Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Call Me When You Need

Call Me When You Need

Aurora Brown

5.0
Komentar
144
Penayangan
1
Bab

Eleanor Franco adalah seorang kupu-kupu malam yang mana ia hanya boleh membiarkan dirinya dibayar oleh pria-pria tertentu saja, sesuai dengan yang ia mau. Setiap kali ia mendapat panggilan, tak selalu ia dan pria itu akan berakhir di ranjang, terkadang ia hanya akan makan menemani mereka atau dalam acara-acara tertentu. Tapi ada satu pria yang selalu menghubunginya ketika pertama kali mencoba berhubungan seks dengannya, yaitu Ian Eddison. Bos besar dalam suatu perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan. Memiliki uang banyak dan harta melihat yang selalu butuh seorang perempuan untuk pelepasannya di setiap malam atau di setiap waktu ia membutuhkannya. Bertemulah Eleanor dengan Ian dalam satu klub malam di kota New York yang mana kota itu terkenal sebagai kota yang tak pernah tidur. Ian langsung tertarik begitu saja pada Eleanor, dan bahkan ia sendiri yang mendatanginya dan menawarinya bayaran yang tak pernah Eleanor dapatkan dari pria-pria lain. Siapa yang tak tergiur dengan bayaran melimpah mengingat Eleanor memang sedang butuh uang banyak untuk biaya pengobatan dirinya sendiri yang sedang mengidap leukimia kronis? Tak ada yang tahu tentang penyakitnya kecuali dirinya sendiri dan orang-orang yang ia percaya dan dekat dengannya. Eleanor pun setuju dengan tawaran itu dan ia berjanji pada Ian, kapan pun ia membutuhkannya, ia selalu siap untuknya. Bagaimana ke depannya? Akankah mereka bersama karena pertemuan yang terus-terusan? Apakah seiring berjalannya waktu Ian akan mengetahui tentang penyakit yang diderita Eleanor?

Bab 1 Meet In The Club

"Aku akan ke klub mencari kenikmatan," kata Ian pada Eugene, teman kantornya yang menjadi tangan kanannya. Ia mengenakan jasnya dan mengantongi dompet serta ponselnya. Kunci mobil sudah berada di tangannya.

"Apa? Lagi? Hey! Lalu bagaimana dengan pekerjaanmu ini?"

Ian tersenyum pada Eugene. "Kau tahu apa yang harus kau lakukan, Eugene. Tenang saja, gajimu akan kutambahi. Selamat malam."

Eugene hampir dibuat kesal oleh temannya sendiri, tapi ketika ia mendengar bahwa gajinya akan ditambahi, ia langsung tersenyum lebar. Dan ian memang tahu bagaimana agar membuat seseorang bertahan hanya dengan uang. Apalagi ia tahu bahwa Eugene adalah bujang yang tak memiliki banyak urusan kecuali mengurusi kantornya ketika ia tak ada.

Mobil menyala dan mulai berjalan menuju klub yang kali ini akan ia datangi, berbeda dengan klub semalam. Ia ingin mencoba beberapa klub sekaligus mencari-cari apakah ada yang menarik di matanya atau tidak.

"Hmm ... ramai," katanya saat menatap sekitar parkiran klub itu.

Ia keluar dari mobil, memandang sekelilingnya. Ada banyak pasangan-pasangan yang menunjukkan dirinya begitu napsu terhadap pasangannya di tempat-tempat terbuka. Ada yang mabuk dan tak terkendali karena alkohol menguasai mereka.

Ian berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Mereka lemah sekali." Mereka adalah orang-orang yang mudah dikontrol oleh alkohol. Ian tidak suka dengan hal itu mengingat ia adalah seorang pria yang mudah mengontrol alkohol dalam dirinya. Ia tak pernah membiarkan minuman keras itu mengontrol dirinya karena ia tahu akibat apa yang akan ia dapatkan.

Ia masuk ke dalam klub itu setelah melewati pemeriksaan. Musik yang berdentum-dentum dengan lampu kerlap-kerlip mengisi klub itu. Matanya mulai menerawang ke segala arah, mencari tempat yang kosong dan cocok untuknya. Ia lalu berjalan ke bartender saat melihat ada kursi yang kosong.

Sebagai permulaan, Ian memesan bir sambil tetap mengamati keadaan.

Beberapa perempuan datang sambil menyentuh bagian pahanya, Ian hanya diam, tidak menggubrisnya. "Aku tidak tertarik." Begitulah yang ia katakan jika memang ada yang tidak menarik baginya.

"Dasar sok jual mahal!" gerutu perempuan yang mencoba menggodanya.

"Hey, sir! Jika ada yang mendekatimu, kusarankan agar kau mencobanya," kata salah satu bartender yang memerhatikan cara menolak Ian pada mereka.

Ian kembali berdecak, "aku tidak tertarik dengan yang seperti itu."

Tiba-tiba ada satu perempuan yang menarik perhatian matanya. Seorang perempuan yang duduk sendiri sambil menikmati minumannya yang terlihat seperti lemon tea saja sambil kepalanya bergoyang-goyang karena dentuman musik.

Ian lalu menatap ke bartender untuk bertanya, "siapa dia? Apa kau kenal?"

"Well, dia si cantik Eleanor. Sikapnya dingin tapi dia seperti perempuan-perempuan yang menyentuhmu. Bedanya, sepertinya dia pemilih."

"Apakah karena itu dia duduk sendiri?"

"Benar. Sir, apa kau mencoba untuk mendekatinya?"

"Sepertinya begitu. Apa yang dia pesan?" tanya Ian penasaran.

"Dia selalu memesan lemon tea. Kurasa dia tidak mengkonsumsi alkohol."

Ian menepuk-nepuk bahu bartender itu untuk berterima kasih atas informasi sedikit yang ia dapatkan.

Ian mulai mendekatinya sambil membawa botol birnya. Tak langsung menyapanya, ia malah duduk di hadapan perempuan itu. Perempuan yang bernama Eleanor itu memandangnya dengan tatapan biasa yang selalu ia tujukan pada pria-pria hidung belang lainnya. Kakinya yang sempurna menyilang, terlihat begitu jenjang dan tampak terawat.

"Aku tak memiliki waktu untuk melayani pria hidung belang!" kata Eleanor tiba-tiba.

"Bagaimana jika aku bukanlah pria hidung belang?" tanya Ian, menggoda dengan tegas.

Satu alis Eleanor terangkat. "Berapa yang bisa kau bayar untukku?"

"Lebih dari pria-pria yang pernah membayarmu."

Dalam hati Eleanor, ia terkejut. "50,000 dolar?"

"Deal."

Eleanor tersenyum senang sambil menggigit bibir bagian bawahnya. Caranya berekspresi membuat bagian tubuh Ian menegang keras. Ia sangat tidak bisa melihat ekspresi itu ketika melihat ada perempuan cantik yang tak menggodanya, tapi terlihat menggoda di matanya.

"Sekarang?" Tanya Eleanor.

Ian menahan nafasnya lalu mengembuskannya. Biasanya, yang selalu ia lakukan terhadap perempuan-perempuan yang akan memuaskannya, akan ia lakukan di saat itu juga. Tapi kali ini, ia ingin sedikit memiliki percakapan kecil dengan Eleanor agar terkesan bahwa ia bersikap sopan dengannya sebagai perempuan.

"Nanti saja. Tapi sebentar," kata Ian sambil merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponselnya. Ia memberikan ponselnya pada Eleanor, "tuliskan nomor rekeningmu."

Tanpa merasa malu sedikit pun, Eleanor langsung menuliskan rekeningnya dan menyerahkan kembali ponsel Ian. Ian lalu mulai melakukan transaksi dengan ponselnya, yaitu mengirim sejumlah uang yang disepakati oleh mereka berdua.

"Aku sudah mengirimnya ke rekeningmu. Kau bisa memeriksanya," kata Ian sambil menatapnya dengan intens.

Eleanor percaya padanya. Karena saat itu ia sedang memegang ponselnya sendiri dan merasakan ponselnya bergetar, menampilkan pesan bahwa ada transaksi masuk atas nama pria yang ada di hadapannya dengan nominal yang sudah disepakati.

"Tuan Ian Eddison. Terima kasih. Kau benar-benar pria yang memegang ucapan rupanya," kata Eleanor dengan manis.

Tutur kata yang manis dan penuh dengan kesopanan itu adalah yang Ian sukai. Walau memang harus dipancing dengan uang, tapi bukan masalah baginya. Karena Ian tak akan kehabisan uang hanya untuk satu perempuan malam yang terlihat cantik. Ia tidak merasa rugi sekali pun.

"Itulah aku. Jadi, kau adalah Eleanor. Si cantik yang suka memilih dengan siapa yang kau mau?"

Eleanor terkekeh sambil menatap bartender. "Aku bertaruh kau mendengarnya dari si bartender muda itu."

"Itu benar. Dan kau memang cantik. Bahkan jauh lebih cantik ketika dilihat dari jarak dekat."

Pipinya bersemu merah di bawah cahaya lampu yang berkerlap-kerlip. Tapi tak sedikit pun Eleanor menunjukkan sisi rasa malunya pada Ian, karena pekerjaannya adalah untuk tidak bersikap malu demi sejumlah uang sesuai yang ia mau.

"Kuanggap itu sebagai rayuan karena kau tidak sabar untuk berada di ranjang," kata Eleanor berasumsi.

Ian terkekeh. Ia melepas jasnya dan mulai menggulung kedua lengan panjangnya sampai ke bagian siku. Dasinya ia kendurkan tanpa melepas pandangannya dari Eleanor. Belum pernah ada yang membuatnya bergairah dan merasa tergoda seperti ini. Padahal Eleanor tidak menunjukkan gerakan menggoda padanya sama sekali.

"Kau berasumsi sesuai kebiasaan para pria-pria itu, Eleanor. Tapi bukan masalah untukku. Karena aku suka beraksi, jadi akan kubiarkan aksiku membungkammu."

"Oh ... baiklah, aku akan melihat bagaimana kau membungkamku."

Ian menatap arlojinya. Kemudian ia menatap Eleanor lagi. "Sebaiknya kita pergi sekarang."

"Di sini ada ruang khusus untuk bercinta, Ian."

Tapi Ian menggelengkan kepalanya. "Aku tidak terbiasa memakai tempat bekas pasangan lainnya. Jadi, ayo, ikut aku."

Ian mulai berdiri, mengulurkan tangannya pada Eleanor dan dengan ragu, Eleanor menerimanya. Mereka lalu keluar dari kerumunan orang-orang yang sudah dikuasai alkohol dan musik.

Pintu mobil dibuka oleh Ian untuk Eleanor. Ia pun masuk dan Ian menyusulnya di sisinya. "Aku akan membawamu ke apartemenku."

"Apa? Kenapa tidak hotel saja?"

"Karena aku baru membeli apartemen, aku ingin apartemen baruku terisi oleh jeritan dan desahanmu, Eleanor."

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku