Cinta yang Tersulut Kembali
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Mantanku yang Berhati Dingin Menuntut Pernikahan
Balas Dendam Manis Sang Ratu Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta di Jalur Cepat
Gairah Liar Pembantu Lugu
Jangan Main-Main Dengan Dia
Mantan Istri Genius yang Diidamkan Dunia
Tawaran Gila Suamiku
"Happy anniversary, Sayang! I love you!"
Gerry mengecup lembut puncak kepala Afila usai mengucapkan kalimat romantis kepada kekasihnya.
Afila tersenyum simpul hingga menerbitkan lesung pipit di kedua pipinya. "I love you more, Gerry."
Gadis itu membiarkan Gerry memangkas habis jarak di antara keduanya, hingga bibir mereka saling bertemu dan kecupan hangat kian melengkapi kisah romantis mereka malam ini.
Namun seketika...
Braaak...!!
"Afila! Bangun, Afila! Sudah siang, kamu harus sekolah!"
Joyce membuka kasar pintu kamar Afila untuk membangunkan putri semata wayangnya itu.
"Afila bangun!!" Teriaknya sambil mengguncang-guncang tubuh Afila.
"Ck! Ahh... Mommy...!" gerutu Afila sambil sedikit buka mata, lalu berbalik memunggungi Joyce.
"Eh...! Bangun, bangun! Waktunya sekolah!" Joyce semakin gigih mengguncang tubuh Afila.
'Ergh... sial! Kenapa gue lupa kunci kamar semalam? Rusak deh mimpi indah gue!" sesal Afila dalam hati.
Dengan lunglai gadis itu bangun. Ia mencoba duduk dulu di tengah tempat tidur agar nyawanya terkumpul seutuhnya. Sekuat upaya Afila memaksa kelopak matanya terbuka meski susah.
Ia mengerjap beberapa kali sambil melihat ke arah jam dinding di hadapannya.
"Hah...? Mommy! Jam berapa ini?"
Teriakan Afila sontak membuat Joyce - yang hendak keluar kamar - berhenti melangkah.
"Kenapa?" tanya Joyce datar.
"Mommy! Ini masih jam 4 pagi, astaga!"
Afila menghempaskan tubuhnya lagi ke tempat tidur.
"Eh, eh, eh, bangun!" Joyce buru-buru menarik tubuh Afila agar tetap bangun.
"Mommy apa-apaan, sih? Ini masih jam 4 pagi, Mommy. Masih ada waktu dua jam lagi buat tidur! DUA JAM!"
"Nggak bisa! Kamu bisa telat kalo bangun jam 6. Kamu harus berangkat jam 5 biar nggak telat sekolah. Makanya jam 4 udah harus prepare!" balas Joyce tidak mau kalah.
"Apaan sih, Mommy? Ngapain berangkat jam 5? Mau bantuin OB bersihin kelas dulu!? Kepagian, Mommy!"
"Nggak! Nggak kepagian! Mulai hari ini kamu nggak sekolah di Tunas Harapan, tapi di Bina Bangsa. Kamu bisa kena macet kalau berangkat lebih dari jam 5!"
"What?"
Afila seakan tak percaya mendengar ucapan Joyce. Mulutnya menganga lebar seperti kedua matanya.
"Kemarin mommy lupa telepon kamu. Semalam kamu udah tidur waktu mommy pulang kerja. Jadi sekarang nggak usah banyak tanya lagi, buruan mandi, terus siap-siap!" imbuh Joyce tanpa merasa berdosa.
"Oh iya, itu seragam baru kamu udah disiapin sama bi Jum. Nanti kamu dianter Anton. Mommy baru pulang jam 2 tadi, mau langsung istirahat. Jadi Anton bisa anterin kamu."
Joyce berlalu pergi begitu saja setelah berceloteh ria. Ia tidak peduli pada putrinya yang masih shock di atas tempat tidur.
"Hih! Ngeselin!" Maki Afila seraya melempar gulingnya ke arah pintu yang sudah ditutup kembali oleh Joyce.
***
Selesai mandi, Afila membentangkan seragam barunya di depan muka.
"Kenapa sih hidup gue harus se-random ini? Minggu kemaren Mommy sama Daddy tiba-tiba cerai. Sekarang gue tiba-tiba disuruh pindah sekolah. Nanti apa lagi?"
Gadis itu bermonolog seraya mengenakan seragam barunya dengan terpaksa.
Tepat jam 5 pagi Afila sudah selesai bersiap. Meski dengan perasaan kesal dan marah, ia tetap melakukan apa kata orang tuanya.
"Jangan lupa sarapan. Mommy udah selesai, mau langsung ke kamar. Jangan hubungi Mommy kalau nggak ada yang urgent, Mommy butuh istirahat," pesan Joyce saat berpapasan dengan Afila di tangga.
"Begitu sampai di sekolah, langsung temui kepala sekolah di ruangannya. Nanti mereka yang bakal kasih tau di mana kelasmu," lanjutnya lagi.
Afila membungkam bibirnya. Ia tidak ingin memberi respon apapun. Gadis itu masih kesal.
"Terserah, nggak peduli! Nggak mau peduli!" sahut Afila dalam hati.
Afila menghentak-hentakkan langkah saat berjalan keluar. Dia marah! Tapi, sebelum ia benar-benar keluar rumah, gadis itu tergoda oleh beef sandwich yang sudah disiapkan bi Jum di meja makan.
Namun Afila menggeleng cepat.
"Nggak, nggak! Nggak usah diambil! Biar aja nggak usah sarapan sekalian! Siapa suruh pilih sekolah jauh-jauh? Kalo sampe gue sakit, biar mommy tau rasa!" gumam siswi SMA itu ke diri sendiri.
Namun, ketika ia hendak melanjutkan langkah, Afila mendadak ragu. "Tapi gue takut lapar. Nanti kalau di mobil kelaparan, gimana? Makan apa gue ntar?"
"Huft!" sambil menghela napas kasar, Afila balik badan menuju ke meja makan.
Ia mengambil beef sandwich dari sana dan memakannya tanpa memperdulikan siapa pun, lalu berjalan keluar (masih dengan mulut penuh sandwich)
"Bang Anton! Ayo berangkat, Bang!" panggilnya sambil mengunyah sandwich.
"Siap, Non! Let's go!" sahut Anton semangat.
Di mobil, Afila menghabiskan sandwich yang dibawanya dengan lahap.
"Bang, bukannya mommy baru pulang jam 2-an, ya?" tanya Afila masih sambil menikmati sandwich buatan bi Jum.
"Benar, Non."
"Lah, berarti Bang Anton belum sempat istirahat, dong?"
Bang Anton tersenyum tipis mendengar pertanyaan Afila. "Waktu nungguin nyonya Joyce pemotretan, saya sempat tidur di mobil bentar kok, Non."
"Oh."
Afila tidak lagi berbincang dengan sopirnya. Perut kenyangnya membuat gadis itu merasa ngantuk saat menempuh perjalanan panjang ini.
***
"Non? Non Fila? Bangun, Non. Kita sudah sampai."
Anton membangunkan Afila dengan hati-hati. Namun rupanya gadis belia itu hanya bergeming.
"Non Fila, bangun, Non. Kita sudah sampai di sekolah," panggil Anton lagi dengan suara yang sedikit lebih keras.
Gadis itu menggeliat dan menguap. Perlahan matanya mulai terbuka.
"Eh, udah sampai ya, Bang?"
"Iya, Non. Eum... Non Fila mau diantar sampai sini aja atau mau ditemani menghadap kepala sekolah?"
Layaknya seorang bapak yang peduli kepada anaknya, Anton menawarkan diri untuk mendampingi Afila.
"Nggak usah, Bang. Sampe sini aja."
"Oke, Non. Kata nyonya Joyce, Non Fila nanti pulang jam 3. Saya jemput nanti sore ya, Non?"
"Oh, iya, Bang. Makasih, ya."
"Sebentar, Non. Biar saya bukain pintunya."
"Eh, nggak usah, Bang. Afila bisa sendiri, kok. Makasih, ya."
"Hoam...," Afila kembali menguap saat hendak keluar mobil. Sebenarnya rasa kantuk itu belum benar-benar lenyap.
Anton tertawa kecil melihat tingkah majikan kecilnya itu.