Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Pembalasan Arwah Seorang Istri

Pembalasan Arwah Seorang Istri

Al Vieandra

5.0
Komentar
80
Penayangan
6
Bab

Lahir ke dunia dari hasil perselingkuhan ayahnya bukanlah keinginan gadis cantik yang bernama Tari Ayunda. Setelah ibu kandungnya meninggal akibat terbunuh, mau tak mau ayah Tari yang bernama Budi membawanya pulang dan meminta kepada istrinya untuk membesarkan anaknya dari hasil perselingkuhannya bersama gadis desa yang bernama Ningsih. Marni yang terpaksa menerima bayi malang tanpa dosa itu akhirnya menerima Tari dan membesarkannya, tapi tanpa ada kasih sayang yang diberikannya layaknya seorang ibu kandung. Hingga Tari dewasa, arwah Ningsih datang pada keluarga Budi dan ingin membawa Tari untuk tinggal bersamanya. Apakah Tari akan memilih hidup dengan ibunya yang berbeda alam dengannya? Atau bertahan dengan Marni yang selalu menyiksanya setiap hari?

Bab 1 Terbangun di Alam Lain

"Dimana aku? Kamar siapa ini?"

Tari terbangun dari tidur panjangnya. Matanya mengerjap berkali-kali, lalu mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru kamar. Tari lalu terduduk diatas kasur empuk yang masih terbuat dari kapuk. Suasana kamar yang sangat berbeda dengan kamar dirumahnya yang terkesan modern. Berbeda dengan kamar ini, yang terlihat seperti kamar pada jaman dahulu. Dengan kasur kapuk dan jendela tanpa kaca yang hanya ditutupi oleh gorden. Tidak ada hiasan dinding yang menempel, hanya ada satu foto yang menempel di dinding yang terlihat sudah kusam.

Tari beranjak dari duduknya, berjalan mendekati bingkai foto yang satu-satunya terpajang di dinding. Ia lalu menatap foto tersebut. Didalam foto itu terdapat sepasang suami istri yang terlihat tanpa ekspresi. Tari merasa sangat asing dengan tempat ini. Bukan hanya tempatnya saja, suasana kamar juga udara yang sangat dingin menusuk hingga ke tulang.

"Sepi banget, seperti tidak ada kehidupan."

Tari melihat keadaan diluar jendela. Ia penasaran tempat apa sebenarnya ini. Diluar jendela terlihat sangat sepi. Seperti tidak ada kehidupan sama sekali. Akan tetapi, diluar sana terlihat masih sangat asri dengan ditumbuhi tanaman-tanaman liar yang tumbuh subur diatas tanah.

"Sepertinya, aku berada di sebuah perkampungan yang jauh dari kota. Terlihat dari suasana diluar sana yang terlihat masih sangat asri dan udaranya yang sejuk."

Tidak ada suara sedikitpun, benar-benar seperti tidak ada kehidupan. Hanya suara semilir angin yang menggoyangkan dedaunan. Tiba-tiba bulu kuduk Tari sedikit meremang. Merinding, itulah yang sedang dirasakan olehnya.

Ceklek, krieeettt.

Suara derit pintu kamar terbuka. Tari terlonjak kaget saat pintu kamar terbuka dengan mengeluarkan suara yang memekakkan telinganya.

"Eeeh, udah bangun, Neng geulis?" tanya seorang wanita paruh baya yang membawa sebuah nampan berisi mangkuk dengan bubur yang masih mengeluarkan asap. Aroma khas dari bubur ayam, seketika membuat Tari menjadi lapar. Bagaimana tidak, sejak kemarin Tari belum memasukkan makanan apapun ke dalam perutnya.

Suasana yang menyeramkan tadi seketika berubah menjadi hangat. Senyuman yang diberikan oleh Ningsih kepada Tari membuatnya menjadi lebih sedikit tenang. Ada sedikit lega di hati Tari saat ia menatap wajah wanita yang memberikannya senyum yang tulus. Seperti senyum seorang ibu kepada anaknya. Bahkan, entah kapan Tari melihat ibu kandungnya tersenyum kepadanya. Hanya raut wajah kesal yang selalu ditunjukkan oleh Tuti--ibu kandungnya--pada Tari.

"I-iya. Maaf, sebenarnya saya ini ada dimana, Bu?" tanya Tari masih belum ingat bagaimana ceritanya ia bisa berada di rumah ini.

Ningsih menyimpan nampan berisi bubur ayam tadi di atas meja kecil. Lalu berjalan mendekati Tari. "Neng geulis ada di rumah Ibu." Tangannya terulur membelai lembut rambut Tari yang panjang terurai. Perasaan hangat menjulur ke dalam hatinya. Sudah lama sekali ia tidak pernah merasakan belaian lembut dari tangan seorang ibu. Tari merasakan nyaman saat ia berada dekat dengan Ningsih. Padahal baru beberapa menit saja ia bertemu dengan wanita paruh baya itu.

"Sekarang, Neng makan aja dulu. Nanti buburnya keburu dingin, gak enak," titahnya kemudian.

"Tapi, sa-saya ...."

"Nanti, setelah selesai makan, Ibu janji akan menceritakan bagaimana Neng geulis bisa berada di rumah ini." Ningsih memotong ucapan Tari, ia seperti tau apa yang ada di dalam pikiran Tari. "Ayo sini, makan. Oh ... kalau begitu Ibu tunggu diluar kamar saja, ya. Barangkali Neng geulis malu kalau makan di depan Ibu." Lagi-lagi Ningsih bisa menebak apa yang ada di dalam pikiran Tari. Tanpa menunggu jawaban dari Tari yang sedari tadi bengong, Ningsih segera keluar kamar meninggalkan Tari yang masih berdiri di depan jendela kamar.

'Kenapa ibu itu seperti tau apa yang ada dipikiranku?' batin Tari.

Aroma khas dari bubur ayam lagi-lagi menusuk hidungnya. Asap yang masih mengepul diatasnya seolah-olah melambai-lambai memanggilnya untuk segera menyantap bubur ayam tersebut.

"Sepertinya bubur ayam ini enak, baunya benar-benar menggoda." Tari berjalan mendekati meja. Ia lalu duduk di di kursi yang ada di dekat meja. Tangannya mulai menyendok bubur yang terlihat sangat menggoda. Hingga tak terasa bubur itu telah habis tak tersisa.

"Kenyang banget, padahal kelihatannya bubur ini isinya sedikit. Tapi kenapa perutku rasanya kenyang banget." Tari memegangi perutnya yang kekenyangan. "Aku belum pernah makan bubur seenak ini," ucapnya kemudian masih bermonolog.

Setelah menghabiskan satu mangkuk bubur ayam dan satu gelas teh hangat tawar. Tari beranjak dari duduknya dan berniat untuk keluar kamar menemui wanita tadi. Dengan gerakan yang sangat pelan, Tari membuka pintu kamar. Mula-mula Tari menengok ke kanan dan ke kiri melihat sekeliling, sepi. Tak ada orang sama sekali. Tari melangkahkan kakinya keluar kamar. Ia bingung akan mencari Bu Ningsih kemana. Suasana rumahnya pun terlihat sangat sepi. Benar-benar sunyi, sepi seperti tidak ada kehidupan. Hanya terdengar suara dedaunan jatuh tertiup angin yang cukup kencang. Tidak ada suara kendaraan seperti di lingkungan rumahnya.

Tari melangkahkan kakinya menuju halaman depan. Ia benar-benar merasa penasaran dan ingin melihat suasana diluar sana. Dengan pelan, Tari membuka pintu lalu melangkah keluar rumah. Hawa dingin langsung menusuk hingga ke tulang. Tari yang tidak biasa dengan cuaca dingin, langsung menggigil kedinginan.

"Ish, dingin banget disini. Sepertinya aku berada di perkampungan yang jauh dari kota. Tapi dimana? Kok bisa aku sampai ke tempat ini." Tari mendekap erat tubuhnya yang kedinginan. "Tapi aku suka tempat ini, udaranya sejuk dan masih sangat segar. Berbeda dengan di rumah, bising oleh kendaraan dan teriakan mamah." Tari bermonolog.

Rumah milik Ningsih memang berada di perkampungan yang jauh dari kota. Tepatnya berada di desa Citiis. Rata-rata setiap rumah memiliki halaman yang cukup luas. Seperti rumah Ningsih yang memiliki halaman cukup luas yang ditumbuhi oleh beberapa pohon yang memiliki daun yang rindang, seperti pohon mangga dan juga pohon jambu. Suatu hal yang jarang ditemui di kota tempat tinggal Tari. Rumah Ningsih dengan para tetangganya berjarak cukup jauh. Tapi masih terlihat dengan jelas.

Tiba-tiba angin bertiup cukup kencang dan suasana semakin mencekam. Hawa yang tadinya terasa dingin bagi Tari, kini semakin dingin lagi. Sepertinya malam akan segera tiba. Matahari mulai tenggelam berganti dengan bulan yang akan mulai meninggi. Hari mulai gelap. Siang pun berganti malam. Tari semakin menggigil kedinginan.

"Sepertinya ini waktunya Maghrib. Tapi, kenapa tidak ada yang mengumandangkan adzan Maghrib?" Tari bertanya-tanya atas keganjilan yang ia rasakan.

Tiba-tiba terdengar suara-suara yang mulai bermunculan. Seperti suara anak kecil yang sedang merengek dan suara tawa seorang anak, sangat terdengar jelas oleh telinga Tari.

"Ada manusia, siapa dia?"

Tiba-tiba terdengar jelas seperti ada orang yang berbicara tak jauh dari tempatnya berdiri. Bulu kuduk Tari meremang saat ada sebuah tangan yang memegang pundaknya. Tangan itu terasa sangat dingin menembus hingga kulit Tari. Dengan jantung berdebar kencang, Tari menoleh kebelakang.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Al Vieandra

Selebihnya
Terpaksa Kawin Kontrak

Terpaksa Kawin Kontrak

Romantis

5.0

Aletha seorang gadis biasa yang sangat menyayangi keluarga dan sekaligus menjadi tulang punggung keluarganya harus terjebak kedalam pernikahan di atas kertas karena harus mengganti uang mahar yang diberikan calon suaminya yang tidak sedikit. Aletha membatalkan pernikahan dengan calon suaminya yang bernama Ronald, karena ia baru mengetahui jika Ronald ternyata sudah mempunyai istri. Ia tidak mau dijadikan istri yang kedua oleh Ronald. Sementara uang mahar yang diberikan oleh Ronald sudah habis untuk membayar hutang orang tuanya dan merenovasi rumahnya. Ronald yang tak menerima pembatalan pernikahan secara sepihak oleh Aletha meminta kembali uang mahar yang telah diberikannya. Sampai suatu saat ia bertemu dengan pemilik perusahaan dimana ia bekerja. Aletha bekerja di perusahaan cabang hanya sebagai staf administrasi biasa dan dengan gaji yang standar. Sang presiden direktur yang bernama Athala menawarkan pekerjaan yang diluar kapasitasnya sebagai staf administrasi yaitu sebagai istri di atas kertas dengan bayaran yang fantastis. Satu sisi Aletha tidak ingin menjadikan pernikahan sebagai permainan. Tapi sisi lain, Aletha sangat membutuhkan uang itu. Jika ia tidak bisa membayar uang mahar yang terlanjur sudah dipakai oleh orang tuanya, mau tak mau Aletha harus menikah dengan Ronald dan menjadi istri ketiganya. Apakah Aletha akan mengambil tawaran yang diberikan oleh Athala sang pemilik perusahaan? Atau ia harus rela menjadi istri keduanya Ronald?

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku