Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Kasih Sayang Terselubung: Istri Sang CEO Adalah Aku
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Dikejar Oleh Sang Miliarder
Mantanku yang Berhati Dingin Menuntut Pernikahan
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Jangan Main-Main Dengan Dia
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Lagi-lagi aku harus mendengar suara pertengkaran ayah dan ibu yang lagi-lagi ribut soal pendapatan ayah sebagai tukang ojek. Ingin rasanya aku marah kepada mereka berdua, tapi aku sadar kalau itu hanya akan membuat suasana semakin memanas. Akhirnya, lagi-lagi aku hanya memilih untuk diam.
Pagi harinya aku di tegur oleh ayah gara-gara ada surat panggilan dari sekolah. Ku akui, sudah seminggu ini aku bolos sekolah dan memilih diam di rumah sahabatku hanya untuk mencari ketenangan. Uang SPP juga sudah hampir tiga bulan aku menunggak, karena ayah belum sanggup untuk membayar.
"Ini pasti karena Ayah belum bisa membayar uang SPP kamu, Ra." Wajah Ayah terlihat sedih ketika mengatakan itu.
Aku hanya terdiam. Ku rasa bukan hanya itu saja penyebab orangtuaku di panggil.
"Ibu akan mencari pekerjaan supaya bisa membantu keuangan keluarga kita," ucap Ibu.
"Ini tanggung jawab Ayah. Ibu diam di rumah saja, tidak perlu repot-repot mencari pekerjaan," cegah Ayah.
"Ibu sudah tidak mau di atur-atur lagi. Kebutuhan keluarga kita itu sangatlah banyak. Apa yang bisa Ibu harapkan dari suami yang hanya seorang ojek pengkolan seperti Ayah?! Tidak ada," decak Ibu yang terlihat begitu berani mengatakan itu.
"Berani sekali kamu bicara seperti itu padaku?!" Ayah menyentak ibu sehingga membuatku sangat terkejut, "memangnya kamu pikir, selama ini siapa yang sudah memberimu makan selama belasan tahun?! Itu aku!" bentak Ayah seraya menunjuk pada diri sendiri dengan sorot mata yang begitu menakutkan.
Aku sudah tidak tahan lagi. ku ambil gelas di meja lalu ku lemparkan ke lantai hingga pecah menjadi beberapa kepingan.
"Cukup! Tidak bisakah sehari saja rumah ini tenang tanpa adanya keributan?! Aku muak! Aku capek!" teriakku seraya menatap ayah dan ibu secara bergantian.
"Jangan salahkan Ibu, Dara. Semua ini tidak akan terjadi, andai saja ayahmu mau lebih keras lagi berusaha mencari uang untuk mencukupi kebutuhan kita," ucap Ibu seraya menatap sinis pada Ayah.
"Bukan aku yang tidak bisa mencari uang, tapi kamu yang tidak pernah bersyukur," decit Ayah yang lagi-lagi menunjuk tepat di wajah ibu.
"Bagaimana aku mau bersyukur, orang uang yang tiap kamu berikan tidak pernah mencukupi kebutuhan keluarga kita. Seharusnya kamu sadar diri, bukannya malah terus-menerus melarang ku untuk mencari nafkah," sarkas Ibu.
Ku ambil satu lagi gelas yang ada di meja kemudian ku lempar lebih keras sehingga membuat kepingannya berceceran hingga nyaris mengenai kakiku sendiri.
"Dara! Apa-apaan kamu ini?!" sentak Ibu, "apa kamu tidak tahu, betapa susah payahnya bagi Ibu bisa membeli perabotan-perabotan ini?!" lanjutnya.
"Kalian bertengkar saja terus, kalau perlu bawa golok sekalian biar kalian puas!" kata-kata itu secara spontan keluar dari mulutku saking emosinya melihat kedua orangtuaku yang tak pernah terlihat rukun. Setelah itu aku memilih pergi demi kesehatan mentalku.
"Lihat, itu gara-gara kamu!"
"Justru ini kesalahanmu yang tidak pernah becus menjadi seorang suami!"
Bahkan saat aku keluar rumah pun suara pertengkaran ayah dan ibu masih terdengar jelas. Entah sampai kapan mereka akan bertengkar seperti itu, karena mereka tidak pernah puas dan sama-sama tidak ada yang mau mengalah.
Aku berjalan menuju rumah Mia, sahabatku. Dia adalah satu-satunya orang yang selama ini paling mengerti dengan keadaanku, dia juga kerap kali membantuku jika aku meminta tolong kepadanya.
Ku pelankan langkah kaki ini saat melihat motor matic pacarku terparkir di halaman rumah Mia. Entah kenapa hari ini aku begitu penasaran, apa yang di lakukan Erwin di rumah Mia. Aku berjalan dengan mengendap-endap seraya mengintip dari jendela kedalam ruang tengah. Aku terkejut saat melihat Erwin merangkul mesra pundak Mia, dan samar-samar ku dengar Mia sedang mengeluhkan sikapku yang kerap kali meminta bantuannya. Hatiku benar-benar hancur melihat dua orang yang ku percaya ternyata diam-diam menusukku dari belakang. Aku tidak bisa berkata-kata, aku pun memutuskan untuk pergi dari rumah Mia, membiarkan para penghianat itu berbahagia diatas penderitaan ku saat ini.
Keesokan harinya...
Aku pergi ke sekolah seperti biasanya. Erwin menghampiriku seraya tersenyum, ku balas senyumannya. Aku ingin melihat, sejauh mana dia ingin bermain dengan perasaanku, dan akan ku buktikan kalau laki-laki sepertinya tidak layak mendapatkan ketulusan cinta dari wanita manapun.