/0/19910/coverorgin.jpg?v=0b94ad33c6c25cace4d10e28932213a4&imageMogr2/format/webp)
Suara roda koper yang beradu dengan lantai marmer bandara itu rasanya seperti musik paling sumbang malam itu. Dara berjalan cepat, sepatunya yang mengilap memantul di lantai, dan dia berusaha keras agar langkahnya tidak berubah jadi lari histeris. Rambutnya yang disanggul rapi-ciri khas seorang pramugari-sedikit longgar, seolah ikut merasakan betapa hancurnya kepala Dara sekarang.
Dia baru saja menyelesaikan penerbangan jarak jauh, penerbangan yang seharusnya membuatnya lelah dan ingin segera tidur, tapi semua rasa lelah itu hilang. Yang ada cuma rasa panas, seperti ada api yang membakar habis isi dadanya.
Enam bulan. Baru enam bulan Dara bergabung dengan Skyward Airlines. Enam bulan dia merasa hidupnya sempurna. Seragam baru, pekerjaan impian, dan yang paling penting, Arga. Kapten Arga Wira Bhakti, pilot tertampan di maskapai itu, pacarnya.
Arga janji malam ini dia akan menjemput Dara di apartemennya setelah Dara selesai tugas. Tapi, janji itu cuma jadi debu.
Pukul 23.45. Dara sudah sampai di lobi apartemen Arga, bukan apartemennya sendiri. Tangan Dara gemetar saat menekan bel intercom. Tidak ada jawaban. Sejak tadi siang, pesan-pesan Dara di WhatsApp hanya centang biru tanpa balasan. Sibuk di kokpit, pikir Dara. Ia selalu mencoba jadi pacar yang pengertian.
Tapi malam ini, dia tidak bisa lagi jadi 'pengertian.'
Dara mengeluarkan kartu akses yang diberikan Arga dulu-kartu yang Arga bilang "simpan saja, Sayang, anggap saja ini rumahmu juga." Hatinya mencelos. Seharusnya dia senang melihat kartu itu masih berfungsi. Seharusnya.
Pintu apartemen itu terbuka dengan bunyi klik yang pelan. Dara melangkah masuk. Gelap. Hanya ada sedikit cahaya remang-remang dari lampu nakas di ruang tamu. Udara di dalam apartemen terasa pengap dan berbau parfum yang asing. Bukan parfum Arga yang maskulin. Ini bau manis, bau murahan.
"Arga?" panggil Dara pelan. Suaranya serak. Dia tidak tahu apakah dia berharap Arga menjawab atau tidak.
Tidak ada jawaban. Dara meletakkan koper kecilnya di dekat pintu, melepas high heels hitamnya. Kakinya yang pegal sekarang tidak terasa apa-apa. Ia berjalan pelan ke arah kamar tidur utama.
Jantung Dara mulai berdebar kencang, menabuh genderang kematian. Firasat buruk ini sudah muncul sejak dia melihat unggahan story Instagram dari salah satu pramugari senior, yang menunjukkan Arga sedang dinner di sebuah restoran mewah, padahal Arga bilang dia standby di rumah.
Dara berdiri di depan pintu kamar tidur yang sedikit terbuka. Di sana, dari celah tipis itu, Dara bisa melihatnya.
Arga. Kekasihnya, yang baru dua hari lalu menciumnya seolah tidak ada hari esok, sedang tertawa. Tawa yang Dara kenal betul. Tawa yang dulu ditujukan hanya untuknya.
Dara menempelkan tangannya ke pintu. Dingin. Dan dari celah itu, ia melihat sosok lain.
Seorang wanita. Bukan pramugari senior yang kemarin dinner sama Arga, tapi wanita lain. Rambutnya pirang, gaun tidurnya sutra merah yang sangat minim. Wanita itu menyandarkan kepalanya di bahu Arga, dan Arga? Arga mengusap rambut wanita itu dengan penuh kasih sayang.
"Jadi, kamu serius mau putusin dia, Bro?" tanya wanita itu, suaranya manja, terdengar jelas oleh Dara.
Arga tersenyum miring. "Dia cuma cewek innocent yang terlalu clingy, Sasha. Aku bosan. Lagipula, dia cuma pramugari baru. Enggak selevel sama Kapten sepertiku."
Tidak selevel.
Dua kata itu menghantam Dara lebih keras dari tamparan. Bukan kata-kata 'selingkuh' atau 'putus', tapi 'tidak selevel.'
Dara mundur perlahan, seolah ada dinding tak terlihat yang mendorongnya. Matanya memanas, tapi anehnya, air matanya tidak mau keluar. Dia merasa kosong, mati rasa. Ia menunduk, melihat seragamnya. Seragam yang ia banggakan. Seragam yang Arga bilang membuatnya terlihat 'elegan.' Sekarang, seragam itu terasa seperti kain hinaan.
Dara mengambil napas panjang, sangat panjang, dan memutuskan. Dia tidak akan membuat keributan. Bukan sekarang. Dia tidak akan memberinya kepuasan melihatnya hancur.
Dia berbalik. Mengambil koper dan sepatunya, dan keluar dari apartemen itu secepat mungkin, menutup pintu tanpa suara.
Di dalam lift, Dara akhirnya menangis. Bukan air mata sedih, tapi air mata marah. Marah pada dirinya sendiri karena sebodoh itu percaya. Marah pada Arga karena berani-beraninya dia menginjak-injak harga dirinya.
"Aku akan buat kamu menyesal, Arga," bisik Dara, menggenggam erat kartu akses Arga di tangannya, yang sekarang terasa seperti senjata. "Aku akan tunjukkan padamu bahwa aku, si pramugari baru yang innocent ini, bisa melakukan hal yang lebih kotor dari kamu."
Satu jam kemudian, Dara ada di sebuah bar mewah yang sama sekali tidak sesuai dengan gajinya. Bar di puncak gedung pencakar langit Jakarta, tempat para eksekutif dan orang-orang kaya membuang uang. Dara, masih dengan riasan mata sisa penerbangan dan gaun kasualnya yang kusut, terlihat mencolok.
Ia duduk di sudut, memesan cocktail termahal, meminumnya cepat-cepat. Tujuannya cuma satu: mabuk. Hilang kendali. Melakukan sesuatu yang gila.
Dia ingin melakukan sesuatu yang akan membuat Arga-dan harga dirinya-sama-sama tercemar. Balas dendamnya bukan soal membalas dengan selingkuh, tapi soal menghancurkan kemurnian yang Arga cibir. Arga bilang dia innocent? Baik, dia akan membuktikan Arga salah.
/0/30663/coverorgin.jpg?v=4310cfd126e3116cc82ceb7a4a629540&imageMogr2/format/webp)
/0/10293/coverorgin.jpg?v=6a63dece1ad6b19c0d080cf6328ccd66&imageMogr2/format/webp)
/0/15126/coverorgin.jpg?v=3a995cbe5ea1f22ba4cc08577ec6dd32&imageMogr2/format/webp)
/0/19827/coverorgin.jpg?v=42e4246edc332ad131b87f0fec77c2f4&imageMogr2/format/webp)
/0/18874/coverorgin.jpg?v=ee9d422b526d303c7530741041a3c165&imageMogr2/format/webp)
/0/29128/coverorgin.jpg?v=678a54cfd5d890246a6ff81bb3bc8de9&imageMogr2/format/webp)
/0/15746/coverorgin.jpg?v=dd951388bf1506d99ea44810f630efd4&imageMogr2/format/webp)
/0/9295/coverorgin.jpg?v=a0f7c3bac77f643079e98db620e8b81a&imageMogr2/format/webp)
/0/29173/coverorgin.jpg?v=1dcb4e2f61ac8c9239f0cd7c6807ea17&imageMogr2/format/webp)
/0/17365/coverorgin.jpg?v=6db8622c3069ac6f74d1e2e5fb155f63&imageMogr2/format/webp)
/0/17095/coverorgin.jpg?v=715776ef2540a158c0179afa5f34f3a7&imageMogr2/format/webp)
/0/16463/coverorgin.jpg?v=83f6dd3af71ea3068b6d2868bc1debf9&imageMogr2/format/webp)
/0/17882/coverorgin.jpg?v=9079b312ff97b8638c0c92c6cce5b2b1&imageMogr2/format/webp)
/0/18915/coverorgin.jpg?v=42c00b78c9227407354760d92aebd1c6&imageMogr2/format/webp)
/0/19038/coverorgin.jpg?v=bc8737a1657af9debfad6717df8020f0&imageMogr2/format/webp)
/0/19437/coverorgin.jpg?v=10f7a26f993d2fbbc8598e531f76a716&imageMogr2/format/webp)
/0/19583/coverorgin.jpg?v=dbcc1ce290daebd393b9182962021d9a&imageMogr2/format/webp)
/0/20158/coverorgin.jpg?v=e31fedc9b2e92637058c64cfe6927527&imageMogr2/format/webp)
/0/21521/coverorgin.jpg?v=949f724aa518bedbacb3226a7a839c89&imageMogr2/format/webp)