Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
CINTA YANG RETAK

CINTA YANG RETAK

MASPANG

5.0
Komentar
632
Penayangan
20
Bab

Setelah bertahun-tahun menikah, seorang istri menemukan bahwa suaminya memiliki hubungan rahasia dengan wanita lain. Namun, saat ia mulai menyusun rencana untuk meninggalkan suaminya, ia menemukan bahwa pengkhianatan ini menyembunyikan alasan yang jauh lebih kompleks.

Bab 1 Retakan Pertama

Maya duduk sendirian di ruang tamu, menatap jam dinding yang berdetak perlahan. Pukul 11 malam, dan Arya belum pulang. Sekali lagi, ia menyebut alasan pekerjaan di telepon, tapi Maya merasa ada yang berbeda. Biasanya, Arya akan memberi tahu lebih dulu jika harus lembur. Kali ini, suaminya hanya memberikan jawaban singkat yang terasa hambar.

Maya menghela napas panjang. Ia memutuskan untuk tetap terjaga, meski kantuk mulai menyerang. Suara langkah kaki terdengar di depan pintu, diikuti oleh suara kunci yang berputar. Arya masuk dengan raut wajah lelah, tetapi Maya tahu itu bukan hanya kelelahan fisik.

"Kamu baru pulang?" Maya memulai, nada suaranya setenang mungkin.

"Iya, banyak kerjaan di kantor," jawab Arya sambil melepas sepatu tanpa menatap Maya.

"Kenapa nggak kasih tahu aku sebelumnya?" Maya mencoba mencari mata suaminya, tapi Arya sibuk membuka tas kerjanya.

"Lupa. Maaf ya."

Maya terdiam. Kata-kata Arya terdengar datar, seperti sebuah rekaman yang diputar ulang tanpa emosi.

"Arya, kamu baik-baik aja, kan?" Maya bertanya, kali ini dengan nada lebih lembut.

Arya akhirnya menoleh, memasang senyum tipis yang tidak meyakinkan.

"Aku capek, Maya. Aku mandi dulu, ya."

Tanpa menunggu jawaban, Arya melangkah ke kamar mandi, meninggalkan Maya yang masih duduk terpaku.

Malam itu, Maya tak bisa memejamkan mata. Pikirannya dipenuhi tanya. Bukankah Arya selalu bercerita tentang harinya? Bukankah mereka adalah pasangan yang tak pernah menyimpan rahasia?

Esoknya, saat Maya sedang menyiapkan sarapan, ia mencoba memulai percakapan lagi.

"Mas Arya, apa ada masalah di kantor? Kamu terlihat tegang akhir-akhir ini."

Arya menggeleng sambil menyeruput kopi. "Nggak ada apa-apa kok, cuma kerjaan lagi numpuk."

"Tapi kenapa aku merasa ada yang berbeda?" Maya menatapnya tajam, mencoba membaca ekspresi wajah Arya.

"Kamu terlalu banyak mikir, Maya. Jangan khawatir, ya." Arya menepuk tangan Maya sejenak, lalu berdiri. "Aku berangkat dulu, ada meeting pagi ini."

Maya mengangguk perlahan, tetapi hatinya mulai diselimuti kekhawatiran. Tatapan Arya seperti menghindar, dan Maya merasa jarak antara mereka mulai tumbuh.

Malam harinya, Maya memutuskan untuk membersihkan kamar kerja Arya. Sebuah kebiasaan yang biasa ia lakukan ketika merasa ingin lebih dekat dengan suaminya. Namun, kali ini, tangannya berhenti di tengah tumpukan kertas di meja kerja Arya. Sebuah struk restoran jatuh dari antara dokumen-dokumen.

"Restoran ini bukan tempat dia biasanya makan siang," gumam Maya. Ia melihat tanggal di struk itu, dan hatinya mencelos. Tanggalnya cocok dengan malam Arya pulang terlambat minggu lalu.

Sebuah nama wanita tertulis di bagian bawah struk: Sinta.

"Siapa Sinta?" Maya berbisik pada dirinya sendiri, dadanya mulai terasa sesak.

Arya tiba-tiba muncul di pintu kamar kerja.

"Maya, kamu ngapain di sini?" tanyanya, suaranya terdengar tegang.

Maya menggenggam struk itu erat-erat, matanya menatap Arya penuh tanda tanya.

"Arya, siapa Sinta?" tanyanya, berusaha tetap tenang meski suaranya bergetar.

Arya terdiam sejenak, kemudian menggeleng.

"Itu cuma kolega kantor. Kamu nggak perlu khawatir."

"Kolega? Tapi kenapa kamu nggak pernah cerita tentang dia?" Maya mendesak.

Arya mendekat dan mengambil struk itu dari tangan Maya dengan lembut.

"Sudah kubilang, nggak ada apa-apa. Aku nggak mau kita berdebat soal ini, Maya. Aku capek. Aku tidur dulu, ya."

Arya berlalu tanpa menjelaskan lebih lanjut, meninggalkan Maya yang berdiri terpaku dengan hati yang mulai retak.

Maya duduk di tepi tempat tidur setelah Arya masuk ke kamar dan segera berbaring tanpa banyak bicara.

