Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Sebuah tamparan keras dari tangan seorang ayah mendarat di sisi wajahku. Membuat pipi ini panas, rambut berantakan, dan penglihatanku gelap rasanya. Aku menundukkan kepala karena bulir bening mulai menetes sampai suara isakanku mungkin terdengar oleh Abah. Aku takut akan kemarahan Abah, belum lagi emosi Bang Umar yang kadang bisa melebihi Abah saat kemarahannya memuncak.
“Testpack siapa ini?!”
Aku bergeming saat ditanya Abah.
“Jawab, Rimar! Dengan siapa kamu melakukannya?!” Abah mengguncangkan bahuku, tetapi aku hanya menggeleng karena aku benar-benar tidak tahu siapa dia.
“Mana ada orang hamil tidak tahu bapaknya! Memangnya kamu tidur dengan banyak lelaki?” pekik Ayah.
“Ri-rimar, ti-tidak tahu, Bah. Rimar … benar-benar tidak tahu. Rima juga bukan anak seperti itu, Bah. Tolong percaya sama Rimar ....“ Jawabanku tergagap.
Aku benar-benar tidak mengenal orang yang sudah merenggut keperawananku dan yang kutahu hanya satu: dia tampan tetapi menjijikkan.
“Minggat kamu dari rumah! Dan jangan pulang sampai kamu ketemu siapa bapak dari anak dalam kandunganmu! Abah tidak sudi keluarga kita jadi aib!”
“Ampun, Bah. Jangan usir Rimar. Rimar mau tinggal di mana?” Aku berlutut memegangi kaki Abah yang tertutup sarung, memohon agar Abah masih berbaik hati.
Abah melepas kakinya dari genggamanku, lalu melangkah ke kamar mandi. Aku pun tersungkur tak berdaya di lantai. Detik berikutnya, aku melihat kaki Abah lagi di hadapanku. Apakah Abah mengubah niatnya untuk tidak jadi mengusirku?
Lantas, seember air ditumpahkan tepat di atas kepalaku. Sudah tak bisa dibedakan lagi mana air mata dan mana air yang ditumpahkan. Setelah air habis, dilemparkannya ember itu ke kamar mandi, lalu Abah berjalan menarik paksa lenganku ke luar rumah dan menyungkurkanku ke lantai. Pintu dibantingnya sampai terdengar suara keras dan setelah itu terdengar suara pintu dikunci.
Aku menangis sesenggukan di teras rumah. Beberapa orang yang lewat memandangiku terheran-heran dalam kedinginan dengan rambut dan baju yang basah kuyup.
***
Aku Rimar, nama panjangku Marimar. Entah kenapa Almarhum Umi dulu memberiku nama itu.
Katanya supaya aku secantik artis favoritnya, tetapi kenyataannya nihil. Tak ada sedikit pun serbuk kecantikannya menurun padaku. Tentu saja, itu karena aku anak Umi dan Abah, bukan anak Gustavo, hah!
Aku bungsu dari tiga bersaudara. Umi sudah meninggal dua tahun lalu karena kecelakaan. Lalu, hidupku tiba-tiba berubah karena seorang lelaki yang tidak kukenal sama sekali.
Awal kejadian, saat itu aku sedang mendapat giliran sif dua sebagai housekeeper. Waktu aku sedang merapikan kamar untuk tamu yang akan menginap, tiba-tiba pintu kamar terkunci. Kukira itu teman yang tadinya sedang membantu karena memang dia izin keluar untuk merapikan kamar lain.
Aku hampir selesai memasang sprei, tapi tiba-tiba aku terkesiap saat ada yang memelukku dari belakang. Tidak mungkin itu Nita yang memelukku karena tubuhnya tinggi, besar, dan berisi.
“Ayo, Sayang. Kita buat anak yang banyak.”
Degh!
Anak? pikirku.
“Tu-tunggu!” Aku melepas tangan yang sedang memelukku dan coba menjauh darinya.
“Mau ke mana?! Sini kamu!”