Kau Bersandiwara Seolah Tak Bersalah
g masih terpejam. Ia mengerjap pelan, lalu bangkit dari tempat tidur yang terasa terlalu besar untuk ditiduri sendi
afli sudah di sana-seperti biasa-dengan kemeja rapi meski belum berangkat
panya tanp
suaranya nyaris tenggelam ol
lum ia mengambil telur, Rafli sudah berkata tanpa mengalihkan pandangan,
u dengan campuran rasa kesal dan tak berdaya. "Aku bi
"Aku tahu. Tapi pagi-pagi begini, lebih praktis
erti sedang diatur. "Aku tidak lelah. Aku hanya ingin melakukan ses
entu. Aku tidak pernah bilang tidak." Lalu ia kembali menat
d buruk, tapi sikapnya yang selalu tenang justru membuatnya f
n telur dadar dan tempe orek. Rafli menata piring di meja makan tanpa banya
tidurmu?" t
awab Nadi
u harus memulai dari mana. Ia ingin tahu banyak tentang Rafli-tentang pekerjaannya, tentang masa lalunya-tapi
tak bicara ternyata lebih melela
pakaian. Televisi menyala tapi tidak benar-benar ditonton
pat ia bebas menulis, bercanda dengan teman, tertawa tanpa beban-dan dunia
emudian, Rafli masuk membawa beberapa berkas dan sebuah kantong pl
nya. "Kau tidak biasa pul
tersenyum tipis. "Tidak ada. Ha
ri kantong-sushi, salad, dan ayam panggan
n ragu. "Kau ingat aku bilang ti
lu menatapnya lagi. "O
Ia menarik napas dalam, mencoba menahan kekesalannya. "Tak apa," katanya akh
ntara Nadira memilih membaca buku di ruang tamu. Sesekali ia mendengar langkah kaki
p bukunya, menatap jendela yang dipenuhi butiran air. Lalu tanpa berpi
masuk?" tan
meja, lalu mengan
an, dan aroma kopi hitam yang tajam. Nadira berjalan perlahan, matanya berhenti
enti, tak berani mel
as pelan. "Itu ist
yang terdengar. Nadira menatap foto itu lebih
mandang kosong ke arah jendela. "Mereka
nya, tapi pria itu tetap datar. Hanya ada sedikit kerutan di a
ahu," ucap Nadira p
potong Rafli. "Ak
ngin mengatakan sesuatu, tapi tidak tahu bagaiman
Nadira berkata. "Kita sudah menikah hampir dua mi
k sekarang. Aku tidak ingin kau merasa terikat pada masa laluk
dengan nada lembut tapi tegas. "Kau juga bagian dari hidupku
dira, dan untuk pertama kalinya, ada sesuatu di matan
i jangan paksa semuanya keluar sekaligus. A
engajak Nadira berbicara. Ia menanyakan hal-hal kecil-tentang makanan yang disukai, tentang b
a itu seperti langkah kecil menuju sesuatu
o bahan bangunan. "Aku ingin memperbaiki ruang
ecil saat Rafli mengeluh tentang betapa buruknya pegawai toko sebelumnya mengecat rumahnya.
sa bercanda," ujar Na
a sebentar. "Ak
tuk pertama kalinya, Rafli t
udah berdiri seorang wanita muda dengan pakaian rapi dan ekspresi tajam. Nadira sempat mengira wanita it
ada dingin. "Kau tidak menjawab p
ahnya pelan tapi tegas. "Kena
mengulang nama
ai bawah, lalu tersenyum miring. "Jadi i
negang. "
nada menyengat. "Atau... mungkin lebih tepatny
ra tajam. "Kau tidak perlu campur tangan
ada yang benar-benar selesai, Rafli. Ap
ntian, bingung dan cemas. "Ke
tangannya, suaranya rendah tapi
ap
ilang
ya. Ia melangkah masuk ke rumah, meski hatinya bergemuruh. Dari jend
ira menyadari bahwa pria yang kini menjadi suaminya bukan hanya menyimp
lama di ruang tamu, menatap kosong ke arah pintu yang sudah ter
tinya mulai diliputi rasa takut-takut bahwa pernikahan ini mungkin bukan hanya ten
ra. Ia membuka mata perlahan, menatap langit-langit kamar yang bukan miliknya, lalu menarik napas panja
reka, ia lebih banyak menghabiskan waktu di balik pintu, hanya keluar ketika benar-benar perlu.
a koran sambil menyeruput kopi. Rambutnya masih sedikit basah, wangi sabun maskulin memenuhi u
ra, suaranya hamp
pnya singkat, lalu tersenyum t
menghindari tatapan mata pria itu. Tangannya
i?" tawarnya, ta
ndorong satu cangkir ke arahnya. "Coba saja.
-tidak terlalu manis, sedikit pahit, tapi anehnya pas di
erhatikan, waktu di rumah ibumu dulu, kamu s
mua tatapan dingin dan diamnya Rafli dulu, ternya
gak pernah peduli,
ran. "Aku bukan orang yang banyak bicara, t
biasanya. Ada sesuatu yang berubah-entah karena kopi pagi itu, atau
setiap sudutnya tertata rapi dan steril seperti kamar hotel. Ia memegang kain lap dan mulai menge
memeluk anak kecil laki-laki, keduanya tersenyum bahagia di pantai. Na
membuat Nadira sedikit terlonjak. "Kamu
unkan foto itu. "Maaf,
ar, lalu meletakkannya kembali di tempat se
ersalah. "Aku nggak berma
namun mengandung nada kehilangan. "Kam
elan. Ia tak berani
terbuka separuh. Nadira duduk di teras, menatap halaman yang dipenuhi
Ia duduk di kursi sebelahnya tanpa bicara. Keduanya
ujar Nadira tiba-tib
oleh pela
rumah. Aku terbiasa sibuk, dan ak
rang. Tapi... kamu tahu orang-orang di sekitar
apa yang mau kulakukan," jawab Nadira dengan suara t
sulit menolak. Kekuatan, tapi juga luka. Ia mengangguk pelan. "Bai
"Aku sudah terbiasa deng
taf administrasi di sebuah toko alat tulis di pusat kota. Rafli mengantar di ha
Rafli jarang bertanya, tapi selalu memastikan ada makanan di meja makan setiap malam. Hubu
empatnya bekerja tutup mendadak. Saat memasuki rumah, ia m
ini, Raf. Dia bukan Lina,"
enegang. Ia melihat seorang perempuan elega
noleh, terkejut melihat
ung kepala hingga kaki dengan tatapan menilai
yum sopan meski dadany
tangan dengan gerakan an
ina? Nama yang tadi disebut-
senang. "Cukup, Rania. Aku nggak ma
itu saja? Kakakku meninggal, anaknya dibawa pergi,
as. Ia menatap Rafli dengan mata
t, lalu berbisik sinis, "Kalau kau tahu siapa sebenarn
as berat. "Rania,
alik pergi tanpa berkata lagi. Pintu tertutu
dengan mata berair.
siap menceritakannya," ucap Rafli pelan. "Aku mema
a Nadira denga
rena aku kehilangan hak asuhnya setelah Lina meninggal
tahu harus marah atau iba. Di depan matanya, pri
a yang tergantung di dinding. Hatinya penuh tanya-tentang masa lalu Rafli
ah kaki mendekat, lalu selimutnya ditarik pelan agar menutupi bahunya. Suara
ku hanya takut k
ernikahan ini bukan hanya tentang menutupi malu, tapi juga tentang dua hati yang sam