Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
"Cinta tanpa nafsu itu omong kosong! Jangan dekat-dekat sama gue. Gue sang*an," katanya terus terang dan frontal. Baru kali ini aku bertemu dengan laki-laki yang begitu terus terang. Sedikit kaget, tapi sudut bibirku terangkat sedikit.
"Lo balik deh, otak gue traveling," katanya mengambil kotak makanan dari tanganku dan menutup pintu rumahnya. Aku sama sekali tidak diberi basa-basi untuk dipersilahkan masuk dan ditawari minum.
Aku kembali ke rumahku yang berada tepat di sebelah rumahnya. Sebelum meninggal rumahnya. Dari sudut mataku aku bisa melihat dia mengintip dibalik pintu.
Sungguh tidak disangka laki-laki yang sering dibanggakan dan dibandingkan mama denganku. Punya sisi yang unik seperti ini.
Keterus terangannya sungguh membuatku terkejut. Apalagi aku tidak terlalu mengenalnya secara pribadi. Hanya mendengar mama yang menggambarkan begitu sempurna.
"Gimana udah diantar?" tanya mama saat aku baru saja masuk dan menutup pintu rumah.
"Udah. Cuman Serafin aja yang ada di rumah kayaknya," kataku menjelaskan sebelum ditanya macam-macam.
"Gimana? Kamu lihat sendiri kan. Anak tetangga kita, udah ganteng, pinter, baik dan sopan lagi," kata mama bersemangat.
"Minusnya sang*an Ma," kataku dalam hati. Kalau ku utarakan bisa diceramahi habis-habisan.
"Iya terserah Mama aja lah," kataku lalu pergi ke kamar dilantai atas. Aku duduk di balkon kamarku dan pemandangannya menuju balkon kamar Serafin. Jendela kamarnya terbuka dan dia duduk di atas jendela. Sambil menikmati makanan yang kuberikan tadi.
Dia melambaikan padaku tanpa malu-malu. Melempar senyum manis dengan sudut bibir terdapat sisa pasta yang kuberikan.
Sungguh aneh kalau jauh seperti ini dia sering menggodaku. Kalau berhadapan dia sangat menjaga jarak. Tidak jarang dia langsung pergi kalau melihatku mendekat.
"Enak," katanya menunjukan tempat pasta yang sudah habis. Sungguh kejutan badan atletis itu menghabiskan satu tupperware berukuran besar sendirian.
"Sering-seringlah masakin gue ya," katanya lagi. Aku menunjukan jari tengah ku padanya. Kalau jauh dia bisa seperti ini. Kalau dekat dia menganggapku seperti kuman, harus dihindari.
Makan malam kali ini terasa lebih serius dari sebelumnya. Papa tiriku sedari tadi melirik ku terus menerus. Seakan ada hal penting yang dibicarakannya, tapi menahan diri.
"Kenapa?" tanyaku saat melihat mama gelisah. Aku memang tidak dekat dengan mama, aku tinggal dengan almarhum papa sejak kecil.
"Anu, Mama mau bilang. Papa aja lah, Mama takut salah," kata mama menyenggol lengan papa tiriku.
"Papa juga gak tau harus ngomong apa," kata papa tiriku melihat kearah mama dan saling saling menyenggol.
"Ngomong aja," kataku santai sambil terus menyuap nasi ke mulut.
"Itu, sebelumnya Om minta maaf. Om tau, om tidak berhak untuk hal ini. Serafin, melamar kamu pada Om," kata papa tiriku sambil mengambil segelas air dan meminumnya dengan susah payah. Seakan-akan di dalam air itu ada kandungan sianida.
"Mau gimana lagi, mau gak mau, Om yang jadi wali aku sekarang. Papa udah gak ada," kataku pelan. Papa anak tunggal tidak punya saudara kandung. Papa cuman punya satu satu saudara yang merupakan anak angkat. Masih hitungan saudara, karena dia adalah anak dari adik nenek yang perempuan.
Tetap saja tidak bisa menjadi waliku. Sekarang aku tinggal dengan mama dan om Rendi. Mau tidak mau om Rendilah yang menjadi waliku.
Hubungan kami masih terbilang canggung. Aku yang tiba-tiba masuk kedalam keluarga mereka. Tinggal dan menetap disini. Sebenarnya aku punya alasan, kenapa aku tinggal disini. Tanteku sedang memperebutkan harta peninggalan papa denganku.
Om Rendi menyarankan aku untuk tinggal disini. Sementara dia mengurus semuanya. Dia bilang harta peninggalan papa, adalah hakku. Tidak ada yang boleh menggusiknya, karena itu om Rendi menyiapkan pengacara terbaik di firma hukumnya untuk mempertahankan harta warisanku.
"Jadi, Om jawab apa pada Serafin?"
"Om belum jawab. Om serahkan keputusan ditangan kamu."