Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
"Pergi! Ayo cepat pergi!"
Radit melempar tas ransel berisi pakaian ke arah Dian dengan wajah memerah. Wanita yang baru saja datang itu heran dengan perlakuan suaminya yang seketika berubah.
Di ambang pintu telah berdiri seorang wanita dengan pakaian kurang bahannya, ia menatap sinis dengan bibir menyeringai.
"Mas, kamu tega usir aku yang lagi hamil anak kamu?"
Dian mengiba, berharap masih ada secercah rasa kasihan di hati suaminya, setidaknya untuk calon anak mereka yang saat ini berusia delapan bulan di kandungan.
"Aku gak peduli, dia bukan anakku, dia anak hasil perselingkuhan kamu sama laki-laki itu, cih! Tak sudi memungut anak haram itu."
Radit murka lalu masuk ke dalam rumah membuat mata Dian membulat seketika lantaran ketidakpedulian suaminya.
Radit nampak marah besar, urat-urat di lehernya menonjol, bahkan sebelum pergi ia tega meludahi Dian. Sementara Raya dan ibunya menatap sinis ke arah Dian, mereka tersenyum menyeringai melihat penderitaan wanita hamil itu.
Dada Dian terasa sesak diperlakukan hina oleh suaminya sendiri, suami yang dulu berjanji akan selalu melindungi dan mencintai sepenuh jiwa.
"Silakan pergi, jangan ganggu suamiku lagi!"
Kali ini Raya bicara sembari menyilangkan kedua tangan di dada.
"Dian, anak haram kayak kamu itu cuma bisa jadi ibu dari anak haram juga."
Indira ikut menimpali, Ibu kandung Raya itu tersenyum sinis.
"Kalian dengar, saya bukan anak haram. Satu lagi, anak yang saya kandung ini anak biologis Mas Radit," sergah Dian membela diri, "justru anak di dalam kandungan Raya yang entah siapa ayahnya," balas Dian sinis.
"kamu!"
Raya mengangkat tangannya hendak melayangkan tamparan ke arah pipi Dian.
"Apa? Mau tampar, tampar silakan!"
Dian mengancam, ia sama sekali tak gentar oleh layangan tangan sepupu pengkhianat itu, justru Dian mendekatkan pipinya ke arah Raya untuk menantang emosinya. Wanita itu sudah muak dengan semua keangkuhan mereka.
Dian melangkah pergi meninggalkan rumah dan suami yang selama ini menemani, wanita itu berjanji akan mengambil semua hak-haknya, tak mau lagi diinjak-injak oleh mereka, Dian tak boleh terus mengalah, ini saatnya Dian harus bahagia, catatan kelam kehidupan harus berganti dengan catatan kebahagiaan.
Raya adalah sepupu Dian dan Indira adalah adik kandung dari ibunya, tetapi dari dulu mereka tak pernah menyayangi Dian laksana keluarga.
Bahkan saat Nenek Dian masih ada pun wanita malang itu selalu dibedakan oleh mereka. Sementara ibunya lebih memilih menjadi istri kedua laki-laki lain dan meninggalkan Dian, sedangkan ayahnya entah siapa. Ibu kandung Dian melahirkan tanpa ikatan pernikahan dengan lelaki manapun. Membuat hidup Dian terhina dan tak punya harga diri.
Dian berjuang menempuh pendidikan tinggi lalu dipersunting oleh Radit, pemilik perusahaan material bangunan yang memiliki beberapa cabang di negeri ini. Hidup keduanya rukun dan bahagia, tetapi semua berubah saat Raya dan Indira kembali hadir dalam kehidupan Dian.
Nasi sudah menjadi bubur, kebaikan Dian pada Raya dan Indira tak pernah berarti di matanya, mereka bak singa peliharaan yang memangsa tuannya. Kini Dian tak lagi mau dibodohi mereka, pengusiran ini sudah cukup menjadi penghinaan perih yang menghunus jiwanya.
Dengan berat hati Dian melanjutkan perjalanan sambil mengelus perut yang semakin membuncit, berjalan tak memiliki tujuan, seketika bayangan kelam masa kecil berkelebat di benaknya bagaikan slide film yang tengah dipertontonkan.
"Nek, tadi Dian dikasih sate sama Om Damar," ucapnya dengan mata berbinar.
Dian bahagia karena bisa menikmati makanan mewah bersama-sama dengan orang yang ia sayang.
"Wah, wanginya enak banget," ucap Raya yang tengah asyik menonton TV, ia segera berlari ke arah Dian lalu mengambil satu tusuk sate dan memakannya dengan lahap.
"Raya, aku juga belum makan, kita barengan ih," kata Dian pada Raya saat ia mengambil lagi satu tusuk padahal di tangannya sudah habis satu tusuk.
"Pelit amat sih kamu Dian, timbang makanan begini doang, Ayah sama Bunda aku juga bisa beliin banyak kalau mereka pulang nanti," balas Raya kecil dengan sombongnya.
"Iya kamu ini Dian, begitu saja pelit, barengan lah makan itu."
Nenek menimpali tanpa melihat wajah Dian. Bukannya membela, wanita tua itu pun malah ikut menyalahkannya.
Nenek Dian berjalan mendekati mereka yang tengah rebutan sate, lalu Nenek memberikan dua tusuk sate pada Dian, sisanya sang Nenek berikan pada Raya.
"Sudah, kamu dua saja, sisanya buat Raya."
Nenek memberikan sisa sate yang Dian hitung masih delapan tusuk itu pada Raya.
Hati Dian kecil sangat sedih, padahal Om Damar memberikan sate itu untuknya, tapi saat dibawa pulang Dian hanya boleh makan dua tusuk saja.
Dian tak berani melawan meski ia ingin melawan, gadis kecil itu membawa dua tusuk sate dan piring nasi ke dapur, hatinya kian sakit karena selalu dibedakan oleh Nenek.
Dian menyuap nasi dan sate ke dalam mulutnya dengan air mata yang tak mampu terbendung, bukan karena sate yang diberikan kurang, melainkan karena perlakuan sang Nenek yang kerap pilih kasih.