Alex tidak pernah mengira jika seorang wanita berhasil menarik perhatiannya dengan mudah. Sekretaris cantik yang menatapnya dengan wajah malas tanpa minat. wanita pertama yang tidak terpikat dengan wajahnya yang tampan. Keinginan Alex sampai pada puncaknya saat dia mengetahui Sekretaris cantik nya putus dengan kekasihnya. Seperti seorang penjahat, Alex mulai menyusun rencana. Tidak perduli apa pun caranya, meski itu cara kotor sekalipun. Alex akan menjadikan Iren miliknya seorang. "Kau milikku sekarang." Alex berbisik pelan di telinga Iren, membisikkan kata lembut yang berhasil membuat wajahnya memerah padam. Tanpa mengatakan apa pun Iren membalas pelukan Posesif Alex. Tanpa ia ketahui wajah Alex yang menggelap penuh obsesi. Iren tidak tahu jika kini ia telah jatuh di tangan Alex
Rambut panjangnya tergerai indah bergerak seirama dengan langkah kakinya. Sama seperti biasanya, pagi ini ada banyak dokumen yang harus ia serahkan pada Bosnya.
Langkah kakinya terhenti tepat di depan pintu ruangan Alex. Iren menarik napasnya, meski suasana hatinya sedang sangat, amat, buruk saat ini. Ia tidak berencana menunjukan celah sedikit pun pada atasannya yang menyebalkan.
Iren mengetuk pintu itu pelan sebelum ia masuk ke dalam.
"Selamat pagi Pak Alex." Iren memasang senyuman indah seperti biasanya. Meski matanya agak sedikit sembab.
"Ini adalah dokumen yang harus Anda periksa dan tanda tangan hari ini," ucapnya, seraya menyerahkan tumpukan dokumen yang sejak tadi dibawanya.
Iren terdiam, ia tidak mengatakan apa pun saat atasannya yang menyebalkan hanya menatapnya dengan wajah malas seperti biasa, tanpa niat untuk mengambil dokumen di tangannya.
Iren menunggu dengan sabar, senyum yang susah payah ia pertahankan di wajahnya kini sirna. Alih-alih tersenyum, wajah cantik itu, kini dipenuhi kekesalan.
Alex tertawan pelan melihat Iren, sebelum pria menyebalkan itu akhirnya mengambil tumpukan dokumen dari tangan Iren.
"Aku akan memeriksa dokumen ini nanti." Dengan santainya, Alex meletakan tumpukan dokumen itu di atas meja.
"Satu jam lagi kita mulai meeting, jadi Iren, tolong siapkan dokumen untuk meeting nanti dalam tiga puluh menit lagi," ucapnya seraya tersenyum.
Iren tercengan sesaat, jika saat ini ada cermin di hadapannya, Iren tidak dapat membayangkan seburuk apa ekspresi wajahnya saat ini.
Wajahnya pasti terlihat sangat buruk seperti suasana hatinya. Iren dapat memastikan itu ketika ia melihat senyum puas di wajah tampan Alex yang menyebalkan.
Iren mengumpat dalam hatinya, apa gunanya wajah tampan itu jika pria itu memiliki sikap yang sangat menyebalkan.
sikap menyebalkan itu mungkin menjadi penyebab utama Bosnya tidak memiliki pasangan hingga saat ini.
"Baik, Pak." Iren menunduk singkat tanpa mengatakan apa pun lagi, ia membuka pintu hendak pergi dari ruangan itu. Langkah Iren terhenti saat Alex memanggil namanya. Iren menarik napasnya kasar, berusaha mengendalikan moodnya yang buruk.
"Ya, Pak? Apa ada hal lain yang Anda perlukan?"
Iren berusaha keras mengatur nada bicaranya agar ia tidak berteriak, dan tersenyum pada Alex.
"Matamu terlihat lebih buruk dari biasanya. Lain kali ambilah cuti jika keadaanmu sedang tidak baik. Aku tidak ingin asistenku terlihat buruk saat aku bertemu dengan rekan bisnisku. Itu akan merusak citraku."
Iren membeku diambang pintu, matanya berkedip beberapa kali, seakan tidak mempercayai apa yang baru didengarnya.
"Ambilah cuti setelah kita selesai rapat nanti." Alex kembali mengucapkan hal yang membuat Iren bingung. Sang Bos yang menyebalkan menjadi pria baik untuk pertama kalinya.
Iren hendak mengatakan sesuatu, sayangnya ucapan itu tertahan di tenggorokannya. Pada akhirnya Iren tidak mengatakan apa pun.
Ada keheningan untuk beberapa saat. Hanya terdengar suara lembaran dokumen yang sedang di periksa Alex dalam kesunyian.
"Ada apa lagi? cepatlah keluar dan siapkan materi untuk rapat nanti," ucap Alex mendapati Iren yang masih mematung di ambang pintu.
Nada suara acuh tak acuh itu berhasil menarik Iren kembali ke dunia nyata. Iren yang merasa terharu dengan ucapan Alex tadi, kini kembali kesal mendengarkan ucapan menyebalkan Alex tadi.
"Baik, saya akan pergi sekarang."
Iren menundukan kepalanya sebentar sebelum ia melangkah keluar dari ruangan Alex tanpa ragu.
Alex menatap pintu ruangannya yang tertutup. Senyum misterius muncul di wajah tampannya yang mempesona.
"Aku memiliki kesempatan itu sekarang,"gumamnya.
Setelah beberapa saat Iren kembali ke ruang kerjanya. Ia menaruh tumpukan dokumen yang baru saja diambilnya dengan kasar di atas meja.
Itu adalah bahan yang harus Iren baca untuk membuat materi rapat yang akan berlangsung kurang dari lima puluh menit lagi. dan itu artinya, ia hanya mempunyai waktu kurang dari dua puluh menit untuk menyerahkan materi rapat pada Alex.
"Ini membuatku gila! Kenapa Bos sombong itu harus membuatku mengerjakan hal yang merepotkan alih-alih langsung menyuruhku pulang dan mengambil cuti?"
Iren mengeluh dalam hatinya, meski begitu tangannya dengan cekatan mulai mengetik materi untuk rapat pagi ini.
Iren memejamkan matanya, tubuhnya terasa begitu lelah setelah ia berada di tempat tidurnya. Setelah menyelesaikan materi rapat tadi pagi, tanpa membuang waktu Iren kembali ke rumahnya.
Meski iya sangat kesusahan sebelumnya, itu setimpal dengan dua hari cuti yang ia dapatkan dari Alex.
Ngomong-ngomong Iren merasa Alex tidak semenyebalkan seperti biasanya. Belum lagi bagaimana bisa Alex menyadari matanya yang sedikit. Benar-benar hanya sedikit bengkak tadi. Padahal, rekan kerjanya saja tidak menyadari perubahan di mata Iren tadi.
"Itu sangat aneh? Apa Alex salah makan tadi pagi sehingga dia bersikap sedikit hanya sedikit lebih baik dari sebelumnya?"
Iren berbicara pada dirinya sendiri, menatap langit-langit kamarnya. Ngomong-ngomong makanan, Iren baru teringat jika ia belum makan apa pun sejak pagi dan sekarang perutnya mulai terasa lapar.
"Aku lapar," ucapnya.
Iren menerima pesanannya, mengambil tempat paling pojok di café langganannya Iren makan dalam kesunyian.
Setelah berdebat dengan isi kepalanya sendiri, Iren memutuskan untuk mencari makanan di luar rumah walaupun sebenarnya jika ia mau Iren bisa saja memesan makanan secara online.
Tapi Iren merasa jika ia membutuhkan pergantian suasana agar ia tidak terus menerus merasa sedih karena patah hati. setelah berpacaran lebih dari tiga tahun siapa yang mengira jika dirinya akan dikhianati oleh pacar dan sahabatnya sendiri.
Iren menggelengkan kepalanya, "Aku harus melupakan kedua sampah itu."
Iren berbicara dalam benaknya, rasa kesal membuat iren mengunyah makannya lebih cepat dari sebelumnya. isi kepalanya penuh saat ini sampai ia tidak menyadari Café yang tadinya sepi kini mulai ramai dengan pengunjung.
Mata kecoklatannya terfokus pada pemandangan yang ia lihat dari kaca jendela di sampingnya. seperti hari senin lainnya, ibu kota selalu ramai dengan pejalan kaki. Melihat keramaian itu membuat Iren mendapatkan sedikit ketenangannya, kepalanya yang berisik kini mulai tenang.
Saat itu Iren akhirnya menyadari suasana Cafe yang ramai. Ditambah lagi ia mendengar suara yang familiar yang tidak ia sukai.
"Loh, Iren, Kebetulan banget ya kita ketemu di sini," ucap suara itu mengejek.
Iren memandang dengan raut wajah jijik wanita di hadapannya, wanita murahan yang telah merebut kekasihnya.
"Kamu masih marah ya sama aku? Kita kan sahabat baik Ren," ucapnya santai
Iren tertawa mengejek mendengar ucapan itu. Alih-alih membalasnya Iren memutuskan untuk mengabaikan kehadiran wanita itu dan melanjutkan makan. Mengabaikan wajah marah wanita yang di benci nya.
Tapi sayangnya hal itu tidak berlangsung lama ketenangannya hilang saat wanita itu menyerahkan sebuah undangan padanya.
"Karena kita ketemu di sini jadi aku ga perlu ke rumah kamu kan. Jangan lupa datang ya Ren."
Iren membaca undangan yang diberikan padanya, matanya membelalak dalam sekejap. Tangannya gemetar, Iren meremas kencang undangan yang ada di tangannya.
Iren kehilangan kendali dirinya, dia berniat menampar wanita yang tersenyum mengejek di hadapannya. Hingga sebuah tangan dengan lembut menyentuh tangannya yang terangkat.
"Alex?" Iren bergumam pelan.
Suasana menjadi aneh di sekitar mereka. wanita di hadapannya memandang Iren dengan raut wajah penuh tanya.
"Ren, dia siapa?" tanyanya mendesak
Pria itu melihat sekilas ke arah wanita itu, sebelum pandangannya kembali terfokus pada Iren. Dengan lembut Alex membantu Iren untuk berdiri menyembunyikan wajah Iren yang hendak menangis dalam pelukannya.
"Saya pacarnya," ucap Alex dingin.