Sebagai seorang istri, Dira berusaha untuk mempertahankan rumah tangganya yang sering sekali diterpa oleh badai. Himpitan ekonomi dan malasnya seorang suami untuk mencari kebutuhan tetap, membuat ekonomi mereka terus menurun dan tidak pernah tercukupi. Ketika Karir Dira mulai melejit naik, ia harus dihadapkan dengan banyaknya masalah di dalam keluarganya. Haidar, sebagai suaminya sama sekali tidak memiliki niat untuk bekerja dan membantu ekonomi keluarganya sama sekali. Belum lagi banyaknya hinaan dan celaan dari keluarga Haidar yang membuat pikiran Dira semakin runyam. Dira yang semakin tidak dihargai usahanya pun mulai bimbang dengan apa yang harus ia pilih, antara harus menceraikan suaminya karena sama sekali tidak diberi nafkah, atau memperbaiki hubungan mereka dengan terus bersabar?
"Mas, kamu yakin nggak mau kerja?"
Dira menarik selimutnya dan menutup tubuhnya yang masih tanpa busana sedikitpun. Setiap malam jum'at, Dira tak melupakan kewajibannya sebagai istri untuk memenuhi kebutuhan batin suaminya.
Haidar pun membalikkan badannya ke arah istrinya itu dan mengusap rambut istrinya perlahan.
"Kenapa sih? Uang kamu habis?" tanya Haidar kepada istrinya tersebut.
"Bukan begitu, Mas. Orang tuaku menanyakan kerjaanmu terus, aku harus jawab apa?" tanya Dira yang mulai cemas.
Ia sengaja membicarakan hal sensitif seperti itu pada suaminya karena sudah dua tahun berlalu, namun suaminya sama sekali tidak ingin kerja tetap. Ia hanya terus di rumah, menghabiskan uang, dan bekerja ketika ada yang cocok dengan kemampuannya saja. Yang lainnya, ia sama sekali tidak minat sedikitpun. Hal itu membuat keluarga mereka jadi gunjingan, baik keluarga, saudara, maupun tetangga.
"Bilang aja, aku kerja di rumah dengan gaji yang cukup banyak. Kamu tahu sendiri, kan? Aku tidak pernah bisa melakukan apa-apa selain mendesain gambar? Aku sudah cari banyak lowongan kok, tapi gaji dan pekerjaannya tidak sesuai dengan yang kuharapkan. Lalu, ada pekerjaan yang cocok untukku di sebuah perusahaan, tapi gajinya kecil. Buang-buang tenagaku doang dong!" urai pria itu dengan lembut.
Dira tidak habis pikir, mengapa sejak suaminya dipecat dari perusahaan, ia sama sekali tidak mau bangkit dan mencari pekerjaan lain. Padahal kebutuhan mereka cukup banyak.
"Iya, aku setiap bertemu mereka juga bilang begitu kok. Kamu yakin nggak mau kerja? Sebentar lagi anak ini lahir loh," ujar Dira sembari mengusap perutnya yang semakin membesar dan janin di dalamnya juga mulai menendang-nendang.
"Lalu?"
"Kita butuh biaya untuk lahiran, Mas. Biaya lahiran juga nggak sedikit loh." Dira mengerucutkan bibirnya agar suaminya setidaknya luluh dengannya dan bisa mulai mencari pekerjaan.
"Iya, aku juga usah cari uang kok. Kemarin aku juga digaji lima ratus ribu dari kerjaan freelancerku. Kita bisa menabung sedikit-sedikit, bukan?" Pria itu berpindah turun ke perut Dira dan mengusap perut wanita itu.
Dira sedikit kesal karena bukan jawaban seperti itu yang ia inginkan. Memang, dia bersyukur bisa hidup berkecukupan. Hanya saja, jika begini terus, maka akan banyak lagi himpitan ekonomi dan hujatan yang mereka dapatkan.
Wanita itu merasakan kecupan lembut di perutnya, ia tahu betul jika pria yang ia nikahi ini benar-benar menyayanginya. Perlakuannya kepada Dira juga baik selama menikah, maka dari itu, Dira sama sekali tidak tega jika harus menuntut dengan keras suaminya untuk bekerja. Belaian lembut dari tangan Dira membuat Haidar tersenyum kecil ke arah istrinya.
"Kamu kalau sedang hamil begini, kelihatan seksi deh. Aku suka."
Haidar mencium kening istrinya dan menarik selimut wanita itu, karena sudah larut malam dan ia juga harus bekerja besok, Dira pun memutuskan untuk tidur dan tidak melanjutkan kembali percakapan mereka yang barusan. Percuma juga dan tidak ada hasilnya, karena pada akhirnya, Haidar menolak untuk bekerja.
Pagi harinya, Dira sudah bersiap untuk pergi ke kantor dengan dandanan yang rapi dan sudah siap untuk berangkat. Tiba-tiba, Haidar melingkarkan kedua tangannya di pinggang Dira hingga terlihat di kaca, Haidar tengah memeluk wanita itu dengan gemas dan terlihat manja.
"Kenapa, Mas?" tanya Dira sembari mengusap pipi suaminya yang berada di pundak Dira.
"Kamu cantik, gemoy. Untungnya, kamu milikku." Haidar berucap seperti itu sembari tersenyum kecil dan merasa bahagia memiliki istri yang cantik. Dira memutar tubuhnya, hingga membuat mereka berdua saling berhada-hadapan.
"Mas, boleh kamu pikirkan lagi perkataanku semalam?" tanya Dira sembari memegang kedua pipi suaminya.
"Kenapa, sih? Kamu pingin aku kerja? Kalau aku kerja, siapa yang bakal urus rumah kalau aku nggak ada? Siapa yang bakal siapin kamu sarapan kalau aku kerja? Kamu juga lagi nggak boleh banyak melakukan kerjaan rumah yang berat-berat." Haidar seakan berusaha untuk membuat istrinya mengerti.
"Mas, aku takut aja uang kita kurang kalau kamu nggak kerja. Kontrakan juga udah mulai harus dibayar sebentar lagi." Dira kembali mengerucutkan bibirnya agar suaminya iba.
"Nggak akan kurang, Sayang. Kamu jangan terlalu memikirkan itu." Haidar pun mengusap kepala istrinya dengan lembut. "Oh! Atau begini saja. Beri aku waktu sampai anak kita sudah berumur 3 bulan. Selepas itu, aku akan mencari pekerjaan, bagaimana?" tanya Haidar yang justru menawarkan hal yang cukup tidak masuk akal untuk Dira.
"Kenapa harus nunggu anak ini lahir, Mas? Dua bulan lagi aku cuti loh." Dira semakin cemas.
"Ya itu tadi aku bilang, biar aku yang urus semua pekerjaan rumah, jadi di kantor kamu tinggal bersantai dan sampai rumah juga rumah ini bersih buat ibu hamil seperti kamu. Bagaimana, setuju?" tanya pria itu.
Dira pun hanya berusaha untuk mengambil sisi positif dari apa yang diucapkan oleh suaminya itu. Memang benar, Dira tidak boleh terlalu lelah, bahkan ketika pulang kerja pun, suaminya yang melakukan pekerjaan rumah dan mencuci pakaian untuk Dira. Padahal seharusnya dia yang melakukan itu. Mungkin saja, ucapan suaminya benar, dan dia akan mulai bekerja setelah anaknya lahir.
"Tidak ada salahnya mempercayai perkataan Mas Haidar."
Dira pun pada akhirnya setuju dengan ucapan dan keputusan suaminya itu. Karena sudah hampir terlambat, Dira pun diajak untuk sarapan dan setelah itu langsung pergi ke kantor untuk bekerja.
Ia pergi dengan menggunakan bus, kontrakannya cukup dekat dengan halte bus. Di kampung pun Dira dan Haidar juga terkenal sebagai pasangan suami istri yang sangat ramah. Hanya saja, tidak sedikit gunjingan yang masuk ke telinga Dira ketika ia tengah lewat di hadapan mereka.
"Mbak Dira!" panggil seorang wanita yang berlari di belakang Dira dan berusaha mengejarnya. Dira yang mendengar hal itu langsung menghentikan langkahnya dan melihat ke arah wanita yang memanggilnya.
"Bu Dewi? Ada apa?" tanya Dira sembari melihat ke arah wanita itu.
"Mbak Dira mau berangkat kerja?" tanya Bu Dewi sembari tersenyum.
"Iya, Bu."
"Oh begitu, suami Mbak Dira masih di rumah? Nggak kerja, Mbak?"
Pertanyaan yang hampir setiap minggu didengar oleh Dira, seakan ibu-ibu itu ingin mencari bahan gosip dan begitu bahagia ketika harus menggosip perihal Dira dan suaminya yang merupakan seorang pengangguran. Dira berusaha bersabar dan menjawab dengan senyuman.
"Iya, Bu. Kerjaan suami saya ada di rumah." Dira menjawab sesuai dengan apa yang diminta oleh suaminya.
"Oh begitu. Eh, Mbak. Jangan lupa uang kontrakannya dibayar ya, Mbak. Tinggal dua hari lagi, takutnya mbak lupa," tukas Bu Dewi sembari tertawa kecil.
"Iya, Bu. Saya ingat kok, besok saya bayar, Bu." Dira tersenyum menghadapi ibu pemilik kontrakan itu.
"Ya sudah, saya pergi dulu ya, Mbak. Hati-hati jalannya, lagi hamil!" tutur wanita itu sok perhatian. Padahal, Dira tahu betul jika selain berniat untuk mengingatkan, berniat juga untuk mencari informasi keluarga kecil mereka.
"Ck! Ibu-ibu rempong," umpat Dira dalam hati sembari berjalan menjauh dan menuju ke halte.
Bab 1 Suami Tak Ingin Bekerja
02/11/2022
Bab 2 Pekerjaan Tambahan
02/11/2022
Bab 3 Salah di Mata Mertua
02/11/2022
Bab 4 Penagih Uang Kontrakan
02/11/2022
Bab 5 Digoda Mantan
02/11/2022
Bab 6 Digoda Adik Tiri
27/11/2022
Bab 7 Tubuh yang Menggoda
27/11/2022
Bab 8 Syukuran dan Gunjingan Tetangga
27/11/2022
Bab 9 Perasaan yang Tak Karuan
27/11/2022