Ia menatap punggung suaminya yang sudah memunggunginya, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi spekulasi.

"Arya..." panggil Maya perlahan, hampir seperti bisikan.

Tidak ada respons. Hanya napas Arya yang terdengar.

"Aku nggak mau berpikir macam-macam, tapi... apa kamu yakin nggak ada yang perlu aku tahu?" tanyanya, sedikit lebih keras kali ini.

Arya bergerak, tetapi hanya untuk membenarkan posisi tidurnya. "Maya, sudah malam. Aku benar-benar lelah. Besok saja, ya, kalau mau ngobrol."

Jawaban itu seperti tamparan bagi Maya. Ia merasa diabaikan, seolah perasaannya tidak penting. Ia bangkit dari tempat tidur dan melangkah pelan keluar kamar, membiarkan Arya sendirian.

Maya menyalakan lampu kecil di dapur dan duduk di meja makan dengan secangkir teh hangat yang kini terasa pahit. Ia membuka ponselnya, menggulir foto-foto lama saat mereka masih sering menghabiskan waktu bersama. Sebuah foto liburan mereka di Bali muncul, memperlihatkan senyum lebar Arya yang penuh cinta.

"Kapan terakhir kali kita bahagia seperti ini?" gumam Maya pelan.

Ia teringat malam-malam panjang ketika mereka bisa berbicara tentang apa saja, dari hal-hal sepele hingga impian mereka di masa depan. Tapi kini, pembicaraan mereka terasa seperti rutinitas kosong, penuh basa-basi tanpa makna.

Keesokan harinya, Maya memutuskan untuk tidak langsung menyudahi semuanya. Ia ingin memastikan bahwa kecurigaannya bukan hanya sekadar perasaan berlebihan.

Maya menghubungi Karin, sahabat yang selalu ia percaya.

"Halo, Rin? Bisa ketemu sebentar? Aku butuh curhat," kata Maya, suaranya terdengar lebih tenang daripada yang ia rasakan.

"Tentu bisa! Ada apa, May? Kamu kedengarannya lagi banyak pikiran," jawab Karin dari seberang telepon.

Di sebuah kafe kecil di sudut kota, Maya duduk bersama Karin, menceritakan semua yang terjadi dalam beberapa hari terakhir.

"Aku tahu Arya sibuk. Aku tahu pekerjaan kadang menyita waktu. Tapi, entah kenapa aku merasa... dia menjauh. Dan yang paling aneh, aku merasa dia menyembunyikan sesuatu," Maya menjelaskan, menatap cangkir kopinya.

Karin mengernyitkan alis. "Kamu yakin ini bukan cuma perasaan kamu aja, May? Kadang kalau kita terlalu sayang sama seseorang, kita jadi lebih sensitif."

"Aku pikir begitu juga, awalnya," Maya menarik napas panjang. "Tapi semalam aku nemu struk restoran. Ada nama wanita di sana. Sinta."

Karin mencondongkan tubuhnya, nada suaranya menjadi lebih serius. "Sinta? Siapa dia?"

"Arya bilang dia cuma kolega. Tapi... kenapa dia nggak pernah cerita soal dia?" Maya menggeleng, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di matanya.

Karin terdiam sejenak, lalu menyentuh tangan Maya. "May, aku nggak mau kamu buru-buru mengambil kesimpulan. Kalau memang ada sesuatu yang nggak beres, kamu harus tahu kebenarannya dulu. Jangan bertindak berdasarkan asumsi."

"Tapi bagaimana caranya? Aku nggak bisa terus-terusan begini, Rin. Aku capek bertanya tanpa jawaban."

Karin berpikir sejenak, lalu berkata pelan, "Coba amati lagi, May. Kalau memang ada yang dia sembunyikan, cepat atau lambat, kamu akan menemukannya. Tapi kamu harus siap untuk menghadapi apa pun yang kamu temukan nanti."

Malam itu, Maya kembali pulang dengan perasaan yang bercampur aduk. Ia berusaha menata pikirannya, tetapi kecurigaan itu sudah menancap dalam di hatinya.

Saat Arya pulang, Maya memperhatikan setiap gerak-geriknya. Ia mencoba mencari tanda-tanda kecil-apakah Arya gugup, apakah Arya menghindari kontak mata, atau mungkin menyembunyikan sesuatu.

Tapi Arya tetap tenang, bahkan sempat menceritakan sesuatu tentang pekerjaannya di kantor.

"Hari ini banyak banget meeting. Kepala sampai pusing, May," katanya sambil meregangkan otot bahunya.

Maya hanya tersenyum tipis. "Aku masak sup favorit kamu. Mau sekarang atau nanti makannya?"

Arya menatapnya dan tersenyum kecil. "Sekarang aja, lapar banget."

Namun, di balik senyum itu, Maya merasa ada sesuatu yang disembunyikan. Entah apa, tetapi ia tahu retakan kecil ini akan segera membesar.

Di kamar, Maya berjanji pada dirinya sendiri. "Aku akan cari tahu kebenarannya. Apa pun itu."

Bersambung...

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh MASPANG

Selebihnya

Buku serupa

Cinta yang Tersulut Kembali

Cinta yang Tersulut Kembali

Calli Laplume
4.9

Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku