"Aku khilaf, Dik ...." "Khilaf, tapi sampai sejauh itu, Mas ...?" "Maaf ...." Hanya itu yang terus suamiku ucap. Maaf, maaf, dan khilaf, seolah tak ada kata lain yang sanggup keluar dari mulutnya. Ia tertunduk, pun matanya basah. Lelakiku terisak. Aku tak bisa memahami apa yang ia rasakan sebenarnya. Mas, sadarkah kau sudah torehkan luka teramat dalam, yang sekarang menganga di hati ini. Lupakah saat kau pada anak kampung itu kita jemput, dengan janji akan menyekolahkannya? Menolong mengangkat derajat keluarganya? Apa yang sampai membawamu terjerumus begitu dalam seperti ini? Dosa apa yang kami buat sampai menanggung ujian ini, ya Rabb ...! * Kisah ini diangkat dari kejadian nyata yang sudah dicampur fiksi. Sarat akan hikmah, juga mengingatkan akan hukum tabur tuai dari perbuatan kita. Apa yang ditabur pasti akan dituai hasilnya cepat atau lambat. Selamat membaca.
~Soraya~
"Aku khilaf, Dik ...."
"Khilaf, tapi sampai sejauh itu, Mas ...?"
"Maaf ...."
Hanya itu yang terus suamiku ucap. Maaf, maaf, dan khilaf, seolah tak ada kata lain yang sanggup keluar dari mulutnya. Ia tertunduk, pun matanya basah. Lelakiku terisak. Aku tak bisa memahami apa yang ia rasakan sebenarnya.
Mas, sadarkah kau sudah torehkan luka teramat dalam, yang sekarang menganga di hati ini. Lupakah saat kau pada anak kampung itu kita jemput, dengan janji akan menyekolahkannya? Menolong mengangkat derajat keluarganya? Apa yang sampai membawamu terjerumus begitu dalam seperti ini?
Dosa apa yang kami buat sampai menanggung ujian ini, ya Rabb ...!
Aib suamiku ini, kami berdua bicarakan sambil berbisik di kamar, duduk berhadap-hadapan. Seberapa pun berat, aku tak ingin anak-anak yang begitu menghargai ayahnya turut terpukul sepertiku.
.
.
Tiga tahun lalu ....
"April akan kami jaga, Bu. Tidak usah Ibu khawatir. Kebetulan waktuku juga banyak di rumah, jadi masih bisa mengawasi pergaulannya."
"Saya cuma khawatir, Mbak Aya. April ini biasa di kampung, takutnya kaget trus kebablasan gaul sama anak kota," cemas wanita yang terlihat lebih tua dari usianya itu. Aku paham karena memang anak gadisnya itu berparas cantik alami.
Untuk meyakinkan niat kami membantu masa depan April, suamiku ikut bicara, "Kalau bersama kami, nanti setelah lulus SMA April boleh lanjutkan kuliah, Bu. Nanti akan kita biayai, pendidikannya ambil yang tiga tahun saja, biar setelah itu dia bisa cepat bekerja."
Aku mengangguk, menyetujui perkataan suami, karena ini memang keputusan kami berdua. Sudah niat lama kami ingin membagi rezeki, mencari orang dari keluarga tidak mampu, dan akan membantunya meraih cita-cita, sampai sukses.
"Syukurlah kalau begitu, saya memang berharap dari lima anak, ada satu saja yang bisa sekolah tinggi. Bagaimana kamu, Pril, mau?"
Gadis berlesung pipit itu menunduk. "Terserah Mamak ja, kalau Mamak setuju April mau."
Aku dan suami lega saat kami bisa membawa gadis itu pulang bersama. Tubuhnya mungil, berkulit kuning langsat, rambut gelombang sebahu berwarna kecoklatan. Ia gadis cantik alami, sayang sekali kalau sampai putus sekolah karena ketiadaan biaya. Kami tahu keadaan keluarganya ini dari seorang saudara, gadis yang terpaksa membantu ibunya menyadap karet dan akan putus sekolah di kelas dua SMA.
Berjalannya waktu April lulus dengan prestasi cukup baik. Meski sempat kaget dengan pelajaran di sekolah kota, tak membuatnya ketinggalan jauh. Kegigihannya belajar dan membantuku dalam pekerjaan rumah membuatku jatuh hati. Aku menyayangi April seperti anak sendiri, sebab ia seumuran dengan Almira, si sulung.
Empat anakku semuanya perempuan, dan hubunganku dengan mereka seperti teman.
Saat membeli pakaian untuk yang lain aku juga pasti membelikan untuk April, begitu pun makanan apa yang kami makan ia bebas makan juga.
Sesuai janji kami kemudian menguliahkannya, meski bersamaan dengan Almira juga masuk kuliah, dan Syifa-putri ketigaku--masuk SMP kami tak kesulitan biaya. Usaha toko kayu, dan pabrik bata masih lancar.
Almira ambil jurusan kedokteran di kampus ternama ibukota, tinggal di kos dan akan jauh dari kami. Sedangkan April masuk akademi diploma tiga computer kota ini.
Seminggu aku mengantar dan menemani Almira di Jakarta. Lalu kembali pulang setelah melihat anak itu begitu mandiri dan tampak siap aku lepas sendiri.
Hariku kemudian kembali menjalani rutinitas seperti semula. Sesekali ke pabrik bata, yang berjarak tempuh satu jam naik mobil dari sini.
Aku dan Mas Danang memang saling bantu untuk mempertahankan usaha yang kami rintis dari nol itu. Selama ini kami dikenal kompak dan sama-sama gigih. Namun, kesibukan itu ternyata membuatku ternyata lalai memerhatikan April.
"Sebelum berangkat usahakan sempatin nyuci, Pril."
"Maaf, Tante berapa hari ini saya sibuk, banyak tugas." Ia memang memanggilku tante, dan om untuk Mas Danang.
"Iya tante tahu, tapi paling tidak bangun lebih pagi, habis subuh itu sempatkan rendam cucian trus giling. Pasti sempat, kok," tegurku mengingatkan, karena akhir-akhir ini April terlihat malas-malasan, pulang telat dan sering mengurung diri di kamar.
"Iya, Tan. April mau kerjakan sekarang." Mukanya terlihat kurang suka ditegur. Aku tidak bermaksud memaksanya bekerja, tapi berharap pengertiannya kalau kami di rumah ini memang harus saling membantu.
Tugas April nyuci dan gosok. Dua anakku bersih-bersih rumah sampai halaman. Aku bagian bersih kamar sampai empat kamar mandi, masak juga, cuma kadang bagian itu kami lakukan bersama, sambil menyesuaikan dengan selera masing-masing. Para gadisku memang kulatih mandiri tanpa pembantu.
Begitu pun April, harusnya ia paham kami membantunya meraih ilmu, dan kehadiran juga diharap bisa meringankan pekerjaan rumah.
Setelah ditegur besoknya anak gadis itu melakukan tugasnya dengan baik, tapi hari berikut akan terlihat enggan lagi mengerjakan tugas rumah. Pakaiannya sendiri pun ditumpuk di keranjang cuci, belum lagi gosokan sampai menggunung tiga hari. Aku sengaja membiarkan, sampai ia mengerjakan sendiri tanpa ditegur, akhirnya dikerjakan juga meski wajahnya jadi tanpa senyum.
Sejak dipercayakan bawa motor ke kampus ia makin sering terlambat pulang, pernah sampai malam dan sulit dihubungi. sampai malam dan sulit dihubungi. Aku menegurnya cukup keras saat itu
Kepercayaan awal yang begitu kuat sekejap menguap, saat aku menemukan bekas noda kental dan celana dalam laki-laki tergulung dalam seprei April di keranjang cucian. Celana dalam Mas Danang!
Apa yang kutemukan itu bagai membuka mata ini, membuat jantung terasa diremas-remas. April habis apa? Dan pikiranku menduga-duga hal yang tidak baik telah terjadi.
Kusimpan curiga itu, menunggunya pulang.
"Assalamu'alaikum," salamnya lembut seperti biasa. Kuperhatikan tak ada yang aneh dengan jalan atau raut wajahnya.
Kujawab salam lalu membiarkannya membersihkan diri dulu.
Setelah mencuci kaki, tangan, dan minum, ia akan ke kamar dan aku mengikutinya.
"April, tante mau bicara." Aku menahan pintu kamarnya. Ia terlihat terkejut, terlebih melihat sepreinya juga kubawa masuk.
Ia takut-takut melihatku, lalu duduk di sisi tempat tidur.
Langsung kubuka apa yang mengundang tanya di kepala. "Ini apa, Pril?"
Ia yang tampak sudah gugup sedikit menganga lalu meremas tangan belum menjawab pertanyaanku. Pandangan ia jatuhkan pada lantai di depannya.
"Jawab, Pril. Kamu itu sudah dewasa, kamu pasti tahu apa maksudku menanyakan ini?!"
Airmatanya langsung jatuh, dan apa yang keluar dari bibirnya kemudian membuat ragaku langsung runtuh. April mengakui, ada hubungan terlarang antara ia dan suamiku!
.
.
.
"Maaf, Dik ... maaf ...."
Isakku belum jua reda, masih mendengarkan kata maaf dari Mas Danang. Kejadian ini memukul telak. Menghancurkan semua yang kubangun dalam sekejap mata. Diri bagai gelas kaca yang dilemparkan ke tembok, hancur berkeping-keping.
"Kenapa Mas tidak terus terang kalau memang mau nikah lagi ... mungkin Aya akan lebih ikhlas, persiapkan diri, dan ... tidak akan sesakit ini."
"...." Ia terdiam.
"Aya butuh waktu untuk memikirkan bagaimana ini ke depannya ...." Kuusap sisa air mata, menarik napas panjang, embuskan pelan. Berusaha kuasai diri agar tetap tenang.
Anak-anak begitu menghormati Mas Danang, ia panutan mereka. Apalagi di lingkungan ini suamiku dipercaya memimpin warganya sebagai ketua RW, dan belum lama ia disanjung sukses memimpin pembangunan rumah ibadah besar di daerah ini. Kepandaian Mas Danang melobi dan punya banyak relasi memudahkan segala urusannya.
Aku tak habis pikir, kenapa sebelum berbuat khilaf terbesar ini ia tak berpikir jauh. Nama baiknya sekarang menjadi pertaruhan.
Ya Rabb ... kuatkan aku mengambil keputusan terbaik ....
Bab 1 Pengakuan
23/04/2022
Bab 2 Permintaannya Poligami
23/04/2022
Bab 3 Rencanaku
23/04/2022
Bab 4 Menikahkan Suamiku
24/04/2022
Bab 5 Sudah Berbeda
24/04/2022
Bab 6 Mulai Lelah
24/04/2022
Bab 7 Permintaan
24/04/2022
Bab 8 Perempuan Tanpa Muka
24/04/2022
Bab 9 Denok dan Keputusanku
24/04/2022
Bab 10 Aku Perempuan Istimewa
27/04/2022
Bab 11 Istriku
14/05/2022
Bab 12 Luka Masih Melekat
16/05/2022
Bab 13 Sebuah Kesalahan
17/05/2022
Bab 14 Ancaman Kekanakan
17/05/2022
Bab 15 Sendiri
18/05/2022
Bab 16 Darah Ma Pril!
18/05/2022
Bab 17 Berusahalah Sendiri Biayai Pengobatan Istrimu
18/05/2022
Bab 18 Sebuah Tanggungjawab
20/05/2022
Bab 19 April !
20/05/2022
Bab 20 Mendadak Dilamar
20/05/2022
Bab 21 Deritaku Sekarang
21/05/2022
Bab 22 Noda Dari Tanganku
21/05/2022
Bab 23 Dunia yang Kejam
23/05/2022
Bab 24 Di Tempat Baru
23/05/2022
Bab 25 Kesempatan Kedua
24/05/2022
Bab 26 Dihantui Kesalahan Lalu
26/05/2022
Bab 27 Hidup Dalam Ketakutan
26/05/2022
Bab 28 Ayah
26/05/2022
Bab 29 Salah Paham
26/05/2022
Bab 30 Denokku
26/05/2022
Bab 31 Tentang Kami
27/05/2022
Bab 32 Ditawan
27/05/2022
Bab 33 Melarikan Diri
28/05/2022
Bab 34 Ditolong Keluarga Baik
28/05/2022
Bab 35 Aku dan Mereka
28/05/2022
Bab 36 Pulang
29/05/2022
Bab 37 Minta Mati
29/05/2022
Bab 38 Calon Orang Tua
29/05/2022
Bab 39 Mama
30/05/2022
Bab 40 Aneka Rasa Kehidupan
30/05/2022
Buku lain oleh Li Na Qansha Anna
Selebihnya