Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Teman Dalam Taqwa

Teman Dalam Taqwa

Nara Aulia

5.0
Komentar
2.8K
Penayangan
21
Bab

Kisah seorang wanita yang memiliki kesabaran dan keihklasan seluas samudra. Ia Rela menjalani kehidupan rumah tangga dalam keadaan poligami. Buah keihlasan itu menghadirkan rasa manis kebahagiaan tak terhingga.

Bab 1 Permintaan poligami.

"Ummi, boleh abi menikah lagi?" tanya Abi Fauzan sore itu.

Aku yang kala itu tengah bermain bersama buah hatiku, Aisyah sangat terkejut mendengar permintaan suamiku. Kupejamkan mata seraya menarik nafas panjang, meredam gemuruh yang ada di hati saat ini. Aku menatap lembut kepada Aisyah, Aisyah yang baru berusia 4 tahun, lalu membawanya ke dalam kamar dan memberikan beberapa mainan kesukaannya.

"Aisyah main di dalam kamar dulu ya. Ummi ingin menemui Abi sebentar, tidak apa-apa ' kan Sayang?" tanyaku menatap bola mata bulat milik putriku.

Aisyah lalu mengangguk, dan tersenyum begitu manis ke arahku, "Silakan, Ummi."

Tak membuang waktu, aku segera beranjak keluar dari dalam kamar Aisyah, lalu menutup pintu kamarnya. Langkah kaki ini terasa berat, tetapi kupaksakan menemui kekasih halal sekaligus imamku. Dari jarak beberapa meter, dapat kulihat jika lelaki yang sudah mengucap janji suci lima tahun yang silam, tampak diam menunduk seraya memainkan jari jemarinya. Aku tahu apa yang saat ini dirasakan oleh suamiku Abi Fauzan. Ia begitu gelisa dan cemas terhadap permintaannya yang belum juga ada jawaban dariku.

Aku melanjutkan langkah menemui lelaki yang begitu kucintai, senyuman kebahagiaan selama lima tahun bersamanya tak pernah lenyap dari bibir ini.

"Maafkan ummi, Abi. Jika ummi meninggalkan Abi seorang diri tanpa pamit. Tentu Abi tahu sebabnya!" ucapku dengan senyuman manis yang tersungging di bibir.

"Abi mengerti, Ummi!" Sorot mata yang teduh lagi-lagi mampu meredam gemuruh dalam dada.

Abi Fauzan melangkah menghampiri dan berlutut di hadapanku, seraya memegang jari jemari ini dengan lembut, mengangkat dagu yang tertunduk, dan menatap mata ini penuh cinta dan kasih sayang.

"Ummi ... abi tahu permintaan abi kali ini sangat sulit, abi tahu permintaan abi akan menyakiti hati Ummi. Akan tetapi, abi tidak bisa melakukan apa pun selain mengatakan semua ini kepada, Ummi. Tolong izinkan abi menikah lagi."

Deg ....

Jantungku berdetak begitu kencang, pertanyaan yang sama telah dilontarkan oleh imamku. Aku menatap lekat wajahnya yang rupawan, terpancar senyuman yang begitu teduh di sana. Senyuman yang membuatku jatuh cinta untuk kesekian kalinya.

Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya, seraya membalas senyuman teduh itu. Aku mengusap jari jemari Abi Fauzan, "Boleh ummi tahu alasan Abi ingin menikah lagi?" tanyaku seraya menatap bola matanya yang indah.

"Abi jatuh cinta kepada seorang gadis, Ummi!" jawab suamiku dengan jujur. Ada yang retak tetapi bukan kaca melainkan hatiku yang hancur. Bagai tersayat pisau, perih dan pedih itulah yang kurasakan saat ini.

Aku tetap mempertahankan senyuman yang tersungging di bibir, permintaan suamiku kali ini memang sangat berat dan cenderung sulit untuk di iyakan. Terlepas dari semua itu, aku tetap harus berpikir positif dalam menyikapi setiap permasalahan rumah tanggaku.

"Tolong jelaskan apa yang membuat Abi jatuh cinta dengan gadis itu? Apakah Abi mencintai gadis itu hanya karena wajahnya?" tanyaku.

"Tidak Ummi, abi jatuh cinta kepada gadis itu bukan karena rupa atau karena kemolekan tubuhnya. Akan tetapi, abi mencintai, sebab akhlaknya yang mulia, serta perangainya yang sangat lemah lembut!" ungkap Abi Fauzan.

"Lalu bagaimana dengan penampilannya?" tanyaku kembali. Aku kembali menatap lekat ke arah Abi Fauzan.

"Alhamdulillah, dia wanita yang menutup auratnya," jawab Abi Fauzan kembali.

"Baiklah jika seperti itu, Abi. Izinkan ummi bertemu dan mengenalnya dulu sebelum memutuskan permintaan Abi."

"Baiklah ... abi akan berbicara dan meminta izin ayahnya agar bisa membawa Humairah bertemu dengan Ummi."

"Tidak, Abi! Bawa ummi bertemu dengannya beserta keluarga besarnya, di kediaman mereka. Ummi ingin berbicara dan menanyakan beberapa hal kepada Humaira di depan semua orang, tak terkecuali seluruh keluarga besarnya. Bagaimana Abi? Apakah Abi setuju?" tanyaku kepada Abi Fauzan. Abi Fauzan tampak cemas mendengar permintaanku untuk menemui gadis yang bernama Humairah, di depan keluarga besarnya.

"Apakah Ummi tidak akan melakukan hal-hal di luar batas?" Sebuah pertanyaan mengandung kecemasan.

Aku tersenyum mendengar ucapan Abi Fauzan, lalu mengusap lembut bahu kokoh suamiku.

"Abi tidak perlu cemas, jangan khawatir mengenai sikapku saat bertemu dengan keluarga Humairah. Ummi akan menjaga sikap di hadapan keluarga besar Humairah, Abi. Ummi bukan wanita yang mudah terpancing emosi, meski saat ini ummi tidak bisa memungkiri, jika permintaan Abi sungguh menyakiti hati Ummi. Namun, bukan itu poin pentingnya, sebagai seorang wanita ... tentu saja ummi sakit hati. Akan tetapi, ummi juga perlu tahu dan mengenal bagaimana perangai wanita yang akan menjadi calon maduku, sebelum ummi benar -benar setuju," ujarku pada lelakiku itu.

"Maafkan abi, Ummi. Abi tahu hati Ummi saat ini tengah sakit dan kecewa!" Abi Fauzan tertunduk dengan bahu bergetar.

Aku yang melihat suamiku menangis dalam keadaan tertunduk, hanya bisa mengusap punggungnya dengan lembut. Aku tahu suamiku saat ini pasti sangat menyesal telah meminta izin untuk menikah lagi. Namun, aku tidak menyalahkan sebab keadaan ini terjadi, suamiku Abi Fauzan adalah seorang lelaki yang sholeh menurut versiku, karena lima tahun aku hidup menjalani biduk rumah tangga bersamanya, tak sekalipun aku melihat lelakiku itu, menatap kagum ke arah wanita yang bukan mahramnya. Ia selalu menundukkan pandangan terhadap lawan jenisnya.

Entah mengapa kali ini, ia bisa jatuh cinta kepada seorang gadis, aku tak tahu apa sebabnya itu terjadi, karena sejauh yang kutahu, Abi Fauzan bukanlah lelaki yang mudah mencintai orang lain.

Dari perihal inilah, aku mulai menata hati dan pikiran, mungkin ada hal yang istimewa dari gadis itu, sehingga membuat lelaki bisa jatuh hati padanya. Hingga aku mengambil keputusan untuk mengenal wanita itu lebih dulu, sebelum mengambil langkah poligami.

Meski pada akhirnya aku akan setuju dengan poligami yang akan Abi Fauzan lakukan, tetapi sebelum itu terjadi aku harus lebih dulu menyelami perangai wanita kedua suamiku. Baik buruknya aku harus memahami semuanya. Bagiku poligami jauh lebih baik, dari pada harus terus menerus melihat suamiku berzina hati. Aku senang! Sebab Abi Fauzan mau mengatakan semua yang terjadi dengannya, karena sebagian lelaki, pasti akan menutupi semua rasa itu, jika ia mencintai seorang wanita tanpa ingin diketahui. Meski aku tak bisa mengelak, kejujurannya membuatku teramat sakit.

"Abi tak perlu meminta maaf sebab permintaan itu, ummi cukup paham mengapa Abi mengatakan dan meminta izin ummi terlebih dulu. Mencintai seseorang adalah hal yang lumrah. Meski tak bisa ummi pungkiri jika ummi senang sekaligus sedih, sebab kejujuran yang ada pada diri Abi. Ajaklah ummi bertemu dengan wanita itu, Abi. Jangan takut! Ummi tidak akan melakukan hal yang membuat Abi malu!" Aku menatap lekat sorot mata yang selalu memancarkan cinta di sana. Tak ada yang berubah dari sorot mata itu, semuanya masih sama. Hanya satu doaku dalam hati saat ini, semoga cinta itu masih sama besarnya walau nantinya akan hadir bidadari lain di hati suamiku.

"Terima kasih, Ummi. Terima kasih telah menjadi penyejuk di saat hati ini tengah gunda gulana. Jika Ummi menyetujui pernikahan abi, insya Allah abi akan berlaku adil!" Lelaki itu memeluk erat diriku yang sempat menitikan air mata pedih. Namun, aku harus tetap tegar menerima semua qodarullah yang Allah tetapkan untuk pernikahanku.

Meski hatiku saat ini tengah sakit, aku mencoba berpikir husnudzon terhadap Allah SWT, mungkin iman dan islamku tengah diuji saat ini dengan adanya permintaan poligami ini.

"Ayo kita sholat magrib dulu, Abi. Ummi ingin mengadu kepada Sang Pencipta dan meminta petunjuk atas keputusan apa yang akan ummi berikan pada Abi!" Aku menarik mesra tangan kekasih halalku, menuju mushola yang ada di dalam rumah kami. Tempat sederhana. Namun, sangat nyaman.

Tempat inilah menjadi tempat terbaikku, saat hati dan pikiranku dalam keadaan yang benar-benar down. Aku menggantungkan semua harapan pada Sang Maha Kuasa, berharap apa yang terbaik menjadi kisah hidupku.

Tak menunggu lama, aku dan Abi Fauzan beranjak lalu melangkah ke arah mushola yang ada di dalam rumah, kami berdua salat berjamaah dengan khusyu melupakan sejenak urusan dunia yang tengah membelit saat ini.

Dalam doa, kutumpahkan semua rasa sesak yang ada di hati. Aku menangis di atas sajadah yang menemaniku setiap aku melaksanakan kewajiban. Setelah puas menangis di atas sajadah ini, tepukan halus di pundak mengakhiri semua tangis ini. Aku memeluk erat lelaki yang telah membersamaiku selama lima tahun, tangisku tumpah seketika aku tak bisa menahannya lebih lama lagi.

Permintaan maaf kembali terlontar dari bibir Abi Fauzan. Ia semakin membalas pelukanku pada tubuhnya, hal itulah yang membuatku merasa tenang dikala hati dalam keadaan tidak baik-baik saja. Meski sakit, aku tetap akan tegar menghadapi cobaan ini.

"Maafkan abi."

Perkenalkan aku adalah Khadijah, seorang perempuan yang tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan islami. Aku dibesarkan oleh seorang lelaki yang sangat hebat, lelaki yang merupakan tempatku untuk mengadu setelah Allah SWT.

Lelaki yang merupakan cinta pertamaku sebelum suamiku. Dialah Abi Arsyad seorang guru mengaji yang selalu mengajarkan nilai-nilai agamis padaku saat masih kecil hingga dewasa seperti saat ini. Saat ini, aku sudah berusia 28 tahun, aku ibu dari seorang gadis cantik yang berusia empat tahun. Gadis yang merupakan anugerah terindah, setelah pernikahan kami baru berjalan lima tahun.

Mungkin sebagian besar wanita menentang adanya poligami, jujur hati kecilku pun seperti itu. Namun, aku mencoba tetap bertahan sebab masih banyak hal yang patut dipertahankan. Masih banyak hal yang bisa diperbaiki.

Pada akhirnya, aku kembali teringat sepenggal perkataan Ayah yang tiba-tiba terlintas di benakku. Poligami diperbolehkan, asal suami yang ingin berpoligami sanggup dan adil dalam segala hal tidak berat sebelah, yang terpenting ilmu dalam poligami sudah sangat dikuasai.

Hal itulah yang membuatku meredam kembali rasa amarah yang sempat bersarang di dalam hatiku, aku ingin menyerahkan semua hal ini pada Sang Pencipta, karena kepada Allah-lah tempatku mengadu segala beban yang ada di hati ini, tempat curhat terbaik tanpa ada rasa cemas akan diketahui oleh orang lain.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku