Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Suamiku Detektif Berdarah Dingin

Suamiku Detektif Berdarah Dingin

CeritaJiwa

5.0
Komentar
57
Penayangan
10
Bab

Seorang detektif dijebak dalam sebuah kasus palsu hanya untuk mendapati dirinya ternyata sedang diuji oleh seorang wanita misterius. Wanita misterius yang memberikannya misi unik, untuk membuat seorang gadis jatuh cinta dan menikahi gadis tersebut. Gadis yang diketahui sebagai anak tidak sah dari orang paling kaya di negara mereka.

Bab 1 Tugas Detektif

Langit malam di atas Ray terlihat gelap dan tak terbendung, menelan seluruh bintang yang seharusnya menjadi saksi bisu keberanian laki-laki itu. Suara langkah kakinya bergema melalui gang-gang sempit, seolah memberitahu penjahat bayangan bahwa detektif itu datang. Menjelajah setiap celah dan sudut, dia melangkah memasuki kerangka besi yang berkarat dari gudang tua itu.

Tidak seperti balada gembira yang bermain di bar dan kedai kopi di kota, di tempat ini, hanya ada simfoni tikus dan serangga. Bunyi merentang dari baja lama mengikuti irama angin malam, suara itu berpadu dengan bau cat yang memudar dan jejak serbuk kayu yang sudah lama ditinggalkan.

Ray menghela napas, rasanya seperti menelan debu. Dalam kegelapan gudang itu, lampu senter kecilnya menjadi mata ketiganya. Cahaya itu bermain-main dengan bayangan, menyoroti tekstur karat pada besi dan debu tebal yang menari di udara.

"Bukti... harus ada di sini," gumamnya dalam-dalam, seraya menelusuri setiap inci dari gudang itu dengan tatapan yang tajam. Detektif itu paham, dia harus ringkas dan efisien. Waktu berlalu begitu cepat, seperti pasir yang jatuh melalui celah jemari.

Dari sudut matanya, Ray melihat sesuatu yang mencolok, sebuah lemari besi tua yang tersembunyi di belakang tumpukan kotak berdebu. Dia merasa seperti mendapatkan petunjuk penting.

"Mungkin ini yang aku cari," katanya, nada suaranya menggema di ruang hampa itu. Sambil memegang lampu senter di mulutnya, Ray mencoba membuka lemari itu dengan kunci yang didapatkan dari kliennya. Lemari itu terbuka, memperlihatkan selembar dokumen penting. Dengan perasaan lega, Ray memasukkan dokumen itu ke dalam jaket kulitnya.

Tiba-tiba, suara pintu gudang yang terbuka membahana. "Apa yang kamu cari di sini, Ray?" sebuah suara tajam berbicara dari balik cahaya menyilaukan dari pintu gudang.

Ray mengedipkan matanya, melawan silau. Dialognya pendek dan tegas. "Kebenaran."

Dan di dalam gudang tua itu, dalam pertempuran antara cahaya dan kegelapan, detektif itu berdiri tegak, siap menghadapi apa pun yang menantinya.

Detektif itu menatap wanita yang berdiri di ambang pintu, lampu dari mobilnya menerangi wajahnya yang dingin dan tak tertembus. Matanya yang tajam berkilau dalam gelap, dan senyumannya penuh arti.

"Ray," katanya, merentangkan tangannya ke arah detektif itu. "Selamat karena berhasil menyelesaikan tes saya. Kau lebih pintar daripada yang kubayangkan."

Ray berdiri diam, dengan ekspresi bingung yang sempurna di wajahnya. Apa ini semua perangkap? Bukankah dia berada di sini untuk membantu seorang yang tak berdosa? Bagaimana bisa semua berubah begitu cepat? Tapi detektif itu tidak mengungkapkan kebingungannya. Dia hanya mengangguk dan berkata, "Jadi apa yang sebenarnya terjadi, Nyonya?"

Wanita itu berjalan mendekat, langkah kakinya ringan namun penuh otoritas. Suara sepatu hak tingginya menyeruak dalam keheningan gudang, menimbulkan irama yang membuat Ray merasa tidak nyaman. "Kau sekarang punya tugas yang lebih besar, Ray," katanya, suaranya menenangkan seperti alunan musik, tapi matanya menatap dengan nada yang serius. "Ada seorang wanita, putri haram dari salah satu pria terkaya di negara ini. Dia tinggal di pinggiran kota, bersembunyi dari dunia. Tugasmu adalah mendekati dia... dan menikahinya."

Ray mengangkat alisnya, terkejut oleh permintaan aneh wanita itu. "Menikahi seorang wanita yang tidak saya kenal? Itu terdengar seperti cerita film kelas B, Nyonya. Kenapa harus saya?" tanyanya, suaranya meragukan. Dia melihat ke arah wanita itu, menanti penjelasan yang masuk akal.

Wanita itu tertawa, suaranya merdu namun ada sedikit nada sinis. "Karena kau punya apa yang dibutuhkan, Ray. Dan tentu saja, ada alasan yang lebih dalam, tapi itu akan kau ketahui nanti. Untuk sekarang, kau harus percaya pada saya."

