Demi kekuasaan dan uang seorang ayah rela melakukan apapun. Dominic Toretto membuat perjanjian dengan keluarga De Luca untuk menikahkan putri bungsu mereka pada seorang mafia yang dikenal sebagai pembunuh berdarah dingin. "Namaku Alessia, Alessia Toretto." "Kamu menikah denganku atau tidak sama sekali." "Aku akan menikahimu, Alessia Toretto." Ketika Alessia memutuskan untuk menggantikan sang adik dalam perjanjian itu, dia tak menyadari bahwa langkahnya mengantarnya menuju pertarungan antara hidup dan mati. Alessia harus menemukan kekuatan di dalam dirinya untuk menghadapi pilihan yang sulit, mengikuti takdir atau melawan nasib yang telah ditetapkan.
"Ketemu kau, gadis nakal!" Tiba-tiba pintu kamar terbuka dan terdengar suara bass seorang pria paruh baya.
Seorang perempuan berdiri di balkon kamar memandang ke arah luar, mengenakan gaun pengantin putih yang indah. Rias wajahnya terlihat sempurna, namun matanya terlihat kosong.
Perempuan itu tak menoleh, pandangannya masih lurus ke depan, wajahnya berubah tegang. Pria yang datang memanggilnya adalah ayahnya, Dominic Toretto, pemimpin keluarga mafia yang disegani.
Ia menatap putrinya dengan tajam, "Pergilah ke altar! Dan menikahlah dengan Vincenzo De Luca, Elena Toretto," titahnya tegas.
Perempuan itu menelan ludah, merasa ketakutan. Namun ia berusaha menyembunyikan perasaannya.
"Hari ini kau akan menikah, entah hidup atau mati," sambung Dom, dan berlalu pergi meninggalkan putrinya yang terpaku di tempatnya.
Elena Toretto, putri ketiga dari pasangan Dominic Toretto dan Lucia Falcone Toretto, tumbuh dalam keluarga mafia yang penuh intrik dan kekerasan. Kini, ia harus menikah dengan Vincenzo De Luca, seorang pria yang terkenal sebagai pembunuh berdarah dingin, demi perjanjian kekuasaan dan uang. Vincenzo penerus kubu mafia dari keluarga De Luca yang terkenal kuat.
'Aku yakin papa akan marah jika tahu aku berpura-pura menjadi El. Tapi ini satu-satunya cara untuk melindungi adikku,' gumam Alessia dalam batinnya.
Flashback On
Sehari sebelum acara pernikahan digelar, langit sore tampak mendung dan angin berhembus cukup kencang. Elena mendatangi kamar Alessia, sang kakak yang tangguh dan pintar. Diantara semua anak di keluarga Toretto, Elena lah yang paling lemah dan tidak bisa diandalkan, berbeda dengan Alessia yang selalu menjadi kebanggaan keluarga.
Ketukan lembut di pintu kamar Alessia mengakhiri aktifitas sang kakak.
"Masuk," ucap Alessia.
Pintu kamar terbuka perlahan, Elena muncul dengan wajah sembab dan mata yang memerah. Air mata masih mengalir deras di pipinya, mencerminkan rasa takut yang begitu mendalam.
"Al, aku sangat takut. Papa ingin membuangku," kata Elena sambil menangis. Alessia segera mendekap adiknya, merasakan betapa gemetar tubuh gadis itu. Kepanikan dan rasa takut terpancar jelas dari sorot matanya.
Alessia berusaha menenangkan Elena dengan mengusap punggung adiknya lembut, "Tenanglah, Elena. Apa yang membuatmu begitu takut? Kita akan menghadapinya bersama." Alessia mencoba menenangkan Elena, berbicara dengan nada lembut namun tegas.
Elena mengisakkan tangisnya, berusaha menjelaskan apa yang telah terjadi. "Papa bilang, jika aku tidak bisa membantu bisnis keluarga, aku tidak ada gunanya untuk keluarga ini. Dia akan membuangku, Al."
Alessia merasakan amarah membuncah dalam dirinya. Namun, dia tahu bahwa sekarang bukan waktunya untuk marah. Alessia harus menjadi pilar kekuatan bagi adiknya yang lemah ini.
"Aku tahu aku anak yang tidak berguna, aku cacat dan sakit-sakitan. Karena itu Papa mengirimku untuk mati."
Alessia merasa hatinya teriris mendengar pengakuan adiknya. Dengan lembut, ia memeluk Elena dan mengusap kembali punggungnya untuk menenangkan adik yang rapuh itu. "Tidak, El. Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi padamu. Aku berjanji," ujar Alessia dengan penuh tekad.
Elena menatap wajah sang kakak, mencari kepastian dalam sorot mata Alessia. "Bagaimana? Bagaimana caranya, Al? Itu tidak mungkin bisa."
Gadis berusia dua puluh dua tahun, melorotkan tubuhnya duduk di lantai kamar dengan kedua tangannya yang gemetar di pangkuannya. Air mata tak henti-hentinya mengalir membasahi pipinya yang pucat pasi. Di hadapannya, Alessia, kakaknya, terdiam menatapnya dengan mata yang juga berkaca-kaca.
"Salah satu dari kita harus menikah dengan Vincenzo De Luca," ucap Elena dengan suara yang serak. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan isaknya. "Dan Papa sudah mengambil keputusan, aku yang akan mereka kirim ke si pembunuh berdarah dingin itu."
Elena menutup wajahnya dengan kedua tangan, terisak pilu. "Kamu tahu kan, setiap wanita yang bersamanya selalu berakhir tidak selamat," katanya lirih, suaranya tercekat oleh tangisannya yang semakin menjadi.
Alessia mendekat dan mengusap lembut kepala sang adik, mencoba memberikan kekuatan. Lalu menatap wajah adiknya yang terdapat bekas luka, hatinya terasa pilu dan penuh penyesalan.
"Sebelumnya kamu sudah melindungiku," ucap Alessia lembut sambil mengusap bekas luka di kening adiknya, "sekarang giliranku untuk melindungimu."
Alessia memeluk erat adiknya sejenak, lalu melepaskannya perlahan. "Aku akan menikah dengan Vincenzo De Luca untuk menggantikanmu," gumamnya lirih, berjanji pada adiknya dan juga pada dirinya sendiri.
Flashback Off
Hari itu pun akhirnya tiba, hari dimana Alessia akan menghadapi takdir hidup barunya. Entah akan dibawa kebahagiaan, atau malah kesengsaraan. Keadaan hidup atau mati.
Sebelum keluar menuju altar, Alessia berdiri di hadapan cermin, memandangi dirinya yang sudah berbalut gaun pengantin putih yang menutupi seluruh tubuhnya. Tubuhnya bergetar hebat, mencoba menguatkan hati.
'El, aku akan lakukan apa pun untuk melindungimu. Meskipun itu menjadi hal terakhir yang kulakukan,' batinnya mantap.
Di altar, ia melangkah dengan hati berat, didampingi sang ayah. Suasana hening, seolah menggantung. Para tamu undangan sudah berkumpul di sana, namun ada satu orang yang menjadi pusat perhatian semua orang. Vincenzo, mempelai pria yang seharusnya berdiri di samping Alessia, belum juga hadir padahal waktu sudah melewati batas yang ditetapkan.
Alessia berdiri di depan pendeta dengan wajah yang masih tertutup oleh kain penutup pengantin. Deru napas para tamu terasa berat dan tajam. Wajah mereka tampak tegang, terutama Dom yang duduk di barisan depan, tangannya menggenggam erat kursi. Semua orang terlihat gelisah, menunggu dengan cemas kedatangan Vincenzo.
"Apakah sudah ada kabar dari calon pengantin pria?" tanya seseorang dengan suara berat, sambil menoleh ke arah pintu.
Robert, paman dari calon mempelai pria baru saja menerima kabar buruk melalui panggilan telepon dari orang kepercayaannya. Isi berita itu membuat tubuhnya seketika kaku.
"Mohon ma-maaf pak, sepertinya keponakan saya, Vincenzo, mengalami kecelakaan," ujar Robert dengan suara terbata-bata, sambil berusaha menahan getaran emosi yang menghampiri.
"Bisakah saya minta doanya untuk keselamatan keponakan saya." pinta Robert membuat suasana tambah tegang. Raut wajahnya terlihat gusar dengan tatapan yang sulit diartikan.
Atmosfer di sekitar ruangan tiba-tiba berubah menjadi tegang, dengan berbagai bisikan dan desas-desus mengenai sosok Vincenzo bergulir di antara para tamu. Sejumlah di antaranya bahkan mengungkapkan rasa kecewa karena belum sempat menyaksikan pernikahan Vincenzo dengan salah satu putri keluarga Toretto.
"Sayang sekali, padahal aku berharap bisa menyaksikan si pembunuh berdarah dingin itu menikah," sindir salah satu putri dari keluarga Bianchi, dengan tatapan tajam dan nada mencemooh.
Wanita yang bernama Caterina Bianchi itu lalu melanjutkan, "Kudengar dia sangat mengerikan."
"Mungkin itu sebabnya semua wanita yang menghabiskan malam bersamanya akan berakhir mati," timpal Matteo, mantan kekasih Alessia.
Ekspresi kecewa menyelimuti wajah Dom. "Ini tidak bisa diterima! Bagaimana dengan kesepakatan kita?" ujarnya dengan nada tertekan.
Robert mencoba menenangkan Dom, "Tenanglah, Dominic Toretto. Kamu akan tetap mendapatkan apa yang sudah kita sepakati. Dan putrimu akan tetap menjadi pengantin di keluarga De Luca."
"Maksudmu?" tanya Dom tak mengerti arti ucapan dari Robert.
"Dengan cara lain," jawab Robert sambil berdiri dari kursinya, merapikan jasnya dan menatap Dom tajam.
"Baiklah, menurutku acara ini harus tetap dilaksanakan. Dan aku akan menggantikan posisi pengantin pria menikahi putrimu, Dominic Toretto," ucap Robert lantang dan penuh percaya diri.
Robert berdiri dengan penuh percaya diri di tengah-tengah tamu undangan, hendak melangkah maju. Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dari belakang, membuat semua orang menoleh. Seiring suara langkah itu, muncul sosok Vincenzo dengan wajah tegas dan langkah pasti, meskipun penampilannya berantakan, dengan bercak-bercak darah di pakaiannya.
Alessia yang penasaran juga ikut menoleh, seraya menelan ludah ketika melihat penampilan Vincenzo, calon suaminya. 'Ya Tuhan, apa dia baru saja membunuh seseorang?' gumam Alessia dalam hati, merasakan bulu kuduknya berdiri.
Alessia menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang terasa berdebar hebat.
"Maaf, aku terlambat," ucap Vincenzo santai, "ada banyak tikus jalanan yang harus dibereskan saat di perjalanan tadi," lanjutnya seraya mengedarkan pandangan ke seluruh tamu undangan dengan gaya khasnya.
Vincenzo berhenti tepat di samping Robert, lalu menatapnya tajam. "Vin-Vincenzo," sapa Robert gugup serta terkejut melihat kehadiran keponakannya.
"Kecewa melihatku datang, Paman Robert?" ucap Vincenzo dengan nada sinis, seraya mengusap bekas darah yang menghiasi bibir seksinya dengan senyum smirk.
"Omong kosong apa yang kau bicarakan? Kami semua menunggumu tiba di sini," bantah Robert, wajahnya terlihat kesal. "Karena kau sudah ada di sini, jadi kita bisa memulai pernikahan ini."
"Bagus, tunggu apa lagi?" Vincenzo kembali melangkah mendekati calon mempelai wanita. "Ayo kita mulai!" potongnya tegas.
Suara Vincenzo menyebabkan pendeta terkesiap, namun hanya bisa menuruti perintah dan menjalankan tugasnya. "Baiklah, mari kita mulai," ujarnya dengan suara bergetar.
Dari kejauhan, seorang perempuan bersembunyi di balik tembok besar, matahari menciptakan bayangan gelap di wajahnya. Ia menatap pernikahan yang seharusnya menjadi miliknya dengan air mata bergulir pelan di pipinya. Dalam hati, ia menggenggam erat tangannya dan berdoa agar Tuhan melindungi kakaknya.
"Elena Toretto, benarkah itu kamu?" tanya pendeta, tatapannya memandang gadis di hadapannya.
Gadis itu mencengkram erat bunga di tangannya, merasakan degup jantungnya semakin kencang. "Itu bukan namaku, Pak," ucapnya, suaranya terdengar gugup.
Dengan mengumpulkan keberanian, perempuan itu perlahan membuka penutup kain yang menutupi wajahnya. Matanya yang tajam menatap lurus ke arah pendeta lalu beralih pada calon suaminya.
"Namaku Alessia, Alessia Toretto."
#####
Bab 1 PPMBD
24/11/2024
Bab 2 PPMBD
24/11/2024
Bab 3 PPMBD
24/11/2024
Bab 4 PPMBD
24/11/2024
Bab 5 PPMBD
24/11/2024
Bab 6 PPMBD
24/11/2024
Bab 7 PPMBD
24/11/2024
Bab 8 PPMBD
24/11/2024
Bab 9 PPMBD
24/11/2024
Bab 10 PPMBD
24/11/2024
Bab 11 PPMBD
18/12/2024
Bab 12 PPMBD
18/12/2024
Bab 13 PPMBD
18/12/2024
Bab 14 PPMBD
19/12/2024
Bab 15 PPMBD
19/12/2024
Bab 16 PPMBD
19/12/2024
Bab 17 PPMBD
19/12/2024
Bab 18 PPMBD
20/12/2024
Bab 19 PPMBD
20/12/2024
Bab 20 PPMDB
20/12/2024
Bab 21 PPMBD
20/12/2024
Bab 22 PPMBD
21/12/2024
Bab 23 PPMBD
21/12/2024
Bab 24 PPMBD
Hari ini13:56
Buku lain oleh QyuQyu30
Selebihnya