Cinta yang Tersulut Kembali
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Mantanku yang Berhati Dingin Menuntut Pernikahan
Balas Dendam Manis Sang Ratu Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta di Jalur Cepat
Gairah Liar Pembantu Lugu
Jangan Main-Main Dengan Dia
Mantan Istri Genius yang Diidamkan Dunia
Suamiku Ternyata Adalah Bosku
Mariana menggenggam sprei di bawahnya sambil mendesah pelan, tubuhnya bergetar dalam sensasi yang menghangatkan setiap inci kulitnya. Ia menggigit bibirnya, menahan gejolak yang semakin intens dari sentuhan Isaac.
Pria itu bergerak dengan ritme yang semakin dalam, membuat napas Mariana tersengal, dadanya naik turun mengikuti gerakan mereka yang begitu selaras. Jemari Isaac menelusuri lekuk tubuh Mariana dengan penuh penguasaan, seolah setiap bagian dari dirinya adalah sesuatu yang ingin ia hafalkan kembali, sesuatu yang ingin ia miliki lagi sepenuhnya.
Keringat membasahi tubuh mereka, menjadikan kulit mereka licin dan lebih peka terhadap sentuhan. Rambut Mariana yang lepek menempel di dahi dan leher jenjangnya, sesekali Isaac menyibakkan helai rambut yang menghalangi wajahnya, memperlihatkan ekspresi Mariana yang begitu rapuh namun sekaligus begitu kuat dalam momen itu.
Tatapan mereka bertemu dalam cahaya temaram kamar hotel, menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar nafsu, lebih dari sekadar pertemuan dua mantan kekasih yang kembali terjerat dalam satu sama lain.
Isaac menundukkan wajahnya, bibirnya meluncur di sepanjang leher Mariana, meninggalkan jejak panas yang membuat wanita itu merintih tanpa sadar. Mariana membalas dengan menarik tubuh pria itu lebih erat, seolah enggan ada celah di antara mereka, seolah ingin melebur dalam kebersamaan yang hanya mereka mengerti. Jemari Mariana menelusuri punggung Isaac, merasakan setiap lekukan otot yang menegang di bawah sentuhannya.
Gerakan mereka semakin cepat, semakin intens, seolah tak ingin berakhir. Napas mereka memburu, desahan tertahan dalam bibir yang saling memburu, menggali kenangan dan merasakan kembali apa yang pernah mereka miliki. Dalam satu tarikan napas panjang, tubuh mereka menegang, lalu perlahan melepaskan segala gejolak yang sempat mendesak dada mereka.
Mereka terbaring diam setelahnya, saling menatap dengan pandangan yang tak bisa diartikan. Napas masih tersengal, detak jantung masih memburu, namun keheningan mulai menyelimuti kamar hotel yang menjadi saksi bisu pertemuan mereka. Mariana melirik ke sisi ranjang, melihat Isaac yang terdiam, ekspresinya sulit ditebak. Matanya yang tajam, biasanya dipenuhi kepercayaan diri, kini penuh kebimbangan.
Mariana menoleh ke arah pria itu, menelusuri wajahnya yang masih ia hapal di luar kepala. Seolah tak ada jarak waktu di antara mereka, seolah tidak pernah ada perceraian yang memisahkan mereka. Namun, kenyataan berkata lain.
"Kau tahu kita tidak seharusnya melakukan ini, bukan?" suaranya terdengar lirih, hampir tenggelam dalam kesunyian kamar.
Isaac menghela napas panjang. Ia memiringkan tubuhnya, menatap Mariana sebelum akhirnya kembali menelentang, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Tangannya terangkat, jari-jari mengusap pelan cincin pertunangan yang masih melingkar di jari manisnya.
"Tentu saja," jawabnya dengan suara berat.
Keheningan kembali melingkupi mereka. Hanya suara samar dari AC kamar yang berhembus pelan, menemani keheningan yang begitu menyesakkan. Mariana menggigit bibirnya, mencoba menenangkan gejolak di dadanya. Ia tidak boleh terbawa emosi. Ini bukan pertama kalinya mereka bertemu setelah perceraian, tapi ini pertama kalinya mereka melangkah terlalu jauh.
Pakaian mereka berserakan di lantai. Seakan menjadi saksi bisu dari kesalahan yang baru saja mereka lakukan.
Mariana menutup wajahnya dengan kedua tangan, mencoba mengatur pikirannya yang kacau. Dua bulan lalu, ia tidak pernah membayangkan akan berada dalam situasi seperti ini. Bertemu kembali dengan Isaac dalam kondisi yang tidak biasa. Tidak sebagai suami-istri, tapi sebagai klien dan wedding organizer.
Isaac telah bertunangan dengan Giselle . Pernikahan mereka sudah direncanakan. Gedung telah dipesan, dekorasi telah ditentukan. Segalanya berjalan sesuai rencana, sampai akhirnya Mariana kembali masuk dalam kehidupannya.
Awalnya, pertemuan mereka berjalan profesional. Mariana berusaha bersikap wajar, meski di dalam hatinya ada perasaan asing yang tak bisa ia jelaskan. Namun, semakin sering mereka bertemu, semakin sulit baginya untuk mengabaikan kenyataan bahwa perasaannya pada Isaac tidak sepenuhnya mati.
Dan kini, setelah malam ini, Mariana tahu. Perasaan itu tidak hanya sekadar kenangan.
"Ini salah." Mariana berbisik, lebih kepada dirinya sendiri. "Kita tidak boleh mengulanginya."
Isaac tidak segera menjawab. Ia masih menatap langit-langit, seakan mencari jawaban di antara garis-garis yang membentuk pola di permukaannya.
"Aku tahu," akhirnya ia berkata, suaranya terdengar lelah. "Tapi aku tidak bisa mengabaikan apa yang kurasakan."
Mariana menelan ludahnya. Ia tahu betul apa yang Isaac rasakan, karena ia pun merasakan hal yang sama. Tapi kenyataan tidak bisa diubah hanya karena emosi sesaat.