Diselingkuhi seringkali menjadi nasib sial untuk seorang perempuan. Rasa kecewa dan hancur, membuatnya memutuskan untuk menyetujui sebuah perjanjian konyol. Dia bermain ranjang dengan teman kerjanya tanoa status.
Hujan begitu deras mengguyur kota London. Langit jelas sekali tampak gelap, sementara jalanan masih terang menampakkan orang-orang yang berhalu lalang. Ada yang berlari sambil menutup kepala atas dengan sesuatu, ada juga yang berjalan santai mengenakan mantel, ada juga yang berjalan cepat menggunakan payung.
Halte bus cukup ramai sekarang. ada sekitar sepuluh orang yang berada di sini menunggu angkutan umum. Vivian yang sudah setengah basah, masih duduk sambil memainkan ponselnya. Dia menghilangkan rasa bosan dengan memainkan game di sana.
Biasanya Bus akan melintas sekitar pukul lima tepat, itu artinya Vivian dan yang lain masih harus menunggu sekitar sepuluh menit sampai bus datang.
Drt! Drt!
Hampir saja Vivian menjatuhkan ponselnya yang mendadak bergetar itu.
"Ya, Halo, Bu. Ada apa?"
"Di mana kamu?"
"Masih di halte. Kenapa?"
"Belikan ibu obat sakit kepala."
Vivian berdiri ketika beberapa orang sudah mendekat ke jalan. Dia menoleh ke arah kiri dan terlihat sebuah bus berwarna biru melaju mendekat.
"Baik, Bu, nanti aku belikan. Sudah dulu ya, busnya sudah datang."
Vivian ikut maju di antara gerombolan orang-orang yang juga hendak masuk ke dalam mobil. Namun, di saat satu kakinya hendak naik pada tangga bus, Vivian melihat sesuatu yang membuatnya terbengong.
Beberapa orang di dalam bus, menatap ke luar dari balik jendela bersamaan. Sang sopir juga sampai meninggikan pandangan menunggu Vivian yang tidak kunjung naik. Pandangannya juga mengarah ke luar sana yang entah sedang menatap apa.
Apa aku tidak salah lihat?
"Nona!" tegur pak supir. "Mau naik atau tidak? yang lain sudah menunggu."
Vivian sontak bergidik. Dia plonga-plong seperti orang linglung, lalu detik berikutnya bergidik cepat. Sama sekali tidak mengucapkan apapun, Vivian menurunkan satu kakinya, lalu berjalan meninggalkan bus yang masih terparkir. Sang sopir sudah menghela napas, sementara para penumpang ada yang berbisik dan mencibir.
Sekarang, Vivian berjalan lebih cepat tidak peduli jika nanti bajunya semakin basah. Memang sudah tidak hujan deras seperti tadi, tetapi gerimis juga masih tetap bisa membuat kepala basah sampai ke bawah.
"Mau ke mana mereka?" gumam Vivian.
Dua orang yang tidak jauh di hadapannya, berjalan sambil saling merangkul. Dari belakang tidak terlalu jelas terlihat itu siapa, tapi tadi Vivian jelas sekali bisa melihat siapa dua orang itu. mantel tebal parasut itu juga Vivian sangat mengenalinya.
Mereka berdua terus berjalan sampai memasuki sebuah gang. Ada beberapa orang di sini yang tengah merokok, ada pula yang tengah bercumbu dan tentunya ada pemandangan lain yang sama sekali tidak Vivian hiraukan sampai ia tersadar sudah berdiri di depan sebuah apartemen.
Vivian pernah ke sini sebelumnya. Dia datang menginap dengan teman-temannya karena waktu itu dia banyak kerjaan di tempat kerjanya. Karena takut datang terlambat, akhirnya dia memutuskan untuk menginap semalam di apartemen temannya.
"Mau apa mereka ke sana?"
Vivian ikut masuk ketika dua orang itu masuk ke dalam. Masuk ke lantai satu dan saat hendak naik tangga, Vivian sudah menghubungi salah satu dari mereka melalui ponselnya. Vivian berdiri di balik dinding, sambil bersandar dan menarik napas dalam-dalam.
"Tunggu sebentar." Cleve melepas rangkulan lalu merogoh ponselnya di dalam saku mantelnya.
Setelah melihat layar ponselnya, Cleve menatap Wanita cantik di hadapannya yang bernama Hannah. Hannah tampak menaikkan kedua alis dan membuka mulut tanpa bersuara. Cleve yang makan dengan gerak bibir itu, meminta Hannah itu tetap diam lebih dulu.
Sebelum menekan tombol dial berwarna hijau, Cleve berdehem dan mengatur diri supaya tidak gugup atau panik.
"Halo, Sayang. Ada apa?"
"Kamu di mana?"
"Oh aku ... aku sedang di rumah. Kenapa?"
Vivian tersenyum getir. Dia sedikit mengintip melihat dua orang di depan anak tangga itu, sebelum kemudian menarik diri kembali bersembunyi.
"Tidak apa-apa. Niatnya aku mau mengajak kamu jalan malam ini."
"Oh! Begitu, ya? Tapi aku ..."
Cleve menatap Hannah dengan mata membulat an satu telapak tangan bergerak meminta bantuan supaya bisa memberi alasan yang tepat pada Vivian.
"Tapi kenapa?"
"E... aku, aku sedang tidak bisa meninggalkan rumah sekarang. ayahku memintaku membantu mengerjakan tugas kantornya."
Senyum getir itu kembali terlihat. Dada Vivian mulai terasa seperti tertusuk-tusuk sekarang. telapak tangannya yang mungil, mengusap dada dan sedikit menekan di sana.
"Ya sudah. Aku akan tetap di rumah saja," jawab Vivian kemudian.
"Oh, aku benar-benar minta maaf, Sayang. Aku janji lain kali akan mengajakmu jalan. Oh, besok mungkin aku bisa datang ke rumahmu."
"Ya, terserah kamu."
Tut!
Panggilan terputus begitu saja. Cleve, mengerutkan dahinya lalu menatap layar ponsel dengan panggilan yang sudah berakhir. Wajah itu terlihat cemas dan merasa bersalah sekarang. ada desahan berat ketika Cleve memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku mantel.
"Kenapa dengan wajahmu?" cibir Hannah. "Kamu mencemaskan dia?"
Dengan cepat Cleve menggeleng. "Tentu saja tidak."
Hannah mendecih lalu membuang muka dan melangkahkan kaki menaiki tangga lebih dulu. Dengan cepat Cleve menyusul.
"Tunggu! Tck! Kamu kan tahu kalau dia itu tunanganku. Keluarga sudah menentukan tanggal pernikahan."
"Lalu?"
"Tentunya kamu sudah mengerti akan hal ini."
"Ya, terus? Apa aku harus memahami kamu? Aku juga kekasihmu di sini."
Hannah terus berjalan dengan cepat lalu membuka pintu dan mendorongnya sampai membentur dinding. Wajahnya tampak kesal membuat Cleve mendesis dan menghela napas jengah.
"Dengar ..." Cleve meraih kedua tangan Hannah dan menatapnya dalam-dalam. "Kamu tahu aku sangat mencintai kamu, kan? Jangan bertengkar hanya karena Vivian menelponku."
Cleve menurunkan pandangan mencoba untuk merayu dan menenangkan hati sang kekasih. Dia mengusap wajah Hanna dengan lembut, lalu maju dan mengecup bibir merah merona itu dengan lembut.
"Aku datang ke sini untuk bersenang-senang denganmu. Jangan mengacaukannya, oke?"
Wajah Cleve yang pandai merayu, berhasil meluluhkan Hannah yang tengah merajuk. Wanita itu mulai merengek manja sekarang. dia mendaratkan telapak tangan di mantel yang sedikit basah terkena hujan di luar, lalu perlahan jemarinya menurunkan resleting. Bibir merah merona terlihat tersenyum nakal membuat Cleve tidak bisa menahannya lagi.
Cleve membawa Hannah ke atas ranjang, mulai mencumbunya dengan panas. Beberapa kecupan mendarat di tempat yang tepat membuat Hannah meracau tidak jelas. Desahan yang mereka hasilkan, melupakan seorang Wanita cantik yang sekarang sudah berlari di bawah gerimis yang dingin. Angin malam yang semakin menusuk, membiarkan Wanita kebasahan di bawah lampu jalan, menangis memeluk kedua lututnya.
"Bagaimana mungkin mereka melakukan itu di belakangku?" isak Vivian.
Ia menangis sesenggukan membayangkan apa yang tengah mereka berdua lakukan di dalam apartemen itu. melihat mereka saling merangkul, rasanya otak ini akan susah untuk berpikir yang positif.
***
Buku lain oleh Irma W
Selebihnya