Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Istri yang Direndahkan Berubah Cantik

Istri yang Direndahkan Berubah Cantik

Li Na Qansha Anna

5.0
Komentar
5.4K
Penayangan
32
Bab

Hana, menantu yang dipandang rendah karena berasal dari keluarga miskin, tapi diam-diam dia punya pekerjaan dan kemampuan melebihi yang orang perkirakan.

Bab 1 Awal

Hai, teman-teman bertemu di novel keduaku di sini ... semoga teman-teman suka ya dengan cerita HANA ini. Follow dan masukkan perpus kamu biar nggak ketinggalan berita update-nya. Makasihh

🌹🌹

Semarang, Januari 2020

"Seragam Mas untuk nikahan Dewi sudah digosok. Hana simpan di situ kalo Mas nyari."

Perempuan manis menunjuk lemari yang biasa tempat menggantung pakaian. "Kan masih seminggu lagi, biasanya kamu yang ambilkan buat mas. Kok pake dikasih tau, kayak mau ke mana aja."

Radit, suami yang ia tunggu pulang kerja hingga jam sebelas malam ini, menatapnya curiga.

"Kamu kenapa, Sayang?"

Hana menunggu suaminya itu membersihkan diri, setelah berbaring, ia ikut merebah diri menghadap sang suami.

"Kalau nggak diundang Dewi, sementara saya pulang ke rumah Ibu, ya, Mas?"

"Siapa bilang kamu nggak diundang? Dewi itu adik kandung mas. Ini acara keluarga kita juga. Ayolah, Sayang, kenapa kamu sensitif begini? Apa ada masalah lain, hem?"

Hana menggeleng lemah. "Nggak papa, kok. Yasudah, Mas tidur aja."

"Sebentar." Radit menahan bahunya yang mau berbalik membelakangi. "Apa karena Adek belum dikasih seragam keluarga?" tebaknya membuat mata Hana berkaca, tentu itu terbaca oleh suaminya.

Segera tubuh mungilnya ditarik Radit merapat ke dada, memeluk kekasih hatinya itu erat. "Sayang, jangan berpikir negatif, mungkin seragammu belum selesai. Besok mas tanya sama Dewi. Kalau pun tidak ada, mas akan datang pakai baju kompakan sama kamu."

Mematung, Hana terdiam sejenak dalam dekapan suami. Hingga kemudian bicara dengan nada lemas. "Benaran, Mas? Kalau beda pakaian sama Mas Radit, Hana gak mau datang."

"Iya, kalo kamu gak pake seragam mas juga sama. Kita kan masih punya seragam couple yang kamu jahit waktu itu."

"Terima kasih, Mas. Mas sudah membesarkan hati Hana."

"Mas selalu sayang kamu. Jangan menyakiti diri sendiri dengan pikiran buruk, Sayang. Mas mau lihat kamu tersenyum terus."

Hana mengangguk-angguk sambil merapatkan pelukan pada suami. Lelaki ini satu-satunya yang memahami kesederhanaan Hana, yang menerima dirinya menjadi istri meski berasal dari keluarga tak berada.

🌾🌾

Kebetulan sore ini Dewi dan Rani, kakak ipar Radit ke rumah. Lelaki yang tengah libur kerja itu langsung menanyakan seragam Hana.

"Waduuh, maaf, Mas. Kainnya sudah habis dibagi. Kalau nyari yang sama sekarang juga mana sempat."

"Kalau begitu mas juga nggak pakai seragam. Kami punya seragam yang warnanya mirip itu."

"Jangan dong, Mas. Kita kan mau foto-foto, masa Mas Radit pake corak yang beda sama kami?"

"Radit, kalo Hana punya baju sewarna seragam itu ya dia pakai saja. Jangan jadi bikin ribut." Rani ikut bicara.

"Jujur nih ya, biar Mbak Hana gak datang juga gak papa kali. Malu Dewi sama keluarga Bang Tama. Penampilan Mbak Hana itu lho. Norak!"

"Ssst!! Jangan ngomong gitu, Dewi. Hana itu istri mas. Mas tetap terima biarpun penampilannya Hana sederhana."

Adik dan kakak ipar Radit itu sama-sama berdecak, menggeleng kepala. "Bahasa tepatnya kampungan, Radit. Kamu kena pelet dia aja tuh maunya cinta sama yang begitu."

Radit tidak bisa menyalahkan pandangan mereka. Hana Puruhita, istrinya itu memang berpenampilan biasa. Tidak pernah tampak bermerah pipi dan bibir seperti dua perempuan ini, kecuali saat mereka nikah setahun lalu.

Sementara, semua perempuan muda di keluarga Radit yang notabene keluarga pengusaha, dikenal lekat dengan penampilan elegan, barang bermerek, berparfum mahal, juga pakaian jarang dipakai berkali-kali, termasuk penampilan mamanya Radit. Hana yang masuk di antara mereka, dengan penampilan sederhana tentu saja jadi bahan keluhan mereka.

"Sudah ah, malah merembet ke lain. Ada apa tumbenan berdua ke sini?" Radit menyuruh mereka duduk di ruang keluarga.

"Dewi mau minta bantuan Mas Radit." Dewi langsung memasang muka mengiba.

"Apa lagi?"

"Minta duit." Dewi menadahkan tangan. "Buat nambahin Dewi ganti gaun, Mas." Radit langsung melihat ke sekitar, berharap Hana tidak mendengar ini.

"Kenapa diganti lagi?"

"Ada masalah, Mas. Tiba-tiba aja Dewi gak sreg sama gaunnya. Pas kebetulan ada gaun baru datang. Cantik, mewah, ada bling-bling batunya gitu Dewi langsung suka. Pliss, Mas, bantuin. Ini kan acara sekali seumur hidup."

Rengekannya selalu begitu kalau kakak lelakinya itu terlihat akan keberatan memberi bantuan. Padahal sebulan lalu untuk biaya pernikahan Radit sudah bantu 100 juta, itu pun harus menambah bohongnya pada Hana yang dibilang cuma bantu 20 juta.

"Dikit aja, Mas. Harganya 18 juta, Mas Radit cuma bantu sepuluh aja deh."

"Lima juta aja, ya, Dek. Anggap nambahin yang sebelumnya mas kasih."

"Sepuluh, Mas. Uang Dewi masih kurang. Ini tuh sekali seumur hidup Dewi." Mata Dewi yang bergerak-gerak dengan tangan menangkup membuat Radit akhirnya mengiyakan.

Ke ruang kerja, lelaki tampan itu ambil simpanan dalam koper khusus, dengan sandi rahasia membukanya. Uang hasil perusahaan percetakan peninggalan papanya, juga hasil bisnis Radit di bidang retail barang. Demi keluarga ia rela pakai sementara, hasil kerjaan bulan berikut akan menggantinya.

Tentu semua bantuan sebanyak ini tanpa sepengetahuan Hana. Radit takut akan jadi ribut di rumah tangga yang baru dibangunnya. Hana ia cukupkan dengan mendapat jatah harian. Karena dulu, di bulan awal pernikahan, ia sempat percayakan Hana atur keuangan, tapi malah puluhan juta raib entah ke mana.

Dari keluhan penampilan Hana telah bertambah menjadi Hana boroslah, atau Hana kaget jadi orang kaya barulah oleh keluarganya. Radit tak menggubris, menurutnya mungkin Hana terlupa simpan. Hanya saja sejak kejadian itu keuangan diambil alih oleh mamanya dan sebagian ia atur sendiri untuk uang perusahaan.

"Jatah 20 ribu saja sehari untuk Hana itu cukup. Istrimu itu biasa susah. Lagian mau jajan apa dia, semua sudah ada di rumah, ya 'kan?" Begitu saran Miranda--mamanya saat itu. Radit lakukan, tapi dengan menambah 30 ribu jadi genap 50 ribu diberikan tiap hari. Ia kira itu lumayan kalau Hana mau beli apa yang dia mau.

Cepat Radit keluar, sebelum Hana kembali dari rumah sebelah, biasanya kalau ke sana Hana tidak suka ngobrol agak lama, pikirnya.

Puluhan ikat uang sejuta diberikan pada Dewi.

"Radit memang baik, minta buat Naomi jajan juga, ya, Dit. Dia ikut kami pergi, nanti jemput di tempat Mama." Ditodong minta sejuta sama Rani kembali membuat Radit tak berkutik. Merogoh dompet ia memberikan juga untuk iparnya itu.

"Gitu, dong. Rezeki kalau dibagi mah makin melimpah," kata Rani memuji saat uang itu menempel di telapak tangannya.

"Ya sudah kami pulang, Mas."

"Eh, Dewi. Mbak Rani. Sudah lama datangnya? Maaf saya tadi di rumah sebelah." Hana tiba-tiba muncul di depan pintu.

🌾🌾

Bersambung ....

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Li Na Qansha Anna

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku