Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
Penayangan
1
Bab

Tiba-tiba orang tua bercerai, tiba-tiba pindah sekolah, tiba-tiba putus sama pacar, tiba-tiba datang orang-orang baru di kehidupan Afila! Se-random ini kehidupan Afila. Rasanya ia sudah terbiasa untuk berkawan karib dengan masalah. Bahkan, di saat hatinya yang pernah patah itu berhasil menemukan tempat berlabuh, semesta seolah tidak merestui keduanya untuk bersama. Akahkah Afila mampu merayu semesta dan memiliki cinta abadinya?

Bab 1 Kejutan Pagi Hari

"Happy anniversary, Sayang! I love you!"

Gerry mengecup lembut puncak kepala Afila usai mengucapkan kalimat romantis kepada kekasihnya.

Afila tersenyum simpul hingga menerbitkan lesung pipit di kedua pipinya. "I love you more, Gerry."

Gadis itu membiarkan Gerry memangkas habis jarak di antara keduanya, hingga bibir mereka saling bertemu dan kecupan hangat kian melengkapi kisah romantis mereka malam ini.

Namun seketika...

Braaak...!!

"Afila! Bangun, Afila! Sudah siang, kamu harus sekolah!"

Joyce membuka kasar pintu kamar Afila untuk membangunkan putri semata wayangnya itu.

"Afila bangun!!" Teriaknya sambil mengguncang-guncang tubuh Afila.

"Ck! Ahh... Mommy...!" gerutu Afila sambil sedikit buka mata, lalu berbalik memunggungi Joyce.

"Eh...! Bangun, bangun! Waktunya sekolah!" Joyce semakin gigih mengguncang tubuh Afila.

'Ergh... sial! Kenapa gue lupa kunci kamar semalam? Rusak deh mimpi indah gue!" sesal Afila dalam hati.

Dengan lunglai gadis itu bangun. Ia mencoba duduk dulu di tengah tempat tidur agar nyawanya terkumpul seutuhnya. Sekuat upaya Afila memaksa kelopak matanya terbuka meski susah.

Ia mengerjap beberapa kali sambil melihat ke arah jam dinding di hadapannya.

"Hah...? Mommy! Jam berapa ini?"

Teriakan Afila sontak membuat Joyce - yang hendak keluar kamar - berhenti melangkah.

"Kenapa?" tanya Joyce datar.

"Mommy! Ini masih jam 4 pagi, astaga!"

Afila menghempaskan tubuhnya lagi ke tempat tidur.

"Eh, eh, eh, bangun!" Joyce buru-buru menarik tubuh Afila agar tetap bangun.

"Mommy apa-apaan, sih? Ini masih jam 4 pagi, Mommy. Masih ada waktu dua jam lagi buat tidur! DUA JAM!"

"Nggak bisa! Kamu bisa telat kalo bangun jam 6. Kamu harus berangkat jam 5 biar nggak telat sekolah. Makanya jam 4 udah harus prepare!" balas Joyce tidak mau kalah.

"Apaan sih, Mommy? Ngapain berangkat jam 5? Mau bantuin OB bersihin kelas dulu!? Kepagian, Mommy!"

"Nggak! Nggak kepagian! Mulai hari ini kamu nggak sekolah di Tunas Harapan, tapi di Bina Bangsa. Kamu bisa kena macet kalau berangkat lebih dari jam 5!"

"What?"

Afila seakan tak percaya mendengar ucapan Joyce. Mulutnya menganga lebar seperti kedua matanya.

"Kemarin mommy lupa telepon kamu. Semalam kamu udah tidur waktu mommy pulang kerja. Jadi sekarang nggak usah banyak tanya lagi, buruan mandi, terus siap-siap!" imbuh Joyce tanpa merasa berdosa.

"Oh iya, itu seragam baru kamu udah disiapin sama bi Jum. Nanti kamu dianter Anton. Mommy baru pulang jam 2 tadi, mau langsung istirahat. Jadi Anton bisa anterin kamu."

Joyce berlalu pergi begitu saja setelah berceloteh ria. Ia tidak peduli pada putrinya yang masih shock di atas tempat tidur.

"Hih! Ngeselin!" Maki Afila seraya melempar gulingnya ke arah pintu yang sudah ditutup kembali oleh Joyce.

***

Selesai mandi, Afila membentangkan seragam barunya di depan muka.

"Kenapa sih hidup gue harus se-random ini? Minggu kemaren Mommy sama Daddy tiba-tiba cerai. Sekarang gue tiba-tiba disuruh pindah sekolah. Nanti apa lagi?"

Gadis itu bermonolog seraya mengenakan seragam barunya dengan terpaksa.

Tepat jam 5 pagi Afila sudah selesai bersiap. Meski dengan perasaan kesal dan marah, ia tetap melakukan apa kata orang tuanya.

"Jangan lupa sarapan. Mommy udah selesai, mau langsung ke kamar. Jangan hubungi Mommy kalau nggak ada yang urgent, Mommy butuh istirahat," pesan Joyce saat berpapasan dengan Afila di tangga.

"Begitu sampai di sekolah, langsung temui kepala sekolah di ruangannya. Nanti mereka yang bakal kasih tau di mana kelasmu," lanjutnya lagi.

Afila membungkam bibirnya. Ia tidak ingin memberi respon apapun. Gadis itu masih kesal.

"Terserah, nggak peduli! Nggak mau peduli!" sahut Afila dalam hati.

Afila menghentak-hentakkan langkah saat berjalan keluar. Dia marah! Tapi, sebelum ia benar-benar keluar rumah, gadis itu tergoda oleh beef sandwich yang sudah disiapkan bi Jum di meja makan.

Namun Afila menggeleng cepat.

"Nggak, nggak! Nggak usah diambil! Biar aja nggak usah sarapan sekalian! Siapa suruh pilih sekolah jauh-jauh? Kalo sampe gue sakit, biar mommy tau rasa!" gumam siswi SMA itu ke diri sendiri.

Namun, ketika ia hendak melanjutkan langkah, Afila mendadak ragu. "Tapi gue takut lapar. Nanti kalau di mobil kelaparan, gimana? Makan apa gue ntar?"

"Huft!" sambil menghela napas kasar, Afila balik badan menuju ke meja makan.

Ia mengambil beef sandwich dari sana dan memakannya tanpa memperdulikan siapa pun, lalu berjalan keluar (masih dengan mulut penuh sandwich)

"Bang Anton! Ayo berangkat, Bang!" panggilnya sambil mengunyah sandwich.

"Siap, Non! Let's go!" sahut Anton semangat.

Di mobil, Afila menghabiskan sandwich yang dibawanya dengan lahap.

"Bang, bukannya mommy baru pulang jam 2-an, ya?" tanya Afila masih sambil menikmati sandwich buatan bi Jum.

"Benar, Non."

"Lah, berarti Bang Anton belum sempat istirahat, dong?"

Bang Anton tersenyum tipis mendengar pertanyaan Afila. "Waktu nungguin nyonya Joyce pemotretan, saya sempat tidur di mobil bentar kok, Non."

"Oh."

Afila tidak lagi berbincang dengan sopirnya. Perut kenyangnya membuat gadis itu merasa ngantuk saat menempuh perjalanan panjang ini.

***

"Non? Non Fila? Bangun, Non. Kita sudah sampai."

Anton membangunkan Afila dengan hati-hati. Namun rupanya gadis belia itu hanya bergeming.

"Non Fila, bangun, Non. Kita sudah sampai di sekolah," panggil Anton lagi dengan suara yang sedikit lebih keras.

Gadis itu menggeliat dan menguap. Perlahan matanya mulai terbuka.

"Eh, udah sampai ya, Bang?"

"Iya, Non. Eum... Non Fila mau diantar sampai sini aja atau mau ditemani menghadap kepala sekolah?"

Layaknya seorang bapak yang peduli kepada anaknya, Anton menawarkan diri untuk mendampingi Afila.

"Nggak usah, Bang. Sampe sini aja."

"Oke, Non. Kata nyonya Joyce, Non Fila nanti pulang jam 3. Saya jemput nanti sore ya, Non?"

"Oh, iya, Bang. Makasih, ya."

"Sebentar, Non. Biar saya bukain pintunya."

"Eh, nggak usah, Bang. Afila bisa sendiri, kok. Makasih, ya."

"Hoam...," Afila kembali menguap saat hendak keluar mobil. Sebenarnya rasa kantuk itu belum benar-benar lenyap.

Anton tertawa kecil melihat tingkah majikan kecilnya itu.

"Dadah, Bang!" pamit Afila sambil membuka pintu.

Tiba-tiba...

Brak...!

"Awh...!"

Afila memekik saat terjatuh dari mobil. Rupanya ia kurang hati-hati ketika keluar mobil.

Alhasil, ia harus menanggung malu saat siswa-siswi lain melihatnya jatuh terjerembab dengan muka menyentuh tanah.

"Ya ampun, Non Fila!" Anton bergegas keluar mobil untuk menolong Afila. "Yang mana yang sakit, Non?"

Afila menggeleng. "Ngga ada, Bang. Cuma kotor aja ini."

Gadis itu membersihkan debu dan pasir yang masih menempel di seragam barunya.

"Astaga, Non! Dagunya kegores sedikit!" seru Anton terkejut.

Buru-buru Afila menjamah bagian dagunya yang mulai terasa perih.

"Wah iya nih, Bang."

"Tunggu sebentar ya, Non. Saya carikan plester luka dulu."

Afila mengangguk sambil menunggu Anton mencari kotak P3K di bagasi belakang.

Tidak lama, Anton berhasil menemukan plester yang dicari, lalu bergegas kembali menghampiri Afila.

"Nah, udah beres, Non. Lain kali lebih hati-hati, ya," ucap Anton lembut usai membantu Afila menempel plester.

***

Kelas X.2

Afila melangkah ragu di belakang Ms. Merry. Meski ia tidak menatap ke arah para siswa lain, tapi ia bisa merasakan tatapan antusias dari teman-teman barunya itu melalui bayang-bayang di ekor mata.

"Semuanya perhatikan. Hari ini kita kedatangan teman baru," seru Ms. Merry kepada siswa di kelas X.2.

"Afila, silakan perkenalkan diri kamu di depan teman-teman."

"Baik, Ms."

Afila memberanikan diri untuk membalas tatapan semua orang. Kelas ini memiliki jumlah siswa yang tidak terlalu penuh, hanya ada 20 siswa.

"Perkenalkan namaku Afila Swastamita. Panggil aja Afila. Aku pindahan dari SMA Tunas Harapan."

Afila mulai memperkenalkan diri. Suaranya tidak begitu lantang karena sedikit grogi.

"Oh, anak TuPan. Tumben ada yang biasa aja? Bukannya anak-anak TuPan tuh keren-keren, ya?" celetuk siswi bernama Jenna.

Meski berbisik, namun Afila bisa mendengar dengan jelas yang diucapkan Jenna barusan.

"Ya makanya dia pilih pindah sekolah, minder kali. Liat aja seragamnya dekil gitu, padahal seragam baru, kan?" timpal Bella yang memancing tawa kecil oleh teman-teman satu circle-nya.

"Tapi biasa aja-nya anak TuPan tetep lebih good looking dibanding sama lo deh, Jen!"

Sontak Martin membalas ucapan buruk Jenna. Sebagai ketua kelas, Martin tidak akan membiarkan ada pem-bully-an sedikit pun di kelasnya, sekalipun hanya secara verbal.

Ucapan Martin tentu saja mengundang gelak tawa para siswa sekelas.

"Rese, lo!" balas Jenna.

"Eh, sudah, sudah! Jangan gaduh!" seru Ms. Merry.

"Yang lain duduk tenang!" lanjutnya lagi. "Afila, untuk sementara kamu duduk di bangku Aileen dulu, ya. Kebetulan hari ini dia tidak masuk, jadi bisa dipakai dulu bangkunya. Nanti OB akan carikan bangku kosong buat kamu."

"Baik, Ms."

Afila melangkah ke tempat duduk Aileen. Sejujurnya, dia tidak tahu di mana bangku Aileen yang dimaksud Ms. Merry tadi. Tapi hanya ada satu bangku kosong di ruangan ini, jadi Afila bisa menebak bahwa bangku itulah yang disebut-sebut milik Aileen.

"Hai, Afila! Gue Chelsea."

Seorang siswi manis berkacamata mengulurkan tangan kepada Afila.

"Oh, hai!" sahut Afila sambil menyambut tangan Chelsea.

Senyum di antara keduanya menjadi awal pertemanan mereka.

***

Kring...!

Bel istirahat sudah berdering nyaring. Para siswa berhamburan keluar kelas untuk mengusir penat.

"Kita ke food court, yuk!" ajak Chelsea disertai senyum simpul.

"Eum... kayaknya gue di kelas aja deh. Mager."

Afila menolak tawaran itu dengan halus.

"Hah? Serius ga pengen makan apa pun? Ntar laper loh!" goda Chelsea bercanda.

Mendengar kata 'lapar', Afila cepat-cepat meralat jawabannya. "Eh, eh, tunggu! Ikut deh!"

Sontak Chelsea tertawa kecil melihat tingkah teman barunya.

Mereka jalan bersama menuju food court.

"BTW, kalo Jenna suka nyeletuk nggak penting gitu nggak perlu lo pikirin. Dia emang gitu, suka caper! Gaje!" ujar Chelsea sambil menikmati burgernya.

"Hahaha! Iya, sih. Nggak penting banget!" timpal Afila singkat.

"Tapi kalo boleh tau, itu dagu lo kenapa?" Chelsea penasaran dengan plester yang tertempel di sana.

"Oh, ini tadi gue sempet jatuh pas turun dari mobil. Gue masih ngantuk banget tadi. Sumpah!"

"Bhahahahah!!" Chelsea terbahak. Pengakuan Afila itu memang terdengar semacam lelucon baginya.

"Eh bentar, ya. Gue kebelet pipis. Toilet di mana, ya?" Afila terpaksa menjeda obrolan.

"Oh, dari sini lo ke kiri aja. Lurus terus sampe mentok, nanti belok kiri lagi udah sampe."

Afila memperhatikan penuturan Chelsea dengan seksama. Tatapannya tidak berkedip sedikit pun.

"Oh, oke! Tunggu, ya."

Selesai berpamitan, Afila membalikkan tubuhnya begitu saja. Dan...

Pyar...!

Sebuah hotplate terjatuh dan pecah begitu saja di atas lantai, lengkap dengan steak dan nampannya.

"Hah!" Afila menutup mulutnya yang menganga menggunakan tangan.

Jantungnya berdetak begitu cepat saat melihat seorang laki-laki berseragam basket terjatuh di lantai dengan tumpahan jus di badannya dan pecahan gelas di sisinya.

Afila menabrak seseorang!

Kegaduhan itu sontak menarik atensi sejuta umat yang sedang berada di food court.

"Shit! Mati gue!" desis Afila saat melihat tatapan mematikan cowok itu.

Bersambung

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Pemuas Nafsu Keponakan

Pemuas Nafsu Keponakan

kodav
5.0

Warning!!!!! 21++ Dark Adult Novel Aku, Rina, seorang wanita 30 Tahun yang berjuang menghadapi kesepian dalam pernikahan jarak jauh. Suamiku bekerja di kapal pesiar, meninggalkanku untuk sementara tinggal bersama kakakku dan keponakanku, Aldi, yang telah tumbuh menjadi remaja 17 tahun. Kehadiranku di rumah kakakku awalnya membawa harapan untuk menemukan ketenangan, namun perlahan berubah menjadi mimpi buruk yang menghantui setiap langkahku. Aldi, keponakanku yang dulu polos, kini memiliki perasaan yang lebih dari sekadar hubungan keluarga. Perasaan itu berkembang menjadi pelampiasan hasrat yang memaksaku dalam situasi yang tak pernah kubayangkan. Di antara rasa bersalah dan penyesalan, aku terjebak dalam perang batin yang terus mencengkeramku. Bayang-bayang kenikmatan dan dosa menghantui setiap malam, membuatku bertanya-tanya bagaimana aku bisa melanjutkan hidup dengan beban ini. Kakakku, yang tidak menyadari apa yang terjadi di balik pintu tertutup, tetap percaya bahwa segala sesuatu berjalan baik di rumahnya. Kepercayaannya yang besar terhadap Aldi dan cintanya padaku membuatnya buta terhadap konflik dan ketegangan yang sebenarnya terjadi. Setiap kali dia pergi, meninggalkan aku dan Aldi sendirian, ketakutan dan kebingungan semakin menguasai diriku. Di tengah ketegangan ini, aku mencoba berbicara dengan Aldi, berharap bisa menghentikan siklus yang mengerikan ini. Namun, perasaan bingung dan nafsu yang tak terkendali membuat Aldi semakin sulit dikendalikan. Setiap malam adalah perjuangan untuk tetap kuat dan mempertahankan batasan yang semakin tipis. Kisah ini adalah tentang perjuanganku mencari ketenangan di tengah badai emosi dan cinta terlarang. Dalam setiap langkahku, aku berusaha menemukan jalan keluar dari jerat yang mencengkeram hatiku. Akankah aku berhasil menghentikan pelampiasan keponakanku dan kembali menemukan kedamaian dalam hidupku? Atau akankah aku terus terjebak dalam bayang-bayang kesepian dan penyesalan yang tak kunjung usai?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku