Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Suara tembakan menggema di ruang latihan khusus, tangan kurus lentik itu begitu kuat menahan setiap dorongan peluru yang keluar. Mata yang memancarkan keseriusan dan mulut yang terkatup rapat, begitu fokus hingga tak menyadari kalau dia menghabiskan hampir semua stok peluru yang ada.
"Sial, pelurunya habis."
Melemparkan pistol beserta alat keamanan lainnya, dia beranjak dari ruangan khusus menembak. Di belakang asisten merangkap sekertarisnya itu sudah berdiri sigap menyambut nonanya yang baru selesai latihan menembak dari jam 4 subuh. Dia menunduk kecil, "nona anda belum makan pagi dan sekarang makan siang sudah terlewat nona."
"Jam berapa ini?"
"Pukul 2 siang lewat 18 menit, nona."
Nonanya hanya mengangguk, dia lantas berlalu menuju ruang makan diikuti asistennya.
"Aku ingin makan salad buah saja, buatkan aku dua porsi Basti." Basti lengkapnya Bastian hanya mengangguk kecil lalu berlalu kedapur. Nonanya duduk santai di kursi makan sambil mengelap keringat dengan tissue yang ada di meja. Dia menghela nafas lalu menyugar rambutnya kebelakang, hari ini hari yang tidak terlalu sibuk untuknya, libur satu hari dari dua bulan yang lalu lumayan menurunkan penat di otaknya. Pekerjaannya memang menumpuk, hari inipun jika dari kemarin Bastian tidak terus menerus menegurnya dia pasti sedang ada di balik meja kerjanya, dan itu seperti rengekan di telinganya.
"Nona Fiel saya sudah buatkan salad buah 2 porsi dan jus melon untuk anda."
Bastian datang dengan nampan dan makanan yang disebutkan. Nonanya hanya mengangguk tenang, menyiapkan serbet diatas paha lalu mengambil sendak dan garpu yang ada di tengah meja. Dia makan dengan tenang, wanita yang mengedepankan tatakrama table manner, anggun dan berkelas. Bastian berdiri di sisi kanan sang nona.
"Saya sarankan nona merilekskan diri ke salon yang menawarkan spa untuk pijat tubuh nona, agar nona tidak terlalu kaku setelah bekerja siang dan malam selama dua bulan ini." Bastian memulai percakapan setalah 5 menit terjadi keheningan.
"Kau tau Basti.." Dia mengangkat serbet untuk mengelap mulutnya. "Kau terlalu cerewet, dan di telingaku kau merengek seperti bayi." Lanjutnya setelah meminum jus melon hampir setengah gelas, "dan aku kurang suka, kau menyebalkan dari dua hari kemarin, aku muak Basti."
Bastian yang mendengar itu hanya tersenyum kecil, terlampau sering mendengar ucapan nonanya yang selalu tajam. "Saya rasa nona perlu melakukan itu, saya sangat khawatir ketika mendapati nona bekerja sampai mimisan dan itu sudah keempat kalinya nona, saya tidak mau yang kelima kalinya." Katanya dengan tenang.
Nonanya hanya menghela nafas, lalu pandangannya ia arahkan pada asisten setianya. "Belakangan ini kau sering memaksaku, ada apa?"
"Tidak ada nona, saya hanya tidak mau anda sakit karna terlalu keras bekerja, saya akan menghandle semua perkerjaan nona hari ini lagipula untuk 3 hari kedepan anda tidak ada tatap muka dengan klien."
Masih dengan tersenyum. Dia hanya berdecak melihat wajah berseri asistennya. "Kau menyebalkan, tapi baiklah aku akan pergi ketaman kota untuk menenangkan pikiran, melihat anak kecil berlarian pasti menyenangkan, dan kau pasti sangat puas basti." Ia lalu beranjak dan pergi menaiki tangga menuju kamarnya.
Bastian tersenyum sangat lebar, tidak sia-sia dia mengeluarkan banyak kata rayuan, dia tau pasti nonanya akan bersedia keluar walaupun terpaksa.
***
"Aku tidak mau menyetir sendiri, kau antarkan saja aku pulangnya nanti kau jemput."
Bastian hanya mengangguk, dia langsung menjalankan mobil ketempat tujuan. Di sepanjang jalan Fiel, nona muda yang Bastian antar tidak bersua, dia hanya diam memandangi hiruk pikuk kota sore itu. Mereka berdua tipe orang yang tidak akan mengeluarkan suara apalagi itu bukan hal penting, dan Bastian bukanlah asisten dengan wajah yang ramah. Setelah berkendara selama 10 menit akhirnya mobil berhenti tepat di depan taman kota.
"Kau santai saja Basti, urus pekerjaan mu jangan hiraukan aku, ketika ingin pulang nanti akan aku telepon."
Tanpa mendengar balasan Bastian, Fiel melangkahkan kakinya menuju bangku taman yang kosong. Sepanjang mata memandang banyak orang tua yang membawa anak mereka untuk bermain disini, kebetulan taman yang Fiel datangi terdapat berbagai macam sarana bermain anak. Rasanya menenangkan, untuk seorang Fiel merefresh otak hanya perlu seperti ini, melihat anak kecil bermain riang kesana kemari tanpa memperdulikan apapun.
Dan hal seperti ini selalu mengingatkannya pada dua sisi ketika dia berumur 4 tahun. Sisi menyenangkan dan sisi tragis dalam hidupnya. Sebelum menjalani hidup suram seperti ini dia lahir di keluarga yang harmonis, mempunyai ibu penyayang, ayah yang tegas tapi lembut dan kakak laki-laki yang sering memanjakannya.
Terlahir di keluarga yang lumayan berada ayahnya seorang direktur besar di perusahaan manufaktur, ibunya seorang ibu rumah tangga yang pandai mengurus rumah dan anak-anaknya, mempunyai rumah 2 lantai yang cukup besar untuk 4 orang dalam keluarga, kakaknya berbeda 3 tahun dengannya, bersekolah di sekolah yang bagus teman yang menyenangkan dan dia sendiri suka sekali jalan-jalan di taman komplek rumahnya yang lumayan besar.
Disana dia sering mendapatkan teman baru yang seru, bermain perosotan dan berebut ayunan dengan teman lainnya. Namanya Cassandra Dimitri, anak perempuan usia 4 tahun yang cantik dan periang. Kakaknya bernama Rafiel Dimitri. Hari itu hari minggu dia ingat dengan sangat jelas, pagi-pagi sekali dia merengek pada kakaknya untuk ditemani ketaman komplek favoritnya, menangis sampai berguling di lantai hanya untuk merayu kakaknya. Ibu dan ayahnya hanya tersenyum geli melihat anak perempuan mereka.
Sudah tidak aneh. Karena tidak tega kakaknya setuju untuk menemani adiknya bermain di taman, tapi dengan syarat ayah dan ibunya harus ikut.
"Aku tidak mau repot sendiri ma, jadi kalian juga harus ikut."
Ayahnya kebetulan libur bekerja jadi pagi itu satu keluarga Dimitri berjalan-jalan keluar rumah dengan mobil mereka. Anak perempuan mereka langsung berlari kesana kemari ketika sampai, teman yang lainnya mengikuti anak perempuan itu dengan riang. Ketiga orang yang menemaninya hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum.
Dan hari beranjak siang sang anak perempuan mulai kelelahan, permainan di semua sarana sudah ia coba. Menghampiri keluarganya sang anak bilang ia lapar. Semuanya berjalan riang ke arah mobil, tujuan mereka sebuah restoran makan yang terkenal di daerah itu, sebenarnya tidak terlalu jauh berkendara selama 3 menit saja sudah sampai tapi sang anak perempuan merengek ingin di belikan jus mangga segar di depan sekolah kakaknya, dan mobil harus putar balik memenuhi keinginan sang anak perempuan.
Dan disinilah sisi tragis hidupnya, ketika mobil yang dikendarai oleh mereka akan berbelok di perempatan besar dari kanan jalan ke arah kiri, tiba-tiba melintas mobil box putih dari arah berlawanan dengan kecepatan penuh. Tabrakanan antara dua mobil di perempatan jalan yang lengang tak terelakan, mobil keluarga Dimitri berguling 2 kali kearah pohon sisi jalan, dan mobil box penabrak hancur di bagian depan dengan mayat sopir yang tergencet.
Orang-orang di sekitar jalan mulai berteriak histeris, sirene polisi mulai terdengar beberapa menit kemudian, semua orang berbondong-bondong menyelamatkan semua penumpang mobil sedan hitam. Dan hal terakhir ketika semua gelap adalah senyuman keluarganya.
"Menyebalkan sekali ketika mengingat hal yang menyakitkan seorang diri." satu tetes air mata meluncur dengan sengaja, dia tersenyum pahit.