Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Sang Pemuas
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Suara kicauan burung di dekat kamar, membuat gadis dua puluh sembilan tahun itu menggeliat di balik selimut yang mengubur tubuhnya.
Gadis bernama lengkap Oktavia Annastasya yang baru saja pulang dari Singapura sejak satu bulan lalu mulai mengerjapkan matanya. Menyesuaikan cahaya matahari yang menerobos kain penutup jendela di kamarnya.
Ia kembali ke tanah air karena permintaan sang ayah yang sering sakit-sakitan semenjak kepergiannya tiga tahun yang lalu.
“Aku harus segera bangun dan menyapa ayah,” gumam Oktavia seraya menyibak selimut dan melipatnya sebelum beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Oktavia turun dari lantai satu menuju dapur, menemui sang ayah yang mungkin telah menunggunya. Dan benar saja, dia melihat Bambang sedang sibuk dengan koran di meja makan.
Oktavia menyunggingkan senyumannya karena Bambang benar-benar membuktikan janjinya akan menunggunya di meja makan setiap pagi. Sikap pria paruh baya itu membuat Oktavia yang biasa dipanggil Tata, menjadi enggan menolak setiap permintaannya. Apalagi jika sang Ayah memintanya menikah, ia akan pusing memikirkan jawaban yang tak menyinggung perasaannya.
“Selamat pagi, Ayah,” sapa Oktavia seraya memeluk sang ayah dari belakang. Kegiatan rutin saat pagi sebelum ia berangkat kerja dan menghabiskan waktu liburannya di rumah.
Pria paruh baya yang sedang membaca koran itu hanya melirik sesaat dan kembali berkutat dengan bacaannya. “Kamu rapi sekali? Bukankah hari ini libur?” tanya Bambang heran.
“Ayah benar, tapi Tata ada janji sama Alena dan Keisha keluar sebentar.” jawab Oktavia seraya mengambil tempat duduk kosong di sebelah ayahnya. “Ibu di mana, Yah?” Ia mulai menaruh beberapa sendok nasi goreng ke piringnya.
“Ibumu ke pasar dengan Bibi. Kakakmu akan datang bersama anak dan istrinya, menginap sampai lusa.”
“Tumben nginep lama?” gumam Oktavia sebelum memasukkan nasi satu sendok nasi goreng ke dalam mulutnya.
“Karena kakak iparmu lagi ngidam dan ingin menginap di sini,” tambah Bambang seraya meletakkan koran di meja.
Kedua mata Oktavia membulat sempurna. Ia menelan nasi goreng di mulutnya sebelum memekik antusias.
“Yes!” binar-binar kebahagiaan terukir jelas di wajah putih Oktavia.
Bambang menggeleng melihat tingkah anak bungsunya yang sampai saat ini belum mau menikah.
“Lalu, kamu kapan mau memberi cucu untuk Ayah?” tanya Bambang kemudian.
Seketika wajah Oktavia menjadi pucat. Ya, dia paling menghindari pertanya sang ayah yang akan membuatnya berpikir keras untuk memberikan alasan. Selama ini bukannya tak ada pria yang melamar atau menyatakan perasaan padanya, hanya saja ia belum tertarik untuk kembali menjalin kasih dengan pria lain.
“Tata?” panggil Bambang.
“Nanti dulu deh, Yah. Untuk saat ini Tata belum punya pikiran ke sana. Tata masih mau menikmati masa muda sampai puas.” jawab Oktavia seadanya.
“Sampai kapan?” desak Bambang.
“S-sampai Tata menemukan orang yang tepat pastinya,” jawab Oktavia gugup.
“Nak Haykal? Dia kandidat terbaik dan paling bagus menurut Ayah,” ujar Bambang tak mau kalah.
“Tata dan Mas Haykal itu bos dan karyawan, yang mana ada peraturan di perusahaan tidak memperbolehkan ada hubungan lain selain rekan kerja.” jawab Oktavia santai.
“Tapi Nak Haykal ‘kan bosnya? Bisa saja dia menghapus peraturan itu kalau kamu mau menerima lamarannya,” sanggah Bambang cerdas.
Oktavia hanya bisa meneguk ludahnya sendiri mendengar perkataan sang ayah yang semakin melantur ke mana-mana. Pembahasan tentang kekasih, suami, dan juga cucu adalah hal sensitif yang tak ada habisnya meski dikupas seperti bawang merah. Ia sendiri selalu menghindari topik itu.
“Bagaimana? Mau menerima Nak Haykal? Ayah sudah merestui loh. Begitu juga dengan Kakak dan Ibumu,” tanya Bambang beruntun.
“Tata nggak mau, Yah,” tolak Oktavia.
“Kenapa? Dia ‘kan baik dan menyukaimu. Kamu akan bahagia jika bersamanya, Tata,” ucap Bambang dengan nada tidak ramah.
“Cinta nggak bisa dipaksa, Yah. Tata nggak pernah menaruh perasaan lebih pada Mas Haykal. Tata nggak mau menikah tanpa cinta,” tolak Oktavia menggebu-gebu.
“Nggak kenyang kamu kalau cuma mengedepankan cinta, Tata. Lihat, Ayah dan Ibu! Kami tetap bahagia meski menikah tanpa cinta.”
“Tata tetap nggak mau. Aku nggak mau pernikahanku berantakan hanya karena tidak ada perasaan saling mencintai antara kami,” tolak Oktavia mempertahankan argumennya.
Bambang menghembuskan napas kasar dengan wajah memerah. “Terserah kamu saja! Toh meskipun Ayah merestui kalau kamu tidak mau, Ayah tidak bisa memaksa. Tapi ingat! Ayah dan Ibu sudah semakin tua. Kami hanya ingin melihatmu bahagia sebelum waktu Ayah datang,” ujar Bambang seraya meninggalkan Oktavia terkesiap seorang diri.
“A-ayah?” gumam Oktavia menatap sendu punggung Bambang yang semakin menjauh.
.
.
.
“Lo kenapa Ta? Muka Lo udah kayak setrikaan berbulan-bulan yang kusut tidak terkira gitu!” cetus Keisha yang heran menatap wajah sahabatnya. Dia melirik ke arah Alena yang hanya mengedikkan bahu acuh.
Oktavia yang sejak tadi memikirkan kata-kata Bambang menjadi sering melamun dan tak bersemangat sama sekali. Tak hanya itu, ia merasa sangat bersalah kepada orang tuanya karena keputusannya yang belum ingin menikah.
“Ta ... Tata!” seru Keisha seraya memukul punggung tangan Oktavia di meja.
“Awsh!” pekik Oktavia. “Lo kira-kira dong kalau mukul! Sakit tahu?” Oktavia melotot ke arah Keisha yang tak merasa bersalah.
“Lagian kerjaan Lo melamun mulu, sih! Bikin Gue gemes!” sungut Keisha.
“Lo kenapa sih, Ta? Dari tadi datang diem aja. Ada masalah? Sama siapa? Sama bos ganteng Lo itu? Iya?” tanya Alena beruntun bak kereta malam. Temannya yang satu ini akan bertindak layaknya seorang hakim.
Oktavia menghembuskan nafas kasar. “Sama Ayah.” jawab Oktavia singkat.