Sean Devon, sang pewaris kekayaan keluarga besar Devon. Harus tersingkir oleh sang ibu tiri dan juga sekretaris sang ayah. Scandal percintaan antara nyonya besar Devon dan sang sekretaris, membuahkan seorang putra bernama Delano. Mengakui anak itu sebagai putra satu-satunya keluarga Devon. Berbagai trik dan intrik rencana jahat mereka rancang untuk menyingkirkan keberadaan Sean. Putra sah sang tuan besar Devon dengan seorang wanita lain. Akankah Sean bisa merebut haknya sebagai sang tuan muda? Ataukah Delano yang akan memenangkan tahta kekayaan keluarga Devon?
Pagi ini seorang pria tampan tengah dihadapkan sebuah takdir kehidupan. Melepas masa lajang demi mengikuti peraturan yang dicetuskan oleh orang tuanya.
"Fulton, sudah waktunya kamu mempunyai pendamping hidup." ucap sosok pria yang lebih tua, diketahui sebagai ayah dari pria bernama Fulton tersebut.
"Pa, aku belum ingin menikah."
"Kamu sudah berumur 30 tahun, mau sampai kapan kamu tidak ingin menikah? Apa kamu ingin Papamu ini meninggal, sebelum melihat kamu menikah?!" emosi sang ayah.
Fulton tak dapat mengelakkan permintaan sang ayah, terpaksa ia menyetujui apa yang beliau inginkan.
"Dengan siapa, Papa akan menjodohkan ku?" lirih Fulton.
"Putri dari kolega bisnis Papa. Papa sangat yakin, kamu pasti akan menyukainya. Dia cantik, pintar, dari kalangan keluarga kaya."
'Namun aku tidak butuh semua itu, Pa.' bisik hati Fulton.
"Siapa? Apa ku pernah melihatnya?" tanyanya lagi.
Sang ayah tersenyum dan menepuk pundak sang putra. "Belum, dia baru pulang dari Amerika."
Beberapa hari kemudian, rencana pernikahan Fulton dengan sosok gadis yang bernama Delania itu terencana. Semua setuju akan pernikahan mereka berdua.
***
"Kamu sungguh-sungguh akan menikah dengan lelaki itu?" tanya seorang pria pada seorang gadis di pangkuannya.
"Aku tidak bisa menolak permintaan papa." sedihnya.
"Lalu bagaimana dengan diriku?" tanya sang pria kemudian.
"Aku tidak ingin berpisah denganmu, aku ingin kamu tetap ada di sisiku."
Yah! Pria itu bernama Daniel, sedang wanita yang ia klaim sebagai kekasihnya itu adalah Delania. Mereka sepasang kekasih, menjalin hubungan sudah cukup lama. Namun sayang, hubungan mereka ditentang oleh keluarga sang wanita. Lantaran pria itu tak cukup mengimbangi kekayaan sang wanita. Hingga pada akhirnya sang wanita-Delania harus dijodohkan dengan pria lain.
"Apa yang bisa aku lakukan?" tanya sang pria.
"Kamu bisa menjadi bagian dari keluarga ku nanti." Wanita itu berseringai.
"Maksudmu?"
"Kamu akan mengetahuinya nanti." Mengecup singkat bibir sang kekasih.
***
Satu Minggu setelah perencanaan, akhirnya pernikahan Fulton dan Delania terlaksana. Acara berjalan lancar tanpa adanya gangguan sedikitpun.
Mereka tinggal satu atap, namun terasa bagaikan ada benteng pembatas. Fulton tak pernah menyentuh istrinya. Begitupun dengan Delania, yang enggak untuk bersentuhan dengan suaminya.
Delania muak, ia merindukan sang kekasih. Hingga pada akhirnya ia memutuskan untuk merancang rencana jahat. Memfitnah sekretaris Fulton agar sosok sekretaris itu dipecat.
Tak butuh waktu lama, sekretaris Fulton resign. Kesempatan bagi Delania untuk memasukkan kekasihnya.
"Fulton, apa kamu sedang membutuhkan seorang sekretaris?" tanya sang istri.
"Iya. Tapi aku tidak bisa mempercayai orang begitu saja."
"Aku punya teman, dia sudah berpengalaman dalam hal ini. Jika kamu berkenan, aku akan menghubunginya." tawar Delania.
Fulton sedikit menimang perkataan istrinya. "Boleh, suruh dia datang kemari. Aku akan mengetes kinerjanya, jika dia masuk dalam porsi yang aku inginkan, aku akan menerimanya."
Delania tertawa dalam hati, berlahan rencananya berjalan lancar. Ia sangat yakin jika Daniel tak akan mengecewakan Fulton. Kinerja pria itu tak dapat di ragukan.
Beberapa hari setelahnya, Daniel sampai di kediaman Fulton. Mereka melakukan percakapan interview seputar pekerjaan. Alhasil, Fulton sangat menyukai cara kerja Daniel. Pria itu sudah memiliki pengalaman yang terbilang sangat luas. Tanpa ada keraguan, Fulton menjadikan Daniel sebagai sekretaris pribadinya.
Delania sangat merasa bahagia, akhirnya ia bisa bersama lagi dengan kekasihnya.
Malam ini, Fulton terlihat tengah mengemasi pakaiannya ke dalam koper.
"Kamu mau kemana?" tanya sang istri, sekedar basa-basi. Walau dalam hatinya ia berteriak girang. Pasalnya, jika Fulton pergi, artinya ia bisa bersenang-senang dengan Daniel.
"Aku akan pergi untuk beberapa bulan ke depan. Ada hal yang perlu aku urus, aku harus turun tangan dalam bisnis ini."
Delania pura-pura sedih, dalam hati ingin pria itu cepat-cepat pergi dari rumah ini.
"Aku akan sendirian."
"Aku akan menyuruh Daniel untuk menjagamu." Entah karena keberuntungan atau apa, nasip Delania benar-benar mujur. Karena inilah yang dia inginkan.
"Baiklah, jangan lupa hubungin aku jika kamu sudah sampai."
"Hn." Hanya gumaman yang menjadi jawaban Fulton, selanjutnya ia bergegas pergi.
Selang beberapa waktu kemudian. Daniel datang ke kediaman Devon. Kedatangan pria tersebut langsung mendapatkan sambutan hangat dari sang wanita.
"Sayang, aku sangat merindukanmu." manja sosok wanita itu.
"Aku lebih merindukanmu." sahut sang pria, membalas pelukan sang kekasih.
Berkahir mereka menghabiskan waktu berdua, tanpa ada gangguan dari siapapun, terutama Fulton. Karena memang dia yang menyuruh Daniel untuk datang ke kediamannya, menemani sang istri. Tak peduli apa yang terjadi, karena memang Fulton tak ada perasaan sama sekali dengan Delania.
Sesampainya Fulton di sebuah villa pribadinya. Tepatnya di sebuah puncak, sepi dari hiruk pikuk kehidupan perkotaan. Sejujurnya dia hanya ingin menenangkan diri, menikmati indahnya suasana pedesaan yang begitu tenang. Menatap hamparan luas perkebunan kopi dan teh miliknya.
"Apa Tuan butuh sesuatu?" Sosok wanita paruh baya datang, diketahui tersebut adalah pelayanan setia villa tersebut.
"Tidak, Bi. Terimakasih. Aku hanya ingin menikmati suasana menenangkan di sini."
Fulton tersenyum, menatap jauh dari atas balkon ruang kamarnya.
"Baiklah, jika Tuan membutuhkan sesuatu, Tuan bisa memanggilku. Atau memanggil paman Amer."
"Hn," Fulton bergumam.
Sekian lama Fulton menikmati hamparan perkebunan di sana, tanpa sengaja kedua tatap matanya tertuju pada sosok wanita yang terlihat tengah bercanda bersama wanita lain, memetik daun teh di sana.
"Siapa dia?" gumamnya, tanpa terasa kedua sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah senyuman. Rasa ketertarikan tak sampai di situ. Bahkan kini kedua kakinya juga ikut terseret untuk lebih mendekat dengan sosok wanita di sana.
Semua atensi mata tertuju pada sosok pria gagah yang berlahan mendekat ke arah para buruh pemetik teh di sana.
"Selamat pagi, Tuan." sapa mereka, seraya menghentikan aktivitasnya, menunduk sopan.
"Selamat pagi." sahut Fulton dengan nada datarnya, tatapan kedua bola mata hazel itu tak lekat dari sosok gadis cantik di jajaran para pemetik teh itu.
"Kamu." tunjuk Fulton pada sosok gadis itu. Semua terkesiap menatap ke arah gadis tersebut. Berpikir, ada apa dengannya? Dia gadis yang baik, apa gadis itu melakukan kesalahan?.
"Saya?" lirih gadis itu, menunjuk dirinya sendiri.
"Iya. Siapa namamu?" ucapan pria itu terlampau dingin, membuat siapa saja bergidik ngeri.
"Saya, Erlena. Tuan."
"Ikut denganku!" perintahnya, meninggalkan tempat tersebut.
Erlena sudah keringat dingin, ia tak tau apa yang terjadi. Seingatnya, ia tak pernah melakukan kesalahan apapun. Lalu, kenapa sang bos memanggilnya?
"Aku tidak melakukan apa-apa." Erlena berusaha meyakinkan semua temannya.
"Iya, kami percaya padamu. Kami hanya bisa berdoa, semoga semua baik-baik saja. Cepatlah pergi, sebelum tuan marah."
Erlena dengan ragu mengikuti arah pria itu pergi.
Sesampainya di dalam villa.
Erlena bingung, ia tak tahu ada masalah apa, hingga sang tuan memanggil dirinya seperti ini.
"Tuan, apa saya melakukan kesalahan?" tanya Erlena pada akhirnya.
"Tidak." Satu kata yang membuat gadis itu semakin kebingungan. Jika dia tidak melakukan kesalahan, lalu untuk apa dirinya dipanggil?.
Erlena takut untuk bertanya lagi, pria itu tadi memanggil dirinya. Setelah ia sampai di tempat ini, pria itu justru asik memainkan ponselnya. Untuk apa Erlena berada di tempat ini sebenarnya?.
"Tu-Tuan."
"Iya."
Astaga!! Kenapa pria ini sangat irit bicara? Sebenernya apa mau pria ini? Geram batin Erlena.
"Jika tidak ada yang Tuan butuhkan, saya pamit undur diri."
"Siapa yang mengijinkan mu pergi?"
Ini adalah kalimat terpanjang yang Erlena dengar dari bibir pria tersebut.
Erlena berdiri gusar, takut untuk bertanya lagi. Ia bingung harus melakukan apa.
"Bi!" panggil Fulton pada sosok pelayan paruh baya di sana.
"Iya, Tuan."
"Bersihkan dia, pesankan dia baju yang layak!"
"Baik Tuan." Wanita itu menggiring Erlena yang nampak kebingungan.
Sedang Fulton hanya santai tanpa merasa risau sedikitpun.
Sesampainya Erlena di sebuah ruang kamar.
"Bi, sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa tuan Fulton memintaku untuk hal aneh ini?" Erlena was-was, pemikiran negatif mulai menggerayangi otaknya.
Sosok wanita itu tersenyum. "Tuan sangat baik, dia tidak akan berbuat aneh-aneh kepadamu. Jadi, kamu hanya perlu tenang, dan turuti apa maunya."
Terpaksa Erlena menurut, mencoba berpikir positif.
Selesai membersihkan diri, Erlena juga sedikit memakai riasan tipis agar terlihat lebih segar. Dengan balutan dres warna merah, semakin membuat gadis itu terlihat bercahaya.
Fulton tertegun, tatapan matanya tak luput dari sosok gadis cantik di hadapannya. Gadis ini benar-benar sangat cantik. Fulton merasakan hal aneh semenjak bertemu dengannya.
Namun cepat-cepat pria itu menetralkan ekspresinya lagi.
"Kemarilah."
Erlena mengangguk dan berjalan menuju ke samping pria itu, mendudukkan tubuhnya di bawah sofa tempat Fulton terduduk. Fulton menautkan kedua alisnya, merasa heran dengan sifat polos gadis di sampingnya ini.
"Siapa yang menyuruhmu duduk di bawah?"
"Ta-tapi, Tuan."
"Duduk di sampingku." pintanya.
Erlena mengigit bibir bawahnya, ia malu sekaligus merasa tidak sopan jika harus duduk di samping sang tuan.
"Kenapa hanya diam? Cepat duduk di sampingku."
Erlena mengangguk dan mendudukkan tubuhnya sedikit jauh dari tempat duduk sang pria.
Fulton melirik sekilas ke arah gadis di sampingnya. Jujur, Fulton baru pertama kali ini menemukan sosok wanita paling aneh seperti Erlena.
"Mendekatlah!"
Erlena menggeleng brutal. Tidak, ia tidak boleh melakukan hal lebih.
"Kenapa? Apa kamu takut padaku?"
Lagi-lagi Erlena hanya bisa menggelengkan kepalanya.
"Lalu?"
"Saya hanya merasa tidak sopan, Tuan."
"Aku yang meminta."
"Tapi Tuan."
"Kamu berani membantah perintahku?"
Erlena menggeleng lagi, bukan ini yang ia maksud.
"Jika begitu, mendekatlah!"
Erlena meringsut mendekat ke samping pria itu. Tak berani menatap sosok pria tersebut.
"Kamu tinggal di mana?"
"Di dekat perkebunan ini, Tuan."
"Dengan siapa?"
"Sendiri, Tuan."
"Sudah menikah?"
"Belum, Tuan."
Astaga! Sebenarnya apa mau pria ini? Kenapa ia di introgasi macam penjahat saja?.
"Tinggallah di sini."
Erlena terkesiap. "A-apa?!"
Fulton menatap dingin ke arah gadis di sampingnya. "Apa ucapanku kurang jelas?"
"Ta-tapi, apa kata orang nanti, Tuan?"
"Kamu akan bekerja denganku, tidak lagi memetik teh."
Hah? Apakah Erlena tengah bermimpi? Bagaimana bisa pria ini mempercayai dirinya untuk bekerja di tempat sebesar ini? Sungguh, Erlena tak pernah membayangkan jika hal itu akan terjadi. Ini bagaikan mimpi yang begitu indah bagi Erlena. Dia tak lagi kerja panas-panasan, hanya tinggal menjadi pelayan di villa ini.
"Tapi ...."
"Kamu berani menolak?"
Erlena menggeleng brutal. Astaga, ternyata bosnya ini selain dingin juga tak suka ada bantahan. Namun ia tahu, sejujurnya pria ini sangatlah baik hati.