Dibuang Seperti Sampah, Kini Dicari

Dibuang Seperti Sampah, Kini Dicari

Gavin

5.0
Komentar
Penayangan
10
Bab

Delapan tahun pernikahan rahasiaku hancur saat aku melihat suamiku, Teguh, melamar wanita lain dengan kue ulang tahun yang seharusnya untuk adikku, Heru. Aku menyerahkan surat cerai dan pengunduran diriku dari restoran yang kami bangun bersama. Namun, Teguh hanya menganggapku bercanda dan menuduh adikku sebagai biang keladi. Di depan mataku, dia membawa selingkuhannya, Selia, ke rumah kami dan mengusirku dan Heru seolah kami adalah sampah. "Jangan dramatis, Risa. Kamu tahu posisimu," katanya dengan tatapan jijik, seolah aku adalah aib yang harus disembunyikan. Heru, adikku yang hatinya hancur, menatap Teguh dengan dingin. "Heru tidak punya Ayah lagi. Yang Heru punya hanya Kakak Risa." Aku membawanya pergi, meninggalkan semua racun di belakang. Namun, saat restoran Teguh di ambang kehancuran karena kebodohan Selia, dia datang mencariku ke Swiss, memohon untuk kembali. "Aku mencintaimu, Risa! Aku sangat mencintaimu!" teriaknya putus asa. Aku menatapnya tanpa emosi. "Kau selalu menganggapku wanita licik yang menjebakmu. Malam itu, kau dibius, Teguh. Dan aku... akulah korbannya."

Bab 1

Delapan tahun pernikahan rahasiaku hancur saat aku melihat suamiku, Teguh, melamar wanita lain dengan kue ulang tahun yang seharusnya untuk adikku, Heru.

Aku menyerahkan surat cerai dan pengunduran diriku dari restoran yang kami bangun bersama. Namun, Teguh hanya menganggapku bercanda dan menuduh adikku sebagai biang keladi.

Di depan mataku, dia membawa selingkuhannya, Selia, ke rumah kami dan mengusirku dan Heru seolah kami adalah sampah.

"Jangan dramatis, Risa. Kamu tahu posisimu," katanya dengan tatapan jijik, seolah aku adalah aib yang harus disembunyikan.

Heru, adikku yang hatinya hancur, menatap Teguh dengan dingin. "Heru tidak punya Ayah lagi. Yang Heru punya hanya Kakak Risa."

Aku membawanya pergi, meninggalkan semua racun di belakang. Namun, saat restoran Teguh di ambang kehancuran karena kebodohan Selia, dia datang mencariku ke Swiss, memohon untuk kembali.

"Aku mencintaimu, Risa! Aku sangat mencintaimu!" teriaknya putus asa.

Aku menatapnya tanpa emosi. "Kau selalu menganggapku wanita licik yang menjebakmu. Malam itu, kau dibius, Teguh. Dan aku... akulah korbannya."

Bab 1

Risa Irawan POV:

Kue edisi terbatas untuk adikku, Heru, tidak pernah datang. Sebagai gantinya, aku melihat foto Teguh berlutut di hadapan Selia, dengan kue yang sama persis.

Tanganku tidak gemetar sedikit pun saat meletakkan amplop putih itu di atas meja kerja Teguh. Aroma adonan kue yang baru dipanggang masih menempel di ujung jariku, ironi yang pahit. Di dalamnya, ada surat cerai yang sudah kutandatangani dan pengunduran diriku dari Restoran Adiwangsa, mahakarya yang kami bangun bersama.

"Risa?" Teguh terdengar terkejut, suaranya naik satu oktaf saat dia mengangkat kepala dari laporan keuangan. Matanya yang biasanya tajam, kini memancarkan kebingungan.

Aku mundur selangkah, menjaga jarak. "Aku mengundurkan diri, Teguh. Dan ini, surat cerai kita." Suaraku datar, tanpa emosi, seperti membaca daftar belanjaan. Aku tidak ingin dia melihat retakan di balik ketenanganku ini.

"Apa?" Teguh berdiri, bangkit terlalu cepat hingga kursinya berderit. "Kamu... bercanda, kan? Ada apa ini tiba-tiba? Apa Heru membuat masalah lagi?" Ada nada kekesalan dalam pertanyaannya, seolah Heru hanyalah beban.

Aku merasakan otot rahangku mengeras. Kata-katanya menusuk tepat di ulu hati, membangkitkan kembali luka yang masih menganga dari semalam. Teguh, betapa tidak pekanya dirinya. Aku hanya menatapnya, ekspresiku kosong.

Teguh menyadari kesalahannya. Raut wajahnya berubah canggung. "Maaf, Risa. Bukan itu maksudku. Aku hanya... tidak mengerti. Ada apa sebenarnya? Kita baik-baik saja, kan?" Dia mencoba meraih tanganku, tapi aku menariknya menjauh.

"Tidak, Teguh. Kita tidak baik-baik saja." Aku berbisik, tetapi setiap kata terasa seperti palu yang menghantam. "Dan tidak akan pernah baik-baik saja."

Dia mengerutkan kening, mencoba memprotes. "Tapi Risa, kita sudah sejauh ini. Restoran kita. Ini semua mimpiku, dan kamu bagian dari itu. Apakah ini tentang kontrak koki baru? Kita bisa bicarakan, aku bisa memberimu bagian yang lebih besar, pengakuan-"

Aku memotongnya, "Pengakuan?" Senyum pahit tersungging di bibirku. "Kamu baru bicara tentang pengakuan sekarang? Setelah delapan tahun?" Otakku memutar kembali rekaman demi rekaman, setiap pengorbanan, setiap malam tanpa tidur, setiap resep yang kucurahkan seluruh jiwaku ke dalamnya. Semua demi Teguh, demi Restoran Adiwangsa.

Teguh tampak bingung, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Risa, kita tidak bisa begini. Kita tim yang sempurna. Tanpamu, restoran ini tidak akan sama." Suaranya terdengar meyakinkan, seperti seorang pengacara yang membela kliennya di pengadilan, bukan seorang suami yang memohon pada istrinya.

Aku tahu dia hanya memikirkan keuntungan dan reputasi restorannya. Aku hanyalah alat baginya, resepku hanyalah komoditas. Itu sudah lebih dari cukup.

"Tidak ada yang perlu dibicarakan, Teguh." Aku memaksakan diri untuk tersenyum, senyum yang terasa dingin di bibirku. "Semuanya sudah selesai."

Aku berbalik, melangkah keluar pintu. Saat melewati ruang istirahat staf, mataku menangkap pemandangan yang membuat perutku mual. Teguh, yang baru saja kutinggalkan di ruangannya, kini sedang tertawa renyah dengan Selia Rasyid. Rambut pirang Selia berkibar saat dia menyandarkan kepalanya di bahu Teguh, kamera ponselnya diarahkan ke mereka berdua, merekam setiap tawa palsu.

Selia Rasyid. Food vlogger terkenal, teman masa kecil Teguh, dan kini, tunangannya. Tunangan yang baru saja dilamar Teguh semalam, dengan kue edisi terbatas yang seharusnya untuk Heru.

Aku mendekati mereka, langkahku tenang, seolah tidak ada yang terjadi. "Teguh," panggilku, suaraku sedikit lebih keras dari yang kuinginkan.

Teguh dan Selia serentak menoleh. Teguh tampak sedikit terkejut melihatku. Wajahnya yang ceria langsung berubah datar, seolah ia baru saja mengenakan topeng.

"Oh, Risa," katanya, nadanya formal dan dingin, seperti menyapa rekan kerja-bukan istrinya. "Ada apa?"

Aku tahu dia mencoba menjaga citra di depan Selia, tapi tatapanku tidak bergeser dari Selia. Perempuan itu balas tersenyum, senyum manis yang tidak mencapai matanya.

"Hanya ingin mengabarkan," kataku, melirik Teguh. "Bahwa semua resep dan persiapan untuk menu Natal sudah kuselesaikan. Kamu bisa menyerahkannya pada Selia."

Mata Teguh melebar sedikit. "Apa maksudmu? Kamu tidak akan ikut mengurusnya?"

Sebelum Teguh sempat bertanya lebih jauh, Selia menyela, suaranya ceria. "Oh, tidak apa-apa, Teguh. Aku sudah mengamati Risa bekerja selama ini. Aku yakin bisa menangani sisanya." Dia menatapku dengan tatapan meremehkan. "Resep-resepnya tidak serumit kelihatannya, kok. Hanya butuh sentuhan akhir dari seorang vlogger untuk membuatnya viral, kan?"

Aku nyaris tertawa. Perutku bergejolak, tapi aku menahannya. Aku hanya menatap Selia, tatapanku lurus dan tanpa gentar. "Tentu saja," kataku lembut. "Semoga sukses."

Selia tersenyum kemenangan, seolah dia baru saja menyelesaikan sebuah transaksi bisnis yang menguntungkan. Teguh, di sisi lain, menatapku dengan ekspresi yang tidak bisa kubaca.

Aku berbalik, merasakan pandangan mereka menusuk punggungku. Aku tidak tahu apa yang membuatku bertahan selama ini. Cinta? Harapan? Atau hanya kebodohan yang membutakan? Aku memikirkan Heru. Wajahnya yang kecewa semalam, tatapan matanya yang meredup saat aku harus mengatakan bahwa kue impiannya tidak akan datang.

Aku meraih ponselku, membuka galeri foto. Di sana, potret Heru dengan senyum lemahnya terpampang di layar. Dia adalah alasanku untuk meninggalkan semua racun ini. Aku tidak akan membiarkan kebahagiaannya dikorbankan demi mimpi orang lain, terlebih mimpi yang menghancurkan hatiku. Aku tidak bisa lagi membiarkan Teguh menghancurkan semangat hidup adikku dan diriku. Semuanya harus berakhir, sekarang.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Gavin

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku