Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Istri Muda Untuk Suamiku

Istri Muda Untuk Suamiku

Memey Azzura

5.0
Komentar
2.1K
Penayangan
31
Bab

Nayla Rahmawati terpaksa menikahkan suaminya dengan seorang gadis sholehah demi mempunyai keturunan. Pernikahannya yang menginjak angka delapan tahun tetapi, ia tak kunjung hamil. Mampukah Nayla berbagi suami dengan sang Madu? Ada apakah gerangan yang membuat Nayla tak kunjung hamil? Ikuti kisah rumah tangga Nayla dan Burhan serta Bella yang unik dan penuh dengan air mata dan kekompakan mereka menjalani rumah tangga yang berbeda dari umumnya. Ini kisah poligami yang berbeda dari yang lain.

Bab 1 Pernikahan

"Saya terima nikah dan kawinnya Bella Ariyanti binti alm. Muhammad Nuh dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." Dalam satu tarikan nafas Burhan berhasil menghalalkan gadis muda disampingnya.

Gadis belia yang mengenakan gamis dan khimar putih, wajahnya ditutupi niqab menunjukkan betapa dirinya gadis sholehah. Sedang Burhan mengenakan setelan kemeja senada menambah kesan serasi.

Semua didominasi warna putih yang melambangkan kesucian. Menunjukkan acara ini sangat sakral serta lambang sebuah ketulusan dan kemurnian.

"Bagaimana saksi, sah." Penghulu bertanya pada wanita yang duduk tepat belakang mempelai pria. Wanita itu pun mengangguk dan disambut tepuk tangan meriah dari para undangan.

"Sah."

"Sah."

"Sah."

Kata itu menggema di seluruh penjuru ruangan. Semua yang hadir turut merasa bahagia atas momen paling berharga ini. Namun, tidak bagi wanita yang menjadi saksi.

Semburat kesedihan terpancar jelas di wajah tirusnya. Ia tetap memaksakan untuk tersenyum pada siapa saja yang menatapnya. Menyembunyikan kesedihan yang membuncah karena ini semua terjadi atas kehendaknya.

Berdiam diri mematung menatap punggung pengantin pria, yang tengah sibuk menandatangani berkas. Pertanda bahwa pernikahan itu sah dimata hukum dan agama.

Ia terus meremas ujung kebaya jingga yang melekat pada tubuh langsingnya, dipadukan dengan rok batik khas Jambi. Rambut lurus sebahu dibiarkan tergerai hanya dijepit bagian samping membuatnya semakin mempesona.

Wanita itu bernama Nayla Rahmawati, merupakan istri pertama pria yang baru saja mengikrarkan janji suci pada wanita bercadar di sampingnya.

Remasan di ujung kebayanya kian erat lalu mendadak berdiri hingga kursi plastik yang didudukinya terjatuh kebelakang. Setengah berlari keluar dari gedung untuk pergi sejauh-jauhnya.

Ia sudah tidak sanggup lagi menyaksikan rentetan acara yang akan merubah dunianya setelah ini. Entah berapa kali menabrak tamu undangan hingga tersungkur. Terdengar cacian dan makian untuknya.

Ia kembali berlari dan terus berlari keluar dari tempat itu dan pergi menjauh. Keadaanya benar-benar kacau saat ini. Entah berapa kali dia jatuh bangun tetapi, tetap tidak menyerah untuk menjauh dari sana.

Hatinya hancur tak beraturan, luluh lantak dan takkan pernah bisa pulih sekalipun ia yang menginginkannya. Apalagi saat menyaksikan suami yang teramat dicintai mengecup dahi wanita yang beberapa menit lalu resmi menjadi madunya.

Selama ini ialah yang selalu berada di posisi wanita itu. Mendapatkan ribuan kecupan dari si pria setiap harinya kala mereka bersama. Dan kini? Ah, membayangkannya saja tak sanggup. Sungguh tak mampu membayangkan harus berbagi kasih sayang dan juga ranjang dengan wanita lain.

Berlari dan terus berlari tanpa tujuan. Air matanya tak henti mengalir deras. Jika itu sungai mungkin akan terjadi banjir bandang. Memang pernikahan ini ia yang menginginkannya, tetapi tidak terbayang akan sesakit ini.

Ternyata kenyataan jauh lebih menyakitkan dari yang dikhayalkan. Hidup berdampingan bersama adik madu tanpa cemburu. Bersama mengarungi lautan dengan satu kapal dan nahkoda yang sama.

Dari jauh hari ia telah menyiapkan mental untuk hari ini sayangnya tetap tergores perih dan berdarah. Teringat seminggu yang lalu Burhan memohon untuk membatalkan pernikahan yang sama sekali tidak harus terjadi.

"Tidak bisakah dibatalkan saja, dik. Abang tidak bisa, abang tidak bisa melihatmu sakit hati," ujar Burhan memelas berharap Nana merubah keinginan gilanya.

Mereka duduk di balkon menunggu waktu magrib. Ditemani secangkir teh hangat dan nastar buatan Nana sebagai cemilan.

"Tidak Bang, Abang harus menikahi Bella," balas Nana penuh penekanan diikuti tatapan tajam yang kerap membuat Burhan tak mampu membantah lagi

.

"Lupakan Abang yang tidak menyukai Bella. Abang takut kau terluka, Dik," bujuk Burhan mengusap pucuk kepala wanita yang telah mendampinginya hampir sewindu. Jantungnya berdegup sangat kencang.

"Tidak," bentak Nana menepis tangan Burhan yang terus mengusap rambut hitam tebalnya.

"Sayang ... Kamu berani meninggikan suara pada suamimu ini, Dik. Atas ambisi gilamu itu." Burhan sedikit menaikan nada suaranya.

"Aku ingin anak, Bang." Nana menundukan wajahnya netranya menatap lantai. Matanya mulai berembun, tidak pernah mendengar nada suara Burhan meninggi membuat hatinya iba.

"Tapi tidak seperti ini caranya, Dik," ujar Burhan pelan tahu istrinya tengah ketakutan karna bentakannya.

"Tidak ada jalan lain. Aku tidak bisa hamil, Bang. Aku tak memiliki rahim dan sampai kapan pun tak akan pernah ada janin yang tumbuh dalam diri ini." Nana mulai terisak.

"Tapi Abang tidak butuh anak. Kita bisa terus bersama itu sudah cukup, Dik." kedua tangannya mengusap bahu sang istri.

"Aku selalu memimpikan tangis bayi di rumah ini, Bang. Rumah ini terlalu sunyi" Nana berhambur dalam dekapan Burhan tangisnya semakin terdengar.

"Kita adopsi anak saja." Burhan mengusap punggung nana. Ia juga bersedih tetapi, tidak bisa untuk meneteskan air mata.

"Aku mau anak itu dari benihmu. Dia akan jadi anak yang paling beruntung karena memiliki dua orang ibu." Nana mendongakan wajahnya menatap tajam mata elang milik sang suami.

"Kamu wanita, ini sangat tidak mudah. Abang takut menjadi bumerang untuk rumah tangga kita." Burhan mengalihkan pandangan sungguh dia tidak sanggup terlalu lama beradu pandang dengan wanita yang rela menerimanya yang miskin.

Wanita yang mengangkatnya dari kubangan lumpur lalu menjadikannya permata. Burhan tidak lupa siapa dirinya dulu, walau kini bergelimangan harga. Ia tetaplah Burhan yang hanya buruh panen di kebun milik mendiang orang tua Nana.

"Kita sudah membahas hal ini jauh hari. Dan, Abang setuju. Lalu sekarang mengapa berubah pikiran. Lakukan demi cintamu padaku, Bang," tukas Nana berlalu masuk ke kamar melemparkan tubuh langsingnya keranjang.

"Aku laki-laki, Dik. Cepat atau lambat meski tanpa cinta pasti akan terbiasa dengan hadirnya wanita lain diantara kita. Tapi Aku tidak yakin dengan hatimu. Selama ini saja kau selalu cemburu melihat aku dekat dengan wanita lain. Padahal hanya sebatas teman," batin Burhan menggelengkan kepala.

Bagi Burhan permintaan Nana sangat konyol. Saat wanita diluar sana membenci poligami, Nana justru menginginkan.

Setahun terakhir Nana terus menodong untuk menikah lagi, tetapi selalu ditolaknya dengan berbagai alasan, mengulur waktu dan secara halus menghindar. Rasa cinta yang begitu besar sama sekali tidak mempermasalahkan kondisi Nana yang tak memiliki rahim.

Sengaja mendirikan panti asuhan sebagai pelarian saat Nana kesepian. Berharap dengan berada diantara anak panti akan melupakan keinginan memiliki anak. Sayangnya Nana tetaplah Nana, yang keras kepala, setiap kehendaknya harus terwujud.

Berbagai upaya Burhan menggagalkan ambisi Nana sia-sia belaka dan hari ini puncaknya. Keinginan Nana menjadi kenyataan.

Ck, Nana berdecak lalu mengusap kasar wajahnya. Duduk di halte menjadi pilihan karena lelah berlari. Ia tidak dapat lagi menangis meski masih ingin menangis untuk mengurangi beban yang menghimpit.

Jemari lentiknya meraih gawai dalam tas selempang kesayangan. yang dibeli seharga seratus lima puluh ribu. Meski kaya raya ia bukanlah pecinta barang-barang branded.

Baginya sangat tidak bermanfaat, lebih baik uangnya disedekahkan kepada orang yang membutuhkan. Menjadi bermanfaat untuk orang lain adalah kebiasaannya.

Diusapnya layar lima koma lima inci itu yang bagian belakangnya terpampang tulisan yang seperti orang Jawa bertanya. Jam menunjukan pukul setengah dua artinya sudah dua jam meninggalkan tempat itu.

Hatinya bertanya-tanya apakah suaminya menyadari keberadaannya atau justru sibuk dengan Bella sang istri muda. Nana memukul kepala yang berpikir bodoh. Sudah pasti suaminya sangat mengkhawatir terbukti ada puluhan chat dan panggilan dari nomor sang suami.

Dengan menekan tombol off, sementara gawainya dipensiunkan. Masih belum siap untuk berbicara dengan siapapun.

"Aku hanya butuh waktu untuk mengobati luka hati ini dan saat luka ini sembuh dan mengering maka aku akan kembali ke tengah-tengah kalian." Monolognya.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku