Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Sang Pemuas
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Sang Majikan
Seorang gadis yang tahun ini genap berusia dua puluh tahun itu berjalan dengan cepat menuju rumahnya sambil tersenyum riang. Ia ingin cepat-cepat sampai rumah dan menunjukkan nilai yang ia dapatkan pada ibu serta adiknya, ia berhasil mendapatkan nilai yang tinggi dari semua mahasiswa di kelasnya. Hal itu jelas sangat membanggakan baginya karena ia hanyalah seorang gadis yang berasal dari kalangan bawah, sedangkan kebanyakan dari teman-temannya berasal dari kalangan atas dan sering mengikuti les pelajaran.
Senyumnya meluruh saat melihat sekelompok orang-orang yang berdiri di depan rumahnya sambil mengetuk pintu rumahnya. Orang-orang itu nampak menyeramkan dengan tubuh berotot dan juga tatto yang menghiasi sepanjang lengan mereka. Ia memberanikan dirinya menghampiri orang-orang itu.
"Siapa kalian?" tanyanya.
"Apa kau pemilik rumah ini?" tanya balik salah seorang pria yang memakai kacamata hitam.
"Iya, apa ada yang bisa kubantu?" Sebisa mungkin ia menghalau ketakutan yang dirasakan.
"Kami ke sini ingin menagih utang ayahmu yang sudah jatuh tempo," ujar pria itu.
"Utang? Tetapi selama ini ayahku tidak pernah mengatakan kalau ia dulu pernah meminjam uang," balas gadis itu kebingungan.
"Kau bisa lihat sendiri kertas ini." Pria itu memberikan sebuah kertas berisi jumlah pinjaman yang sempat mending ayahnya pinjam.
Dengan ragu-ragu, gadis itu mengambil kertas itu kemudian membacanya dengan teliti. Wanita itu menutup mulutnya saat melihat nominal yang sangat besar tertera di tulisan paling bawah kertas yang ia bawa.
"Tidak mungkin ayahku meminjam uang sebanyak ini 'kan? Untuk apa dia meminjam uang sebanyak ini?" tanyanya, lebih tepatnya pada dirinya sendiri.
"Kau harus membayar uang itu segera, Nona, karena kalau tidak. Rumah ini akan kami sita, bukan hanya itu saja. Kalian bisa kami laporkan ke pihak berwajib karena tak mampu melunasi utang ayahmu itu," ujar pria itu membuat tubuh gadis itu menegang.
"Bisa beri aku waktu untuk mencari uang? Untuk saat ini, aku sama sekali tidak memiliki uang. Aku mohon, tolong beri aku waktu. Jangan sita rumah kami dan jangan laporkan kami ke polisi." Wajah gadis itu nampak memelas, tangannya bahkan saling menyatu dengan tatapan permohonannya.
Semua yang ada di sana saling pandang, seakan tengah berkompromi dengan permohonan gadis di hadapan mereka.
"Baiklah, tapi kau harus membayarnya secepatnya. Kami hanya akan memberi kau waktu hingga bulan depan, kami akan katakan pada bos kami kalau kau membutuhkan waktu. Tapi sebagai syarat, kau harus bisa membayar bunganya satu persen dari utang itu. Kami beri kau waktu tiga hari untuk mencari satu persen bunga itu," ujar pria yang merupakan tangan kanan seorang rentenir.
"Terima kasih karena kalian sudah memberiku waktu." Meskipun waktu yang diberikan orang-orang itu tidak banyak, tetapi ia merasa beruntung karena setidaknya pria-pria itu tidak mendesaknya segera membayar utang itu hari ini.
Tanpa kata, orang-orang itu pergi dari hadapannya. Meninggalkan dirinya yang terdidik di sebuah kursi panjang rumahnya, ia melirik sekilas ke arah pintu rumah. Ia menghela napas lega saat melihat pintu rumahnya yang tertutup, itu berarti tidak ada orang di rumah. Setidaknya ibu ataupun adiknya tidak tahu mengenai hal ini dan ia pun tidak akan pernah memberitahu hal ini sampai kapanpun.
"Kak Evely sudah pulang?" Gadis itu langsung mendongakkan kepalanya ketika mendengar suara sang adik.
"Iya, kau dan Ibu dari mana?" tanya gadis bernama lengkap Evely Candrica Grusell itu.
"Ibu bilang, tadi dia ingin pergi ke taman. Jadi aku membawanya ke sana, Kak," jawab sang adik.
"Kamu dari tadi sudah ada di sini?" tanya sang ibu pada Evely.