Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Istri Yang Tidak Dianggap

Istri Yang Tidak Dianggap

Riana Kristina

5.0
Komentar
842
Penayangan
7
Bab

Siapa yang tidak terluka jika apa yang sudah dikerjakan tidak pernah dihargai? Pernikahan Venus dan Mars awalnya berjalan baik-baik saja, sampai suatu hari wanita dari masa lalu Mars datang ke kehidupan mereka dan merubah semua. Pernikahan mereka diambang kehancuran. Ibu mertua yang memang sejak awal tidak menyukai Venus meminta Mars menikah lagi. Akankah Venus mampu menyelamatkan pernikahannya? Atau dia memilih menyerah dan pergi?

Bab 1 Will You Marry Me

"Will you marry me?"

Suasana menjadi sangat hening. Tatapan semua orang kini tertuju padanya. Mata Venus berbinar, mulutnya terkatup rapat. Ia merasa sangat bahagia, tetapi juga merasa ragu.

Manik Venus berpusat pada pria yang tengah bersimpuh dihadapannya, memegang cincin. Dia, pria tampan yang humble. Dia, pria dengan sorot mata teduh dan senyum hangat. Dia, pria yang telah berjasa mengembalikan kepercayaan diri Venus, menyelamatkannya dari jurang kesengsaraan yang bernama mental illnes dan panick attack. Dia, pria yang berhasil membuatnya jatuh cinta. Ya. Dia, dia, dia. Dialah Mars Leonard Rajendra. Prianya. Pahlawan dalam hidup Venus.

Mars-pria itu-pahlawannya itu, kini tengah bersimpuh menyatakan niat suci dan masih dengan senyum hangat menunggu jawabannya.

Mata Venus berbinar, wajahnya bersinar secerah mentari ketika bibirnya mengucapkan tiga kata yang berhasil membuat si pria hampir berjingkrak bahagia mendengarnya.

"Yes, i do!"

Senyum Mars melebar. Segera laki-laki itu memasangkan cincin di jari manis Venus. Kemudian, bangkit dan memeluk erat gadis di hadapannya, bersamaan dengan tepukan dari seluruh tamu lain yang sedang makan di restoran itu.

"Makasi Ve," gumam Mars di bahu Venus. Suaranya nyaris tidak terdengar karena beradu dengan suara tepukan para tamu.

***

"Selamat ya Venus, kau dan Mars sudah resmi menjadi suami istri sekarang," ucap seorang gadis sambil menyalami Venus.

Selesai akad nikah, sebagian kerabat berkumpul di ruang tengah kediaman keluarga Mars, sedangkan yang lainnya sudah kembali ke rumah masing-masing.

"Terima kasih Kak Tere sudah mau datang." Venus tersenyum tulus pada Teresia, gadis yang dua tahun lebih tua darinya dan merupakan kakak sambungnya.

"Sudah sepantasnya aku datang. Kau adikku sekarang." Tere balas tersenyum pada Venus sebelum beralih melihat Mars yang masih sibuk berbicara dengan beberapa kerabatnya.

"Bisa kita bicara sebentar?" Seketika tatapnya berubah serius pada laki-laki yang telah resmi menjadi suami adiknya. "Ve, aku boleh pinjam Mars sebentar?" Venus melirik Tere lalu melirik Mars yang juga menunggu izinnya.

"Iya, Kak, silahkan." Tersenyum walau sedikit kebingungan melanda hatinya, mengingat Teresia dulunya ....

"Aku tinggal sebentar," pamit Mars setelah mengusap punggung Venus sekilas, lalu mengajak Teresia menuju taman belakang rumah.

"Lagi ngelihatin siapa, Ve?"

Venus masih memerhatikan punggung Mars dan Teresia yang semakin menjauh dari pandangan, sampai tidak menyadari jika seorang wanita paruh baya sudah berdiri di sebelahnya.

"Eh, Ibu," jawabnya gugup. "Itu Bu ... aku tadi ngelihatin Kak Mars sama Kak Tere."

"Memangnya ke mana mereka?"

"Sepertinya ke taman belakang. Ibu kenapa di sini? Kenapa tidak ikut mengobrol di ruang tengah?"

"Mereka lagi membahas bisnis, ibu mana paham. Lagian, ada yang ingin ibu bicarakan denganmu." Merangkul bahu Venus, lalu menuntunnya untuk duduk di salah satu sofa yang ada di ruangan itu.

"Ibu mau bicara apa?"

Ibu menggenggam tangan Venus. "Begini Ve, sekarang kamu sudah resmi menjadi bagian dari keluarga ini. Ibu hanya ingin mengingatkanmu akan kewajiban sebagai istri dan menantu ...."

Di saat Venus fokus mendengarkan wejangan-wejangan dari Ibu, di sisi lain Mars dan Tere terlihat tegang di taman belakang. Percakapan mereka terlihat sangat serius.

"Sampai detik ini Caroline belum mengetahuinya. Aku belum bercerita apa pun padanya, tapi aku tidak tahu sampai kapan bisa menyembunyikan ini dari Olin." Tere menatap Mars, ingin tahu reaksi pria itu. Mars masih bergeming, menatap lurus taman di hadapannya. Tidak ada jawaban apa pun, hanya helaan napas panjang yang keluar berulang kali dari bibir tipisnya.

Tere ikut menatap ke arah taman. "Semalam dia meneleponku, menanyakan kabar tentangmu yang katanya susah dihubungi sebulan ini. Apa kau tidak pernah menjawab telponnya? Kenapa kau tidak jujur saja padanya?"

"Jujur mengenai apa? Aku dan Olin sudah berakhir. Bahkan sebelum aku memulai hubungan dengan Venus. Meskipun sekarang aku menikah dengan Venus, kenapa aku harus melapor padanya? Di antara kami sudah tidak ada hubungan apa-apa. Dia dengan siapa, sudah bukan menjadi urusanku lagi. Begitu juga aku, aku mau menjalin hubungan dengan siapa, itu juga sudah bukan urusannya lagi."

"Itu menurutmu Mars, tapi ...."

"Tapi apa?" Mars menatap Tere dengan mengernyitkan dahinya.

"Dari apa yang Olin ceritakan padaku semalam, tidak seperti itu yang aku tangkap dari hubungan kalian."

"Memangnya dia bicara apa padamu?"

"Menurut Olin, kamu tidak mengakhiri hubungan kalian, kamu hanya kecewa seperti sebelum-sebelumnya. Entah kenapa aku juga merasa seperti itu."

"Merasa bagaimana?" Mars semakin tidak mengerti ke mana arah pembicaraan Tere.

"Apa kamu benar-benar sudah tidak mencintai Olin lagi? Apa iya secepat itu Venus menggeser posisi Olin di hatimu? Kamu dan Olin sudah menjalin hubungan selama lima tahun, apa iya waktu lima tahun itu bisa lenyap begitu aja hanya dalam hitungan tiga bulan?"

"Maksud kamu bicara seperti ini apa, Re? Apa pentingnya buatmu membahas ini lagi? Aku dan Venus sudah resmi menikah dan kau masih membahas Olin." Mars menajamkan mata. "Apa sedikit pun kau tidak bisa memikirkan perasaan Venus jika dia mendengar ini? Biar bagaimanapun dia adikmu sekarang." Nada suaranya meninggi, membuat Tere terperanjat kaget.

Dari ekspresi dan nada bicaranya, Mars terkesan membenci Olin. Namun, kata orang, antara benci dan cinta beda tipis. Mungkinkah Mars masih mencintai Olin? Mungkinkah Mars tidak benci Olin, tapi hanya kecewa? Karena itu dia butuh Venus sebagai tempat melampiaskan kekecewaannya?

Untuk pertama kali Tere melihat Mars emosional seperti ini. Padahal Tere bicara baik-baik dan selembut mungkin, tapi Mars menanggapinya dengan emosi. Membuat Tere bingung dan memunculkan berbagai pertanyaan dalam benaknya.

"Apa yang terjadi antara aku dan Olin tidak ada hubungannya dengan Venus . Aku dan Olin sudah berakhir. Aku yang mengakhirinya. Aku jenuh, aku lelah dengan sikapnya yang hanya memikirkan diri sendiri. Kau tahu sendiri berapa banyak selama ini aku mengalah padanya, tapi dia tidak pernah menganggap pengorbananku itu. Aku selalu menomor satukan dia, tapi aku tidak pernah sekalipun menjadi nomor satu baginya. Jika dia beranggapan lain dari ucapanku padanya, itu salah dia sendiri. Salahnya yang tidak pernah peka pada apa pun."

Mars membuang napas kasar berkali-kali, mencoba meredam emosinya. Entah kenapa dia begitu emosional jika membahas prihal Olin. Tanpa mengatakan apa pun Mars meninggalkan Tere, dia merasa sudah tidak ada yang perlu dibahas lagi apalagi mengenai Olin.

Sementara Tere masih mematung di tempatnya berdiri, menatap kepergian Mars dengan pikiran berkecamuk. Kemudian menggumam sendiri.

"Aku bukannya ingin ikut campur atau tidak memikirkan perasaan Venus dengan membahas Olin. Justru aku sangat memikirkan dia, karena apa? Karena jika kenyataannya kamu masih mencintai Olin dan Venus memang benar hanya pelampisan dari rasa kesepian dan kecewamu, sudah dipastikan Venus adalah orang yang paling terluka nantinya."

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku