Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Hari ini matahari tampak malu-malu untuk memancarkan sinarnya. Lumayan mendung. Semendung hatiku yang kemarin baru saja habis putus sama pacar. Eh ralat, maksudnya mantan pacar. Ketika kesetiaan telah terkhianati, ya jalan satu-satunya adalah putus. Putus dari orang yang udah dua tahun ini menjadi pacarku. Menghiasi hari-hariku yang yah ... itu-itu saja. Menemaniku kemana pun aku pergi.
Kupikir dia laki-laki yang setia, tapi nyatanya sama saja dengan yang lainnya. Suka mengatakan cinta pada pasangannya hampir di setiap harinya, namun gemar juga melirik wanita yang berbeda, menebarkan pesona seakan-akan dia adalah lelaki paling sempurna.
Cih! Harusnya dulu aku tak termakan bujuk rayunya. Padahal jelas-jelas dia adalah mahasiswa jurusan sastra yang sudah pasti pandai berkata-kata. Bodohnya diriku yang waktu itu dibutakan oleh cinta. Andai saja aku dulu tak tertarik akan pesonanya, tak akan aku menjatuhkan hatiku untuknya. Dengan begitu pasti tidak akan ada sejarah kalau aku pernah menjalin hubungan dengannya. Dan sudah pasti dari kemarin sampai hari ini aku tak harus melewati fase patah hati.
Sebenarnya aku tak begitu patah hati dengan keputusanku untuk mengakhiri hubungan dengannya setelah tahu bahwa ia berselingkuh. Tapi, yang namanya pernah bersama pasti ada lah sedikit saja rasa sedih di hati. Meski dari kemarin setelah putus, aku tak sedikit pun meneteskan air mata. Bingung? Ya ... aku juga. Bingung pada diriku sendiri, di satu sisi aku mengakui bahwa ada namanya di hati, tapi di sisi lain aku tak bisa menangisi. Ah sudahlah nggak perlu lagi diperinci lagi isi hati ini.
Dari pada terus-terusan memikirkan mantan yang sama sekali unfaedah, lebih baik baca novel yang kemarin kubeli di salah satu toko buku favoritku. Setelah tragedi putus hubungan, aku langsung pergi ke toko buku. Nggak ada drama air mata yang mengalir di pipi selama perjalanan dari TKP pemutusan mantan menuju toko buku. Jangan dikira aku ini cengeng yah. Big No untuk menangisi hal seremeh itu.
Sambil rebahan, aku mulai membuka novel, membaca dari halaman ke halaman. Kebetulan ini hari Minggu, jadi sangatlah tepat waktunya untuk bermalas-malasan. Apalagi cuaca yang mendung ini, sangatlah cocok untuk memanjakan kaum rebahan sepertiku.
Tok ... tok ... tok ...
"Key ...." Mama mengetuk pintu sambil menyenandungkan namaku.
Biasa sih, Mama memang hobinya membangunkanku pagi-pagi, bahkan bisa lebih pagi lagi dari hari ini kalau aku sedang tak menstruasi. Tapi karena Mama tahu aku lagi mens, maka beliau baru membangunkanku. Sebenarnya aku yang tadi malem pesen buat dibangunin agak siang. Hehehe ...
"Iya Ma ... Key udah bangun kok," teriakku yang masih tak mau mengalihkan pandangan mataku pada novel di tanganku.
"Ya terus kenapa nggak keluar-keluar?" Dih, mama kayak nggak tahu kebiasaan anak gadisnya aja.
"Males ah, hari ini kan libur," sahutku.
"Kamu itu ya, perawan-perawan bukannya bangun pagi bantuin mama di dapur, eh malah males-malesan." Nah ... setiap pagi pasti selalu deh keluar kata-kata andalan mama yang itu.
"Hmmm ...." Aku hanya bergumam tak jelas. Maafkan anakmu yang nggak tahu diri ini ya Ma.
"Key, buka pintunya ih." Mama masih mengetuk pintu kamarku. Kalau belum dibukain, ya gitu, pantang menyerah membuat anaknya turun dari ranjang.
"Iya, iya." Aku bangun dari posisi rebahan tadi, kemudian menaruh novel di bawah bantal. Jangan tanya kenapa, karena Mama pasti bakalan marah-marah kalau aku beli novel baru. Katanya pemborosan. Setelah itu pasti novelnya disita. Tersebab itu aku harus pintar-pintar menyembunyikan novel yang dengan susah payah aku beli dengan mengumpulkan sisa uang jajan dari Mama yang sebenarnya tak seberapa. Bahkan kadang aku rela tidak jajan untuk beberapa hari, saking kepinginnya beli novel. Maklum lah, orang tuaku bukan termasuk orang kaya.
Aku beranjak dari ranjang menuju pintu kamarku, dan kemudian membukanya. Terpampang jelas Mama yang sedang berdiri di depan pintu sambil berkacak pinggang, tak lupa juga wajah garang yang coba mama perlihatkan.
"Hehe ... Mama." Aku nyengir di hadapan Mama, tidak tahu kan ya harus berbuat apa.
"Hehe ... Mama." Mama menirukan ucapanku dengan bibir yang sengaja dibuat-buat. Setelah itu Mama mencebikkan bibirnya.
"Duh! Jadi gemes deh sama Mama," ucapku dengan cengiran khasku.
"Kamu itu ya, udah dibilangin kalau udah bangun tidur, udah sholat subuh, langsung bantuin mama di dapur," ucap Mama sambil menjewer telinga kiriku. Mungkin saking kesalnya.
"Aw ... sakit Ma," tuturku sambil mencoba melepaskan tangan Mama dari telingaku. Dan berhasil terlepas juga.
"Makanya kalau di-- emmmph ...." Aku menghentikan ucapan mama dengan tanganku untuk membekapnya. Biarin lah kalau dikatain kurang ajar. Lagian pagi-pagi udah ngomel aja, mana anaknya lagi patah hati juga.
Sekali lagi maafkan anakmu yang kurang ajar ini ya.
"Nggak baik Ma, pagi-pagi udah ceramah, ntar dikira tetangga, Mama mau nyaingin Mamah Dedeh, hehe ...." Aku melepaskan tanganku yang tadi membekap mulut Mama.
"Nggak lucu!" Mama menyedekapkan tangannya di dada. Alamat ngambek nih.
'Ayo Key, ambil hati Mama'
"Aduh ... Mamanya Kay yang paling cantik, jangan ngambek dong, nanti cantiknya ilang lagi," ucapku sambil menjawil dagu Mama dan mendekap Mama dari samping.
"Biarin!" Mama melengos. Pertanda mode ngambeknya belum selesai.
"Ih, kalau nggak cantik nanti papa berpaling lho," godaku.
Sebenarnya itu sama sekali tidak mungkin. Karena aku tahu banget kalau Papa adalah laki-laki yang paling setia, dan bucin banget sama Mama.
Mama masih bergeming.
"Eh, nggak ding, Mama kan cinta matinya Papa, wanita teristimewa-nya Papa, yang bisa bikin Papa klepek-klepek, apalagi kalau pas Mama lagi senyum, beh ... ! Tambah jatuh cinta banget Papa sama Mama."
Mendengar godaanku, Mama pun tersenyum. Yes! berhasil. Artinya Mama nggak ngambek lagi, dan aku terbebas dari hukuman didiemin Mama.
"Apaan sih kamu, bisa aja deh." Mama mencubit pelan lengan tanganku dengan senyum malu-malu, dan pipi yang merona.
Nah, kalau digoda gitu baru deh ngambeknya hilang. Mama kan paling suka digoda kalau mengenai tentang dirinya dan Papa.
"Nah, gitu dong senyum ... kan jadinya tambah cantik Ma, kalau Papa lihat pasti tambah-tambah jatuh cinta yang kesekian kalinya." Dan Mama pun semakin kesengsem aku godain.
"Wow, lagi ngomongin apa nih, kok bawa-bawa nama Papa." Tiba-tiba Papa datang. Sepertinya papa habis jogging, terlihat dari keringat di dahinya.
"Iya nih, anak kamu Pa, suka ghibahin kamu," ucap Mama.
"Hmmm ... dosa lho, ngomongin orang tua," tutur Papa.
"Oh jadi dosa ya, kalau Key tadi mencoba membuat Mama tambah jatuh cinta sama Papa?" kataku menggoda kedua orang tuaku yang sampai saat ini masih suka kelihatan uwuw kalau lagi berduaan.
"Emangnya tadi kamu ngomong gimana ke Mama, Key?" Papa menaik turunkan kedua alisnya.
"Ada deh ... rahasia," ucapku.
"Ooh ... jadi nggak mau ngasih tahu ke papa nih?" tanya Papa.
"Enggak." Aku menjulurkan lidah ke arah Papa. Sontak papa pun terkekeh melihat tingkahku yang masih seperti kanak-kanak, padahal usia sudah duapuluh satu tahun. Sementara Mama hanya geleng-geleng kepala.
"Udah, udah, kalian cepetan mandi, udah siang nih, nanti kan kita mau dateng ke acaranya rumah depan," ujar Mama.
"Oke istiku sayang, Papa mandi dulu ya." Papa berlalu setelah sebelumnya mencium pipi Mama.
Tuh kan, pagi-pagi udah lihat yang uwuw aja.
Sabar Key, nggak boleh iri sama keromantisan orang tua.
"Emangnya Tante Mariska mau ada acara apa, Ma?" tanyaku.
"Kamu lupa ya, kalau Rey itu mau nikah," jawab Mama.
Mama berjalan menuju dapur dan meneruskan acara memasaknya yang tadi sempat tertunda karena drama membangunkan anak gadisnya yang paling imut ini. Eh.
"Hah! Rey mau nikah? yang bener aja," ucapku sambil mengikuti Mama menuju dapur.
"Lah, emangnya kamu belum tau kalau Rey mau nikah?" Mama bertanya sambil memotong sayuran.
"Nggak tuh, Key nggak tau, lagian Key kan bukan tipe orang yang suka ngegosip kayak Mama kalau lagi kumpul sama para ibu-ibu tetangga," jawabku sambil duduk di kursi meja makan "lagian kok bisa sih, Rey mau nikah, emang ada yah yang mau sama dia?"
"Hish! Kamu ini, ya jelas ada lah yang mau sama Rey, secara Rey kan ganteng, pinter, sekarang udah punya pekerjaan tetap lagi. Perempuan mana coba yang nggak mau sama dia? Emangnya kamu nggak ada yang mau?" cerocos Mama.