Seorang pria yang menjalani hubungan jarak jauh dengan kekasihnya tergoda oleh rekan kerja barunya. Saat rahasia perselingkuhannya terungkap, ia harus menghadapi kenyataan bahwa cintanya yang sesungguhnya mungkin telah hilang.
Ardi duduk di meja kerjanya, menatap layar komputer yang masih kosong. Matanya melayang ke samping, menatap ponsel yang tergeletak di meja. Ia tahu, ada satu pesan yang harus dibalas. Pesan dari Nia, kekasihnya yang berada ribuan kilometer jauhnya. Hubungan jarak jauh yang mereka jalani semakin terasa berat, meski mereka berdua berusaha sebaik mungkin untuk mempertahankan rasa yang ada.
Suara ketukan pintu membuat Ardi tersadar dari lamunannya. Rekan kerjanya, Sarah, memasuki ruangan dengan senyum lebar di wajahnya.
"Ardi, sudah lama banget kamu nggak nongkrong bareng kami. Ada acara malam ini, ayo ikut!" ajak Sarah, sambil menyodorkan segelas kopi ke meja Ardi.
Ardi tersenyum canggung. "Ah, Sarah, aku nggak bisa deh. Aku ada janji sama Nia malam ini," jawabnya, sambil melihat ponsel lagi.
"Janji? Sama pacar kamu yang jauh itu?" tanya Sarah, sedikit mengejek. "Kamu nggak merasa tertekan gitu? Jaraknya jauh, dan hubungan kayak gitu... susah, kan?"
Ardi menatap Sarah, sedikit terkejut dengan pernyataan langsungnya. "Maksud kamu apa, Sarah?" tanyanya, merasa agak tersinggung.
Sarah terkekeh. "Gini loh, Ardi. Aku cuma mikir, kamu nggak pernah bercerita tentang kesulitan hubungan jarak jauh itu. Sepertinya, kamu selalu terlihat baik-baik saja. Padahal, setiap hubungan pasti ada sisi yang rumit."
"Hubungan aku dengan Nia nggak rumit," jawab Ardi dengan cepat. "Kami cuma... ya, beda jarak aja. Tapi, itu nggak membuat aku kehilangan rasa."
Sarah memiringkan kepala, menatap Ardi dengan tatapan tajam. "Mungkin kamu nggak merasa, tapi kalau kita sering terpisah, lama-lama perasaan itu bisa pudar, Ardi. Nia pun pasti merasakannya."
Ardi merasa sedikit risih mendengar kata-kata Sarah. Ia tahu Sarah mungkin hanya peduli, tetapi hatinya tetap terpaku pada Nia. "Aku akan tetap setia, Sarah. Kamu nggak perlu khawatir," jawabnya, sedikit menghindar dari percakapan yang makin membuatnya cemas.
Saat Sarah pergi, Ardi kembali menatap ponselnya. Ia membuka pesan dari Nia yang baru saja masuk.
Nia:
"Ardi, aku kangen banget. Kapan kita bisa ketemu lagi?"
Ardi menatap layar ponselnya, merasa rindu yang sama. Ia menulis balasan, mencoba memberikan kata-kata yang manis agar Nia merasa lebih tenang.
Ardi:
"Aku juga kangen, Nia. Aku janji, segera mungkin kita akan bertemu. Sabar ya, sayang."
Setelah mengirim pesan, Ardi kembali merenung. Sarah benar juga, kan? Hubungan jarak jauh ini memang berat. Meskipun ia berusaha untuk tetap setia, tekanan itu datang begitu saja, tanpa bisa ia hindari. Bahkan, perasaan yang muncul untuk Sarah, meskipun ia berusaha untuk menepisnya, membuatnya merasa lebih bingung lagi.
Malam itu, setelah menyelesaikan pekerjaan, Ardi duduk di ruang tamunya, menatap pesan video dari Nia yang baru saja masuk. Wajah Nia yang cerah, meskipun hanya melalui layar, tetap bisa menghangatkan hatinya. Mereka berbicara, saling berbagi cerita tentang hari-hari mereka, tetapi perasaan cemas di hati Ardi semakin menguat.
Nia:
"Ardi, kenapa kamu terlihat capek? Apa semuanya baik-baik saja?"
Ardi tersenyum lemah. "Aku baik-baik saja, sayang. Cuma... kadang aku merasa tertekan, kamu tahu kan, dengan jarak yang jauh ini?"
Nia mengangguk, meskipun tidak bisa terlihat jelas. "Aku tahu, Ardi. Aku merasakannya juga. Tapi, kita pasti bisa melewati ini. Kita sudah berjanji, kan?"
Ardi menarik napas panjang. "Iya, kita janji," jawabnya, meskipun hatinya masih terasa berat.
Setelah percakapan itu, Ardi meletakkan ponsel di meja dan kembali ke rutinitasnya. Tentu saja, dia sangat mencintai Nia. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang mulai ragu. Sesuatu yang membuatnya merasa tertekan dan ingin mencari pelarian dari perasaan itu.
Keesokan harinya, Ardi kembali ke kantor dengan perasaan yang berat. Sarah sudah menunggu di meja kerjanya, memberi senyum lebar begitu melihat Ardi datang.
"Kamu semalam baik-baik aja?" tanya Sarah, membuka percakapan dengan santai.
Ardi mengangguk. "Iya, cuma... nggak tahu kenapa, belakangan ini aku merasa sedikit tertekan."
Sarah mengerutkan kening. "Tentang Nia?"
"Ya, tentang Nia, tentang hubungan ini, tentang... banyak hal," jawab Ardi jujur. "Kadang aku merasa ada yang hilang."
Sarah menatap Ardi, lalu duduk di kursi sebelahnya. "Ardi, kamu tahu, kita semua butuh waktu untuk diri sendiri, untuk mencari apa yang kita inginkan. Aku nggak bisa menyarankan banyak hal, tapi kamu harus tahu apa yang benar-benar membuat kamu bahagia."
Ardi terdiam. Kata-kata Sarah menggema di pikirannya. Ia merasa terperangkap antara menjaga hubungan yang sudah lama dijalani dan perasaan baru yang mulai tumbuh. Tetapi, yang lebih mengganggunya adalah kenyataan bahwa perasaan itu tidak datang dari Nia.
Malam itu, setelah jam kantor selesai, Ardi duduk sendiri di apartemennya. Pikirannya melayang, dan sekali lagi ia membuka pesan-pesan lama dari Nia. Dia merasa kesepian meskipun dikelilingi banyak orang, dan perasaan itulah yang membuatnya semakin terjerat dalam kebingungannya.
"Apa yang harus aku lakukan?" bisiknya, menyadari bahwa hubungan yang awalnya begitu kuat kini terasa semakin rapuh.
Namun, belum ada jawaban pasti. Hanya keheningan yang memenuhi ruang kosong dalam hatinya.
Keesokan harinya, Ardi merasa sedikit lebih baik setelah berbicara dengan Sarah. Walaupun kata-kata rekannya itu terus menghantui pikirannya, ia berusaha untuk tetap fokus pada pekerjaannya. Namun, sesuatu yang berbeda terasa di dalam dirinya-sebuah rasa cemas yang semakin membesar.
Pukul dua siang, ketika Ardi sedang sibuk dengan laporan, sebuah pesan masuk di ponselnya. Ternyata, itu pesan dari Nia.
Nia:
"Aku baru saja mendapat tiket pesawat, Ardi. Aku akan datang minggu depan!"
Hati Ardi berdebar. Senyum yang selama ini ia tahan akhirnya muncul. Meski jarak memisahkan mereka, Nia selalu menemukan cara untuk mengejutkannya dengan kebahagiaan kecil seperti ini. Namun, di balik senyum itu, ada perasaan lain yang mulai menyelinap-rasa ragu yang semakin sulit untuk diabaikan.
Ardi membalas pesan itu dengan cepat, mencoba tidak menunjukkan kegelisahannya.
Ardi:
"Kamu serius? Wah, aku nggak sabar. Aku akan menunggu dengan sabar!"
Namun, setelah mengirimkan pesan itu, Ardi duduk sejenak, menatap layar ponselnya. Sesuatu terasa ganjil. Walaupun Nia akan datang, perasaan hampa itu tak kunjung pergi. Mungkin, seperti yang dikatakan Sarah, hubungan ini memang sudah mulai terasa berat. Jarak, meskipun tidak terlihat, kini terasa begitu nyata di hatinya.
Saat itu, Sarah muncul di pintu ruangannya, mengetuk pelan. "Hei, Ardi, aku mau ngajak kamu makan siang. Kalau kamu nggak sibuk, ayo keluar."
Ardi menghela napas, mencoba mengusir kegelisahan dalam hatinya. "Ayo, Sarah. Aku bisa butuh pelarian sebentar."
Mereka berjalan keluar kantor menuju sebuah kafe yang tidak jauh dari tempat mereka bekerja. Sarah terus bercerita tentang berbagai hal, mulai dari gosip di kantor hingga cerita-cerita lucu tentang teman-temannya yang sedang berkencan. Ardi hanya mendengarkan dengan setengah hati, pikirannya masih terjebak di tempat lain.
Sarah menyadari bahwa Ardi tidak sepenuhnya ada dalam percakapan itu, jadi ia berhenti sejenak dan memandangnya. "Ardi, kamu nggak mendengarkan aku, ya?" tanya Sarah dengan nada serius. "Ada apa sih? Kamu kelihatan nggak biasa."
Ardi menundukkan kepala, terdiam. Ia tahu, Sarah tidak akan membiarkannya pergi begitu saja. Setelah beberapa detik, ia akhirnya berbicara, mencoba membuka sedikit pintu hatinya. "Aku... merasa kebingungan, Sarah. Hubungan aku dengan Nia... aku nggak tahu lagi. Semakin lama, aku merasa semakin tertekan. Aku tahu itu bukan karena dia, tapi lebih ke aku yang nggak bisa bertahan dengan jarak ini."
Sarah mengerutkan dahi, mendengarkan dengan seksama. "Tapi kamu masih mencintainya kan?" tanyanya lembut.
Ardi mengangguk pelan, tetapi ada keraguan dalam tatapannya. "Iya, aku mencintainya, Sarah. Tapi aku juga merasa ada hal lain yang mulai berkembang... di sini." Ia menyentuh dadanya, di mana hatinya seakan dipenuhi dengan keraguan.
Sarah menatap Ardi dengan tatapan yang campur aduk-antara kasihan dan khawatir. "Ardi, kamu nggak bisa terus-menerus berlarian dari perasaan kamu. Kalau ada yang mengganggu kamu, lebih baik kamu hadapi sekarang. Jangan sampai kamu menyesal."
Ardi terdiam. Kata-kata Sarah memang benar, tapi hatinya terasa semakin berat. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi. Pada satu sisi, ia tahu Nia adalah orang yang tepat, namun di sisi lain, ia merasa ada sesuatu yang hilang dalam hubungan mereka.
Saat makan siang selesai, Sarah mengajak Ardi untuk kembali ke kantor. Di jalan pulang, Ardi merasa sedikit lebih lega setelah berbicara, meskipun kebingungannya masih ada. Sesampainya di kantor, ponselnya berbunyi lagi. Kali ini, dari Nia.
Nia:
"Aku benar-benar nggak sabar untuk ketemu, Ardi. Kamu sudah mempersiapkan semuanya?"
Ardi menatap pesan itu dengan berat hati. Ia tahu, Nia sudah sangat menantikan kedatangannya. Nia begitu tulus, dan ia merasa bersalah jika harus mengungkapkan keraguan yang ada dalam dirinya.
Ardi:
"Aku sudah mempersiapkan semuanya, sayang. Aku akan menjemputmu di bandara, dan kita akan menghabiskan waktu bersama. Aku janji."
Namun, saat pesan itu terkirim, hati Ardi terasa lebih kosong daripada sebelumnya. Ia mencoba mengabaikan perasaan itu, tetapi setiap kata yang dikirim Nia semakin terasa sebagai beban.
Malam itu, setelah berjam-jam berusaha fokus pada pekerjaan, Ardi pulang ke apartemennya yang sunyi. Ia duduk di sofa, menatap ponsel, dan kemudian memutuskan untuk menelpon Nia. Suara Nia yang riang terdengar begitu menenangkan, tetapi Ardi merasa ada sesuatu yang mengganjal.
"Sayang, aku kangen banget," kata Nia di ujung telepon, terdengar sangat antusias. "Aku nggak sabar buat ketemu kamu."
Ardi tersenyum lemah, tetapi ada rasa sesak di dadanya. "Aku juga kangen, Nia. Semua ini pasti akan baik-baik saja."
Namun, di dalam dirinya, Ardi tahu bahwa jawabannya tidak sepenuhnya jujur. Mungkin, ia hanya mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa hubungan ini bisa bertahan, meski tanpa menyadari bahwa dirinya sudah semakin jauh tersesat dari jalan yang seharusnya.
Begitulah Ardi menjalani hari-harinya, terjebak dalam hubungan yang seharusnya penuh dengan cinta, namun kini terasa semakin terjal dan penuh dengan keraguan. Ketika ia merasa kesulitan untuk mengatasi perasaannya sendiri, ia harus menghadapi kenyataan bahwa hubungan jarak jauh ini mungkin bukan satu-satunya tantangan yang harus ia hadapi.
Perjalanan Ardi baru saja dimulai, dan ia tidak tahu seberapa jauh ia akan tersesat.
Bersambung...
Buku lain oleh MASPANG
Selebihnya