Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Istri Dadakan Tuan Kejam

Istri Dadakan Tuan Kejam

Irma W

5.0
Komentar
4K
Penayangan
89
Bab

Kehilangan seorang kekasih yang sebentar lagi akan dipersuntingnya, tentu membuat hati sakit dan kehilangan. Dia menjadi sosok yang dingin dan kejam mengingat bagaimana kecelakaan itu terjadi. Ketika sebuah dendm menyelimuti hatinya, dia tidak berpikir panjang untuk menghancurkan seseorang yang membuat sang kekasih pergi untuk selamanya. Ketika pernikahan rencana berjalan dengan lancar, hatinya mendadak goyah. Dia yang kejam merasakan hatinya tersentuh ketika berada didekat wanita yang ia nikahi demi balas dendamnya.

Bab 1 chapter 1

Dentuman musik kian terdengar nyaring saat gelas keenam ia teguk. Dunia serasa berputar hebat dan tubuh mulai kehilangan kendali. Wajah tampan yang semula tegas mendadak ambruk tersungkur di atas lantai. Sebelum mata terpejam, riuh suara keributan mulai mendekat. Suara-suara teriakan orang bergantian dan mulai mengangkat tubuh itu.

"TANIA!"

Gery terduduk dengan bola mata membulat sempurna. Napasnya berderu cepat, sementara seluruh tubuhnya sudah dibanjiri keringat. Mimpi itu datang lagi dan lagi mengganggu tidurnya.

Di balik pintu kamarnya, suara langkah kaki ramai-ramai terdengar kian mendekat. Dan salah satu dari mereka membuka pintu dengan cepat.

"Kau, tidak pa-pa?" tanya pria berpawakan sedang. Dion mendekati ranjang di ikuti tiga pelayan wanita dan dua pelayan pria.

Gery membuang napas kemudian menyibakkan selimut dan duduk di tepi ranjang. "Aku baik-baik saja. Kalian keluar."

Saat semua sudah berbalik dan hendak keluar, Gery berkata lagi. "Kau tetap di sini, Ion."

Merasa namanya dipanggil, Dion pun berbalik. Menutup pintu setelah para pelayan keluar, Dion mendekati Tuan mudanya yang tengah memijat kening dengan badan sedikit membungkuk.

"Ka sungguh baik-baik saja kan?" tanya Dion.

Gery menegakkan badan lalu mendesah. "Aku cuma masih sedikit pusing. Apa semalam aku mabok lagi?" tanya Gery kemudian.

Dion mengangguk prihatin. Sudah hampir satu bulan, hari-hari Gery dihabiskan dengan foya-foya. Bukan bersama seorang wanita, melainkan hanya bersenang-senang untuk menghibur diri. Pergi ke kelab atau tempat yang aneh karena rasa sedih telah kehilangan sang kekasih.

Sebagai sekertaris sekaligus asisten pribadi dan sahabat, Dion mulai kewalahan menghadapi sikap Tuannya yang terkadang kelewat batas. Kadang Geri menangis, kadang berteriak, terkadang dia mengamuk dan membanting apapun yang ada di hadapannya. Selain harus mengurusi hal pribadi, Dion juga harus mengurus perusahaan sekaligus perkebunan apel milik Gery.

"Kau mau minum?" tawar Dion.

Gery berdiri. "Ambilkan aku air hangat." Perlahan, Gery melangkah menuju balkon. Udara pagi hari mungkin akan terasa sejuk dinikmati dari gedung apartemen di lantai sepuluh.

Meskipun berbagai macam suara di bawab sana masih terdengar jelas, tapi setidaknya di atas sini bisa merasakan embusan angin yang membuat raga sedikit lebih nyaman.

"Ini," Dion kembali dengan membawa segelas air hangat.

Gery menerima uluran gelas tersebut. Berdiri menghadap ke luar, Gery perlahan meneguk minuman hangatnya. Setelah gelas tinggal berisi setengah air hangat saja, Gery kembalikan pada Dion dan kemudian diletakkan di atas meja.

Dion kembali lagi mendekati Gery. "Sore ini persidangan akan dilaksanakan."

Gery berbalik lalu bersandar pada dinding plafon. "Orang itu harus dihukum seberat-beratnya."

"Tentu saja. Orang tersebut dipastikan bersalah dan jelas akan masuk penjara."

Satu bulan waktu yang terasa sangat lama harus dinikmati tanpa sang kekasih. Geri Pamungkas atau biasa dipanggil Gery, tidak akan membiarkan orang yang telah membuat dirinya kehilangan sang kekasih lepas begitu saja tanpa bertanggung jawab. Dan sore ini, di depan hakim ketua dan para saksi, Gery akan memastikan orang tersebut masuk ke dalam penjara.

"Masih ada yang kau butuhkan?" tanya Dion sebelum beranjak.

"Nggak ada. Kau boleh keluar," jawab Gery dalam pandangan masih ke luar sana. "Jangan bilang ibu atau ayah kalau aku mau pergi menemui orang itu. Biar aku yang bilang sendiri nanti."

Gery mengangguk. "Oke."

Seperginya Dion, Gery beranjak dari plafon. Dia pergi ke kamar mandi dan berendam untuk sesaat. Berbaring di dalam bak mandi, Gery menenggelamkan seluruh badannya di dalam air untuk sesaat. Memejamkan mata di dalam sana dengan napas tertahan. Gery enggan bangun sebelum napasnya mulai tersendat.

"Aku merindukanmu," batin Gery dalam umpatan.

Di lantai bawah, Dion nampaknya tak bisa menghindar. Dua majikannya tengah menunggu dan pastinya sudah dengan beberapa pertanyaan yang harus dijawab oleh Dion. Tak mungkin kembali ke lantai atas lagi, Dion memberanikan diri untuk turun dan menemui mereka.

"Tuan, Nyonya," Dion membungkukkan badan.

Mereka berdua memandangi Dion dengan tatapan aneh. Membuat Dion gugup dan sedikit getaran.

"Bagaimana keadaan Gery?" tanya Abraham-selalu ayah Gery. "Dia masih mengurung diri atau sudah puas mabuk-mabukkan?"

Gery mendesis lirih dan melipat kedua bibir. Sudah sejak Gery menggila, Dion lah yang selalu jadi sasaran empuk untuk amarah Abraham. Pun dengan Wenda-istri sekaligus ibu dari Gery.

"Itu ... maaf, Tuan." Gery gemetaran sendiri. Pertanyaan itu sangatlah mudah untuk dijawab, hanya saja terasa kelu untuk diucapkan.

"Dia mabuk lagi?" kali ini Wenda yang bertanya. Wajahnya tak menunjukkan amarah, melainkan rasa khawatir seorang ibu pada anaknya.

Dion mengangguk ragu. Posisi Dion memang sangatlah sulit. Disisi lain, dia tidak boleh membantah tuannya, tapi di sisi lain dia juga tidak boleh membantah kedua majikannya. Meskipun dalam hal ini Dion dibayar oleh Gery, tapi bukan berati Dion lancang kepada Abraham maupun Wenda. Biar bagaimanapun mereka tetap paling utama yang harus dihormati.

"Tidak usah khawatir ..." Gery muncul dengan celana kolor dan kaos oblong. Sementara dua tangannya tengah menggosok-gosok rambut basahnya. "Aku tidak akan mabuk lagi. Semoga saja." Geri sampai di lantai satu.

Abraham memandang malas ke arah Gery. Sebagai ayah, bersifat tegas pada anaknya memang harus dipatuhi. Namun, tidak dengan Gery. Selain keras kepala, Gery juga tipe pria yang susah diatur. Pria berumur 30 tahun yang selalu mencoba mandiri meskipun terkadang sifat angkuhnya tidak bisa dikendalikan.

"Gery," panggil Wenda. "Ayo sarapan. Buat dirimu nyaman lagi." Wenda meraih lengan Gery dan menggandengnya menuju ruang makan.

Menyusul di belakang, Abraham menghela napas berat. Masalah Gery memang berat. Ditinggal kekasih saat menjelang pernikahan, tentunya membuat raganya hancur. Calon istrinya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Apa penyebab sebenarnya, Abraham belum tahu. Gery lebih banyak bungkam jika ditanya mengenai pelaku tabrak lari tersebut.

"Mau makan sama apa?" tawar Wenda. "Sini ibu ambilkan." Wenda meraih piring kemudian mencentong nasi dan memasukkan lauk dan sayur.

"Makasih, Bu." Gery menerima uluran piring berisi sarapan tersebut.

"Sepertinya kau sudah terlihat mulai sumringah, " kata Abraham.

"Iya, Ayah. Aku sudah mengikhlaskan Tania. Dan yang terpenting, sebentar lagi aku juga akan segera memenjarakan pelaku," ujar Gery.

Abraham dan Wenda saling pandang. Sarapan yang sudah tersedia mereka abaikan untuk sesaat.

"Apa maksudmu, Ger?" tanya Wenda.

"Aku jelaskan nanti kalau masalahnya benar-benar sudah beres. Intinya, orang itu harus mendapat hukuman setimpal."

Sementara Geri mengunyah menikmati sarapannya, entah Abraham maupun Wenda justru mendadak merasa was-was. Tingkah nekat pada diri Gery perlu dipertanyakan dan diwaspadai.

"Dion!" panggil Gery pada Dion.

Dion yang semula menunggu di ruang tengah segera mendekat. "Iya,Tuan. Ada apa?

"Kau pergi dulu ke kantor. Cek ketersediaan barang yang harus diolah. Sore nanti, kau datang jemput aku."

Dion mengangguk mantap dengan perintah Tuannya. Dan enam jam lagi, mungkin Dion akan dihadapkan dengan keadaan menegangkan di sebuah pengadilan. Jika Dion merasa was-was, Gery justru terlihat mengulum senyum yang perlahan berubah menjadi seringaian mengerikan.

***

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Irma W

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku