti mesin-pulang, bekerja, tidur, lalu mengulang lagi. Dunia yang dulu penuh warna mendadak terasa abu-abu. Namun segalanya berubah ketika kantor pusat tempat Reno bekerja memutuskan untuk memutasinya ke Yogyakarta. Awalnya, ia menolak keras. Tapi setelah berpikir panjang, mungkin memang inilah cara Tuhan memaksanya keluar dari kubangan kenangan. Untungnya, Reno masih punya Bude Ratna, kakak mendiang ibunya yang tinggal di lereng Merapi. Perempuan setengah baya yang dikenal ramah dan penuh kasih itu langsung menyambut Reno seperti anak sendiri. "Di sini tenang, Ren. Kamu bisa mulai lagi dari awal," katanya lembut. Akhirnya Reno memutuskan untuk tinggal di rumah Bude Ratna, di sebuah desa kecil di kaki gunung. Setiap hari ia harus nglaju hampir satu jam ke kota untuk bekerja di kantor barunya. Tapi anehnya, perjalanan itu justru membuat dadanya terasa lebih ringan. Suatu pagi, saat mampir ke pasar desa mencari sarapan, Reno melihat seorang perempuan muda tengah sibuk mengaduk panci besar di gerobak kecil. Wajahnya teduh, rambutnya disanggul sederhana, dan senyumnya-entah kenapa-mampu menenangkan hati yang sudah lama kering. Namanya Mira Pradipta, lulusan gizi dari universitas negeri ternama. Tapi bukannya bekerja di rumah sakit atau instansi besar, Mira memilih menjual bubur bayi rumahan. "Kenapa jualan bubur, Mbak?" tanya Reno dengan nada heran suatu pagi. Mira tersenyum tipis. "Karena bubur ini bisa bikin Bapak saya makan tanpa lupa caranya," jawabnya pelan sambil menatap lelaki itu. Dari sanalah semuanya bermula-pertemuan antara seorang duda yang kehilangan, dan gadis sederhana yang bertahan demi ayahnya yang mengidap demensia. Dua jiwa yang sama-sama terluka, tapi perlahan menemukan arti baru tentang rumah, kehilangan, dan cinta yang tumbuh tanpa sengaja di lereng Merapi.

Buku serupa

Dilema Cinta Penuh Nikmat

Dilema Cinta Penuh Nikmat

Juliana
5.0

21+ Dia lupa siapa dirinya, dia lupa siapa pria ini dan bahkan statusnya sebagai calon istri pria lain, yang dia tahu ialah inilah momen yang paling dia tunggu dan idamkan selama ini, bisa berduaan dan bercinta dengan pria yang sangat dia kagumi dan sayangi. Matanya semakin tenggelam saat lidah nakal itu bermain di lembah basah dan bukit berhutam rimba hitam, yang bau khasnya selalu membuat pria mabuk dan lupa diri, seperti yang dirasakan oleh Aslan saat lidahnya bermain di parit kemerahan yang kontras sekali dengan kulit putihnya, dan rambut hitammnya yang menghiasi keseluruhan bukit indah vagina sang gadis. Tekanan ke kepalanya Aslan diiringi rintihan kencang memenuhi kamar, menandakan orgasme pertama dirinya tanpa dia bisa tahan, akibat nakalnya lidah sang predator yang dari tadi bukan hanya menjilat puncak dadanya, tapi juga perut mulusnya dan bahkan pangkal pahanya yang indah dan sangat rentan jika disentuh oleh lidah pria itu. Remasan dan sentuhan lembut tangan Endah ke urat kejantanan sang pria yang sudah kencang dan siap untuk beradu, diiringi ciuman dan kecupan bibir mereka yang turun dan naik saling menyapa, seakan tidak ingin terlepaskan dari bibir pasangannya. Paha yang putih mulus dan ada bulu-bulu halus indah menghiasi membuat siapapun pria yang melihat sulit untuk tidak memlingkan wajah memandang keindahan itu. Ciuman dan cumbuan ke sang pejantan seperti isyarat darinya untuk segera melanjutkan pertandingan ini. Kini kedua pahanya terbuka lebar, gairahnya yang sempat dihempaskan ke pulau kenikmatan oleh sapuan lidah Aslan, kini kembali berkobar, dan seakan meminta untuk segera dituntaskan dengan sebuah ritual indah yang dia pasrahkan hari ini untuk sang pujaan hatinya. Pejaman mata, rintihan kecil serta pekikan tanda kaget membuat Aslan sangat berhati hati dalam bermanuver diatas tubuh Endah yang sudah pasrah. Dia tahu menghadapi wanita tanpa pengalaman ini, haruslah sedikit lebih sabar. "sakit....???"

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku