Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Rahasia Istri yang Terlantar
Gairah Liar Pembantu Lugu
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
Langit malam di atas Ray terlihat gelap dan tak terbendung, menelan seluruh bintang yang seharusnya menjadi saksi bisu keberanian laki-laki itu. Suara langkah kakinya bergema melalui gang-gang sempit, seolah memberitahu penjahat bayangan bahwa detektif itu datang. Menjelajah setiap celah dan sudut, dia melangkah memasuki kerangka besi yang berkarat dari gudang tua itu.
Tidak seperti balada gembira yang bermain di bar dan kedai kopi di kota, di tempat ini, hanya ada simfoni tikus dan serangga. Bunyi merentang dari baja lama mengikuti irama angin malam, suara itu berpadu dengan bau cat yang memudar dan jejak serbuk kayu yang sudah lama ditinggalkan.
Ray menghela napas, rasanya seperti menelan debu. Dalam kegelapan gudang itu, lampu senter kecilnya menjadi mata ketiganya. Cahaya itu bermain-main dengan bayangan, menyoroti tekstur karat pada besi dan debu tebal yang menari di udara.
"Bukti... harus ada di sini," gumamnya dalam-dalam, seraya menelusuri setiap inci dari gudang itu dengan tatapan yang tajam. Detektif itu paham, dia harus ringkas dan efisien. Waktu berlalu begitu cepat, seperti pasir yang jatuh melalui celah jemari.
Dari sudut matanya, Ray melihat sesuatu yang mencolok, sebuah lemari besi tua yang tersembunyi di belakang tumpukan kotak berdebu. Dia merasa seperti mendapatkan petunjuk penting.
"Mungkin ini yang aku cari," katanya, nada suaranya menggema di ruang hampa itu. Sambil memegang lampu senter di mulutnya, Ray mencoba membuka lemari itu dengan kunci yang didapatkan dari kliennya. Lemari itu terbuka, memperlihatkan selembar dokumen penting. Dengan perasaan lega, Ray memasukkan dokumen itu ke dalam jaket kulitnya.
Tiba-tiba, suara pintu gudang yang terbuka membahana. "Apa yang kamu cari di sini, Ray?" sebuah suara tajam berbicara dari balik cahaya menyilaukan dari pintu gudang.
Ray mengedipkan matanya, melawan silau. Dialognya pendek dan tegas. "Kebenaran."
Dan di dalam gudang tua itu, dalam pertempuran antara cahaya dan kegelapan, detektif itu berdiri tegak, siap menghadapi apa pun yang menantinya.
Detektif itu menatap wanita yang berdiri di ambang pintu, lampu dari mobilnya menerangi wajahnya yang dingin dan tak tertembus. Matanya yang tajam berkilau dalam gelap, dan senyumannya penuh arti.
"Ray," katanya, merentangkan tangannya ke arah detektif itu. "Selamat karena berhasil menyelesaikan tes saya. Kau lebih pintar daripada yang kubayangkan."
Ray berdiri diam, dengan ekspresi bingung yang sempurna di wajahnya. Apa ini semua perangkap? Bukankah dia berada di sini untuk membantu seorang yang tak berdosa? Bagaimana bisa semua berubah begitu cepat? Tapi detektif itu tidak mengungkapkan kebingungannya. Dia hanya mengangguk dan berkata, "Jadi apa yang sebenarnya terjadi, Nyonya?"
Wanita itu berjalan mendekat, langkah kakinya ringan namun penuh otoritas. Suara sepatu hak tingginya menyeruak dalam keheningan gudang, menimbulkan irama yang membuat Ray merasa tidak nyaman. "Kau sekarang punya tugas yang lebih besar, Ray," katanya, suaranya menenangkan seperti alunan musik, tapi matanya menatap dengan nada yang serius. "Ada seorang wanita, putri haram dari salah satu pria terkaya di negara ini. Dia tinggal di pinggiran kota, bersembunyi dari dunia. Tugasmu adalah mendekati dia... dan menikahinya."
Ray mengangkat alisnya, terkejut oleh permintaan aneh wanita itu. "Menikahi seorang wanita yang tidak saya kenal? Itu terdengar seperti cerita film kelas B, Nyonya. Kenapa harus saya?" tanyanya, suaranya meragukan. Dia melihat ke arah wanita itu, menanti penjelasan yang masuk akal.
Wanita itu tertawa, suaranya merdu namun ada sedikit nada sinis. "Karena kau punya apa yang dibutuhkan, Ray. Dan tentu saja, ada alasan yang lebih dalam, tapi itu akan kau ketahui nanti. Untuk sekarang, kau harus percaya pada saya."
Ray menatap wanita itu, dengan rasa kecurigaan yang mulai menggelora dalam hatinya. Namun, sebagai detektif, dia tahu bahwa dia harus bermain menurut aturan orang lain jika ingin mencari kebenaran. Jadi, dengan sikap berhati-hati, dia mengangguk dan berkata, "Baiklah, Nyonya. Saya akan melakukannya."