Seorang wanita yang selalu percaya pada kesetiaan suaminya menemukan bukti perselingkuhan. Dalam pencariannya akan kebenaran, ia juga dihadapkan pada pengkhianatan lain dari orang yang paling ia percaya.
Matahari pagi menyinari ruang makan kecil di rumah Sarah. Aroma kopi segar memenuhi udara, sementara suara kicauan burung terdengar samar di luar jendela. Sarah, seorang wanita berusia 32 tahun dengan rambut cokelat yang ditata rapi, sedang sibuk menyiapkan sarapan. Senyumnya cerah, seperti setiap pagi yang ia habiskan bersama suaminya, Andre.
Andre, seorang pria berusia 35 tahun dengan tubuh tegap dan wajah ramah, melangkah masuk ke ruang makan. Ia mengenakan kemeja biru muda yang selalu menjadi favorit Sarah.
"Pagi, Sayang," ujar Andre sambil mencium kening Sarah.
"Pagi juga. Kopi atau teh?" tanya Sarah, mengangkat alis sambil tersenyum.
"Kopi, tentu saja. Kamu tahu aku nggak bisa memulai hari tanpa itu."
Sarah tertawa kecil. "Kalau begitu, duduklah. Aku sudah buatkan roti bakar dengan selai favoritmu."
Andre duduk di meja makan sambil membuka koran. Ia terlihat tenang, seperti biasa.
"Bagaimana rencana hari ini? Masih ada rapat dengan klien besar itu?" tanya Sarah sambil menuangkan kopi ke cangkirnya.
"Ya, dan mungkin akan berlangsung lama. Kalau aku pulang telat, jangan tunggu aku, ya," jawab Andre sambil tersenyum kecil.
Sarah mengangguk. "Semangat, ya. Aku yakin kamu bisa mengesankan mereka."
Andre menatap Sarah dengan penuh kasih. "Kamu selalu mendukung aku, ya? Aku beruntung banget punya kamu."
Sarah tersenyum malu. "Dan aku juga beruntung punya kamu. Kita tim yang sempurna, kan?"
Andre menggenggam tangan Sarah di atas meja. "Selalu."
Pagi itu berlanjut dengan percakapan ringan dan tawa. Bagi Sarah, pernikahannya dengan Andre adalah segalanya. Mereka telah menikah selama tujuh tahun, dan meskipun tidak selalu mulus, mereka selalu berhasil melewati segalanya bersama.
Setelah sarapan, Andre berpamitan. Sarah melambaikan tangan dari depan pintu, mengawasi mobil Andre menghilang di tikungan jalan. Hatinya penuh rasa syukur.
Setelah Andre pergi, Sarah kembali ke dapur untuk merapikan piring dan peralatan makan. Rutinitas pagi ini selalu membuatnya merasa tenang. Namun, ada sesuatu yang terasa berbeda pagi itu.
Ketika Sarah membuka mesin cuci piring, ia melihat ponsel Andre tergeletak di meja dapur.
"Ah, dia lupa lagi," gumam Sarah sambil menggeleng pelan. Andre memang sering terburu-buru dan meninggalkan barang-barangnya.
Sarah mengambil ponsel itu, berniat menghubunginya. Namun, layar ponsel menyala, menampilkan notifikasi pesan. Nama yang muncul membuat Sarah tertegun sejenak: Maya.
Pesan itu berbunyi, "Terima kasih untuk malam yang indah. Aku nggak sabar ketemu lagi."
Dada Sarah berdegup kencang. Ia merasa tangannya gemetar. Pesan itu singkat, tapi maknanya cukup untuk membuat pikirannya berantakan.
"Ini... siapa Maya?" bisik Sarah pada dirinya sendiri.
Sarah mencoba berpikir rasional. Mungkin ini salah paham. Maya bisa saja klien atau rekan kerja. Tapi kata-kata dalam pesan itu terasa sangat pribadi.
Ponsel di tangannya tiba-tiba bergetar. Panggilan masuk dari Andre. Sarah menghela napas panjang sebelum menjawab.
"Halo, Sayang. Kamu ketinggalan ponsel," ujar Sarah berusaha menjaga suaranya tetap tenang.
"Ah, iya? Aduh, aku memang ceroboh. Kamu bisa simpan saja di rumah. Aku nggak terlalu butuh sekarang," jawab Andre, terdengar santai di ujung telepon.
Sarah menggigit bibirnya. "Tadi ada pesan masuk. Dari seseorang bernama Maya."
Andre terdiam beberapa detik sebelum menjawab, "Oh, itu Maya, klien baru di kantor. Kami semalam makan malam bisnis, membicarakan proyek baru. Tidak ada apa-apa, Sayang."
Nada suara Andre terdengar meyakinkan, tapi Sarah tetap merasa ada yang tidak beres.
"Oh, begitu," jawab Sarah pelan. Ia tidak ingin memancing konflik sebelum tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Jangan khawatir. Aku akan jelaskan lebih banyak nanti kalau pulang. Aku harus masuk rapat sekarang. Love you," kata Andre sebelum menutup telepon.
Sarah menatap ponsel di tangannya. Ia ingin percaya pada Andre. Lagipula, ia tidak pernah memberinya alasan untuk meragukan kesetiaan sebelumnya.
Namun, pesan singkat itu terus terngiang-ngiang di pikirannya. Ia merasa ada sesuatu yang mulai berubah, meski ia belum bisa menjelaskan apa itu.
Sore itu, Sarah mencoba mengalihkan pikirannya dengan membersihkan rumah dan menyelesaikan pekerjaannya sebagai penulis lepas. Tapi benaknya terus kembali pada pesan dari Maya.
Ketika malam tiba, Andre pulang seperti biasa. Ia tersenyum, mencium kening Sarah, dan bercerita tentang hari yang melelahkan di kantor. Namun, Sarah merasa senyum Andre kali ini berbeda-seolah menyimpan sesuatu.
Di tengah makan malam, Sarah mencoba mengangkat topik itu dengan hati-hati.
"Tadi aku baca pesan dari Maya," ujarnya sambil memotong sayur di piringnya.
Andre mendongak, terlihat tenang. "Oh, iya. Sudah aku bilang tadi, dia klien kantor. Memang ada yang aneh?"
Sarah menatap mata Andre. "Kata-katanya... cukup pribadi untuk urusan pekerjaan, menurutku."
Andre tersenyum kecil. "Mungkin cara dia menulis memang seperti itu. Kamu tahu, nggak semua orang punya gaya komunikasi yang formal. Tapi aku pastikan, itu murni bisnis."
Sarah mengangguk, tapi di dalam hatinya, ia tahu sesuatu mulai retak. Malam itu, ketika Andre tertidur di sampingnya, Sarah terjaga, menatap langit-langit kamar.
Ia tidak tahu harus percaya atau meragukan. Namun, satu hal yang pasti, hidupnya mulai terasa berbeda.
Sarah menghela napas panjang. Ia mencoba mengesampingkan pikirannya, tapi rasa penasarannya semakin kuat. Ia melirik ke arah meja di dekat tempat tidur, di mana ponsel Andre tergeletak.
"Tidak... aku nggak boleh seperti ini," gumamnya pelan, mencoba menenangkan hati. Tapi pesan dari Maya terus terngiang di kepalanya.
Akhirnya, dengan hati-hati agar tidak membangunkan Andre, Sarah meraih ponsel itu. Ia menyalakan layar dan membuka aplikasi pesan. Ia menemukan percakapan panjang antara Andre dan Maya.
Pesan-pesan itu terlihat ramah, tapi semakin ia membaca, Sarah merasa ada sesuatu yang salah. Beberapa pesan terasa terlalu hangat untuk sekadar rekan kerja.
"Kamu bikin malamku lebih indah. Terima kasih, Andre."
"Aku juga. Senang bisa menghabiskan waktu dengan kamu, Maya."
Sarah menahan napas, matanya mulai memanas. Tangannya gemetar saat ia menggulir percakapan lebih jauh. Tidak ada kata-kata yang secara eksplisit menunjukkan hubungan romantis, tapi nada dalam pesan-pesan itu cukup untuk membuat hatinya berdebar.
Tiba-tiba, suara Andre yang serak membuyarkan konsentrasinya.
"Sarah? Kamu ngapain?"
Sarah terkejut, ponsel hampir terjatuh dari tangannya. Ia menoleh ke arah Andre yang kini duduk di tempat tidur, menatapnya dengan alis terangkat.
"Aku... aku nggak sengaja lihat pesan-pesan ini," jawab Sarah jujur, suaranya bergetar. "Andre, apa ini? Siapa sebenarnya Maya?"
Andre menghela napas panjang, menutup wajahnya dengan kedua tangan sejenak. "Sarah, aku udah bilang, dia cuma klien. Kamu nggak perlu khawatir."
"Tapi kenapa pesannya seperti ini? 'Kamu bikin malamku lebih indah'? Apa maksudnya, Andre?" tanya Sarah, nadanya mulai meninggi.
Andre menatap Sarah dengan ekspresi lelah. "Kamu salah paham. Itu hanya cara dia bicara. Aku nggak pernah berniat apa-apa selain profesional."
"Tapi... kamu balas pesannya dengan cara yang sama. Apa itu juga profesional?"
Andre terdiam, seolah mencari jawaban yang tepat. "Sarah, aku nggak mau bertengkar. Aku capek. Aku minta maaf kalau ini membuat kamu nggak nyaman, tapi aku pastikan, nggak ada apa-apa."
Sarah merasa dadanya sesak. Ia ingin percaya, tapi hatinya sudah mulai dirundung keraguan.
"Kalau memang nggak ada apa-apa, kenapa aku merasa kamu berubah, Andre? Kamu lebih sering pulang terlambat, dan sekarang ini...," ujar Sarah, suaranya lirih.
Andre mendekat dan menggenggam tangan Sarah. "Dengar, Sayang. Aku nggak akan pernah menyakitimu. Aku janji."
Sarah menatap mata Andre, mencoba mencari kebenaran di sana. Namun, perasaan aneh itu tetap ada, seperti bisikan halus yang terus mengganggunya.
Malam itu, meski Andre kembali tidur dengan mudah, Sarah terjaga hingga pagi, merenungi apa yang baru saja terjadi.
Di satu sisi, ia ingin percaya pada suaminya. Tapi di sisi lain, ia tahu ada sesuatu yang tidak beres.
Dan untuk pertama kalinya dalam pernikahan mereka, Sarah merasa seolah-olah fondasi kepercayaannya mulai retak.
Bersambung...
Buku lain oleh MASPANG
Selebihnya