Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Dalam sebuah pernikahan hal utama yang diminta adalah sebuah kebahagiaan.
Namun apalah daya, jika sebagai seorang istri tugasnya hanya patuh dan taat kepada seorang suami. Bahkan disaat posisi suami yang diharuskan untuk merawat serta serumah dengan kedua orang tuanya. Istri sekali lagi harus mengekor dibawah titah sang suami. Meski ke dua mertua terlihat baik hati, tapi ada saatnya posisi sebagai menantu tetap tak sesuai di mata mereka, tentu saja seorang menantu harus pandai-pandai memilih sikap.
Pada akhirnya kenyaman seutuhnya tidak akan pernah didapat oleh seorang istri tersebut. Syukur jika dia kuat dan tidak merasa depresi.
Lebih baik mengontrak daripada harus serumah dengan mertua. Rasa nyaman belum tentu didapat oleh seorang istri dengan mertua yang tinggal serumah dengannya.
***
Tok, tok, tok!
Pagi buta, pintu kamarku sudah riuh karena seseorang mengetuknya.
“Salwa! Ayo bangun! Sholat subuh lalu masak!” Suara perempuan terdengar dari balik pintu kamarku. Aku mencoba membuka mata perlahan.
Tok, tok, tok!
Ketukan pintu semakin keras terdengar.
“Salwa, Lutfan! Bangun!” Kembali suara itu terdengar memanggil-manggil nama kami.
Aku terperanjat dan segara bangun, tak lupa kugoncangkan tubuh mas Lutfan yang masih tertidur di sebelahku untuk membangunkannya.
“Mas, bangun Mas.” Mas Lutfan hanya melihat sesaat dan kembali terpejam.
“Ya ampun! Salwa, bangun! Kamu mau masak ‘kan?”
Suara dibalik pintu semakin lantang terdengar. Suara itu milik ibu mertuaku. Sudah berulang kali kami katakan agar tidak membangunkan sepagi ini. Namun tetap saja beliau melakukannya.
Ya, sekarang baru saja selesai adzan subuh, sekitar pukul setengah lima. Bagi kami jam segitu masih sangat pagi, mengingat toko tempat usaha dibuka sekitar pukul delapan.
“Mas, bangun Mas. Ibu sudah membangunkan kita.” Aku masih berusaha untuk membangunkan mas Lutfan.
“Biarin aja. Masih pagi banget. Masih ngantuk.” Dengan enteng mas Lutfan mengatakannya.
Tok, tok, tok!
Suara ketukan pintu kembali terdengar. Kini semakin kencang.
“Iya, Bu!” Segera kulontarkan kalimat tersebut, sebelum suara beliau kembali terdengar di telingaku.