Ray menatap wanita itu, dengan rasa kecurigaan yang mulai menggelora dalam hatinya. Namun, sebagai detektif, dia tahu bahwa dia harus bermain menurut aturan orang lain jika ingin mencari kebenaran. Jadi, dengan sikap berhati-hati, dia mengangguk dan berkata, "Baiklah, Nyonya. Saya akan melakukannya."

Dan dengan demikian, di tengah kegelapan gudang tua itu, detektif dingin Ray mengambil tugas aneh yang bisa mengubah hidupnya selamanya. Sebuah perjalanan baru baru saja dimulai.

Mendengar penawaran yang begitu mewah, Ray tak bisa menahan senyum sarkastisnya. "Setengah dari kekayaan pria terkaya? Bukankah itu terlalu muluk? Sepertinya Anda mencari seorang gigolo, bukan detektif, Nyonya," selorohnya, menatap wanita itu dengan pandangan skeptis.

Wanita itu, seolah tak terganggu oleh seloroh Ray, malah tertawa lepas. Cahaya dari lampu mobilnya menyoroti gigi putihnya yang rapi, dan matanya berkilau dengan semangat yang tidak bisa dipahami Ray. "Oh, Ray. Apa salahnya menjadi gigolo jika bayarannya begitu besar? Kau bisa pensiun dini dan menikmati hidup mewah yang tak pernah kau bayangkan sebelumnya," balas wanita itu, suaranya penuh dengan keceriaan.

Ray menggelengkan kepalanya, merasa seolah-olah dunia ini telah menjadi tempat yang aneh. Dalam satu malam, dia berubah dari detektif yang mencari kebenaran menjadi pria yang ditugaskan untuk menaklukkan seorang wanita demi kekayaan. Tapi dalam hati, dia tahu bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar pernikahan dan kekayaan. Ada misteri yang harus dia pecahkan, dan dia bertekad untuk melakukannya.

"Baiklah, Nyonya," jawab Ray akhirnya, menghela napas berat. "Saya akan lakukan tugas Anda. Tapi bukan karena uang atau kekayaan. Saya melakukannya karena saya ingin tahu apa sebenarnya yang sedang terjadi."

Dengan itu, dia membalikkan tubuhnya, meninggalkan wanita dan gudang tua itu. Ray kembali ke mobilnya yang tua dan berkarat, memandangi lembaran dokumen yang seharusnya adalah kunci untuk membantu kliennya. Sekarang, dokumen itu tidak lebih dari selembar kertas kosong. Tapi dia tahu, petualangannya baru saja dimulai.

***

Di pinggir kota, menyerupai seonggok raksasa yang ditinggalkan, berdiri sebuah rumah besar. Dinding-dindingnya telah pudar oleh waktu, catnya mengelupas dan retakan di beberapa tempat. Taman yang seharusnya indah dan asri sekarang ditumbuhi rumput liar yang tinggi, dan kolam renang yang seharusnya berkilau di bawah sinar matahari kini dipenuhi air yang menghitam dan penuh dengan daun-daun yang layu.

Di dalam rumah itu, di belakang jendela kaca besar, ada seorang wanita muda dengan rambut coklat yang panjang. Matanya yang biru menatap ke luar jendela, melihat dunia yang tampak begitu asing baginya.

Carly.

Itulah namanya. Anak haram dari pria yang namanya disebut-sebut sebagai simbol kekayaan dan keberhasilan. Tapi bagi Carly, nama ayahnya hanyalah sebuah peninggalan dari masa lalu yang ingin dia lupakan.

Telepon di meja sampingnya berdering, memecah kesunyian yang hampir sempurna. Carly mengangkatnya dengan ragu, mendengar suara wanita yang tak dikenalnya di ujung sana.

"Selamat, Carly," kata wanita itu, suaranya manis tapi tak berarti bagi Carly. "Kami telah menemukan jodoh untukmu. Seorang pria yang baik, penuh pengertian, dan tentu saja, kaya."

Carly merasa dunia ini berhenti berputar. Air mata mulai menetes dari matanya yang biru, membasahi pipinya yang putih. Dia merasa seolah-olah dunia ini menertawakannya, menyiksa dirinya dengan cara-cara yang paling tidak manusiawi.

"Kenapa... kenapa kalian melakukan ini padaku?" tanyanya, suaranya tersedu-sedu. Dia mencoba menahan tangisannya, tapi itu semakin sulit dilakukan. "Aku bukan boneka yang bisa kalian mainkan sesuka hati!"

Tapi wanita di ujung telepon hanya tertawa, suaranya merdu namun menusuk hati Carly. "Kau adalah alat, Carly. Alat untuk membantu kami mencapai apa yang kami inginkan. Dan kau tidak memiliki pilihan lain."

Dan dengan demikian, dalam kesunyian rumah besar yang tak terawat itu, Carly menangis. Dia menangis untuk dirinya, untuk hidupnya, dan untuk dunia yang tampaknya berbalik melawan dirinya.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku