Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Merebutmu Kembali

Merebutmu Kembali

Mrsunbelievable_

5.0
Komentar
3K
Penayangan
64
Bab

Warning 18+ ! Terdapat unsur kekerasan, kata-kata kasar dan intimidatif serta adegan dewasa lainnya. Blurb : Trauma? Banyak orang yang berusaha untuk sembuh dari trauma, ada juga yang memilih lari dari kenyataan. Masa lalu Chandani yang telah memberikan trauma sangat mendalam, kini muncul kembali. Bahkan sumber trauma tersebut mencoba untuk mempersunting Chandani. *Apakah Chandani akan menyetujui lamaran itu? *Ataukah Chandani akan lari dari kenyataan? Ketika kegelapan menjadi satu-satunya cahaya.

Bab 1 1. Alhamdulillah

Chandani itu seperti berlian. Dia kuat, cantik dan berharga. Cantik tak hanya paras. Ketangguhan dalam menghadapi masalah pun membuatnya tampak mempesona. Itulah yang disebut kecantikan abadi. Kecantikan yang sesungguhnya, kecantikan hati, kecantikan yang tak termakan usia.

***

Ketika kegelapan menjadi satu-satunya cahaya

Sanggupkah dia menerimanya?

_

Chandani tengah berdiri di dekat sebuah kamar pas di dalam sebuah butik. Meski tirainya hanya terbuka sedikit tetapi, dia dapat melihat dengan jelas ke dalam. Matanya nyalang dengan tubuh gemetar. Chandani mengepalkan tangannya kuat hingga buku jarinya memutih. 'Astagfirullahaladzim, Ma.' Hatinya dengan gigi gemeretak. Dia mengumpat pasangan yang tengah berbuat mesum di hadapannya dalam hati.

Hatinya terasa dicabik dan ditarik paksa dari uluhati kala melihat sang ibu yang selama ini dia banggakan tengah bermesraan dengan seorang pemuda. "Kenapa mama tega ngelakuin ini ke papa?" gumamnya meracau.

Chandani Adiratna Bahuraksa dua puluh dua tahun. Gadis muslimah yang berparas cantik pemilik; mata berlian, hidung lurus mancung, dan bibir tebal mirip "Angelina Jolie". Tinggi badan seratus enam puluh sentimeter dengan berat empat puluh tiga kilogram. Wanita bertubuh tinggi kurus itu, baik nun lemah lembut terlihat biasa tetapi, tegar dan tegas dalam menjalani kerasnya kehidupan membuat Chandani tampak mengagumkan.

Chandani bukanlah seorang wanita kuat tetapi, tidak juga lemah. Banyak hal yang telah dia lalui sehingga kehidupan menempa gadis itu menjadi pribadinya saat ini. Berat memang. Masa lalu yang gelap kerap menghantui perjalanan hidupnya, seolah tak rela jika dia lupakan. Bermula dari kejadian pahit di masa silam, kemudian ayahnya sakit keras, dan kini ibunya berselingkuh. Entah cobaan macam apalagi yang menunggunya di depan. Yang bisa Chandani lakukan hanya ikhlas dan tawakal, percaya di setiap cobaan pasti ada hikmahnya.

***

Gadis berhijab itu berjalan terhuyung-huyung meninggalkan mereka yang tengah asik bercinta. Kakinya terasa lemas, terasa ada beban berat yang menggelayut di betis. Chandani tak menyangka ibunya akan melakukan hal sekeji ini. Ibunya yang pendiam ternyata memiliki rahasia yang menjijikan. Apa yang harus Chandani lakukan sekarang? Apakah dia harus melaporkan semuanya kepada ayahnya?

Entahlah ....

Mana tega Chandani melakukan itu. Jika dia sampai memberitahu ayahnya pasal hal yang baru diketahuinya ini, sama saja dia ingin membunuhnya. Sang ayah tengah sakit keras, tentu Chandani takut akan memperburuk kondisi Darma-ayahnya jika sampai dia mengatakan kenyataan pahit ini.

"Assalamualaikum." Chandani memasuki rumah.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab Alia. "Teteh udah pulang? Katanya bakal pulang malam, kok masih sore udah pulang?"

Alia Kanaya Bahuraksa, lima belas tahun. Adik satu-satunya Chandani. Gadis remaja yang bersurai panjang itu memiliki kontur wajah tak jauh berbeda dari sang kakak. Alia cantik dengan bentuk wajah oval, mata monolid, hidung lurus, dan bibir tebal. Tinggi badan seratus lima puluh empat sentimeter dengan berat empat puluh dua kilogram, tubuh Alia agak berisi.

"Iya, Dek. Kebetulan kerjaan Teteh selesai cepet tadi. Alhamdulillah, Teteh, bisa pulang cepat. Gimana keadaan papa?"

"Papa habis makan tadi, sekarang sudah tidur."

"Syukurlah." Chandani memalsukan senyuman.

"Teteh, kenapa?" Alia menatap Chandani penuh selidik. Dia melihat mata kakaknya yang sedikit sembab. "Teteh, abis nangis yah?"

Chandani cepat menggeleng. "Nggak, Teteh, nggak nangis, kok." Mulutnya melengkung membentuk senyuman.

"Bohong!" tukas Alia. "Teteh, pasti abis nangis kan?" Sekali lagi Alia menatap kakaknya dengan penuh rasa penasaran.

"Sudahlah. Itu nggak penting. Mending kamu istirahat, gih. Kamu pasti cape habis jagain papa seharian." Tangan Chandani membelai lembut pipi adik semata wayangnya tersebut.

"Hoam." Alia menguap lalu merenggangkan tubuhnya. Benar yang dikatakan kakaknya. Dia memang lelah setelah seharian menjaga ayahnya yang lumpuh. "Teteh bener. Lebih baik aku istirahat sekarang. Aku ke kamar dulu, yah?"

"Hmm." Chandani mengangguk. "Nanti kalo makan malam sudah siap, Teteh bangunin kamu, yah?"

"Sipp." Alia tersenyum seraya mengacungkan kedua jempolnya lalu pergi memasuki kamar.

Chandani duduk di sofa. Dia menyandarkan punggungnya malas ke punggung sofa. Wajah Chandani menengadah, menatap kosong ke langit-langit rumah. Yang dia lihat di butik tadi sungguh mengejutkan. Chandani merasa sangat syok dan kecewa. 'Ya Allah, apa yang harus aku lakukan?' Hatinya.

Bendungan di pelupuk yang coba dia tahan pun akhirnya jebol. Chandani terisak.. Dia membekap mulutnya dengan bantal sofa agar dapat meredam suara, supaya ayah dan adiknya tak dapat mendengar tangis lirihnya kini.

Chandani menggigit bibirnya dengan tangan mencengkram kuat kulit sofa. Ingin rasanya dia memukuli seseorang untuk melampiaskan kemarahan.

Kabut kelabu semakin tampak gelap menyelimuti kehidupan Chandani. Seolah takkan ada cahaya terang. Seolah hidupnya ditakdirkan gelap seumur hidup. "Ya Allah, kuatkan hambaMu yang payah ini."

***

Pagi menyapa dengan hangat. Sinar kuning keemasan menerangi setiap sudut rumah melalui celah jendela yang dibuka. Embun bening bak berlian tampak berkilauan kala terpapar sinar sang surya. Tak luput pula kabut putih yang mengambang di udara membuat dingin suasana pagi terasa merasuk ciri khas di kota Kembang. Di tengah kesejukan pagi, Chandani dan Alia tampak sibuk berkutat di dapur menyiapkan sarapan untuk keluarga tercintanya.

"Pagi, Sayang," sapa Miranda. Dia mengecup kening kedua putrinya bergantian.

"Pagi, Ma." Alia tersenyum manis kepada sang ibu.

"Pagi." Chandani berusaha bersikap biasa saja meski bayangan pengkhianatan ibunya terus saja menari-nari dalam ingatan.

Mereka bertiga pun duduk mengitari sebuah meja bundar dan mulai menikmati sarapan.

"Sayang, hari ini, Mama, pulang malam lagi. Akan ada investor penting datang ke butik." Miranda melemparkan senyuman manis ke arah kedua putrinya.

"Hmm." Chandani memanggukan kepala. Dia merasa curiga. 'Investor kok datangnya malam-malam?' Batinnya.

"Dek, tolong jagain papa lagi, yah," kata Miranda.

"Siap, Ma!" Alia mematuhi perintah ibunya.

Chandani segera bangkit dari duduk dengan kasar. "Maaf, aku harus berangkat sekarang. Assalamualaikum." Dia menyandang tas selempangnya lalu beranjak pergi.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," balas keduanya bersamaan.

"Teteh kenapa?" tanya Miranda kepada Alia.

"Nggak tau." Alia mengangkat sebelah bahunya sambil memonyongkan bibir.

Miranda hanya menggeleng, dia tak menanggapi dengan serius sikap putri sulungnya itu. Mereka pun kembali fokus menikmati menu sarapannya.

"Canda, Kuy." Alisia yang menyadarkannya Chandani dari lamunan.

"Em? Apa?" Chandani mendongak menatapnya yang duduk di depan meja kerja.

"Lo napa sih? Pagi ini gue perhatiin ngelamun terus. Lo lagi sakit?" Alisia.

"Nggak, kok." Chandani tersenyum lalu sepersekian detik kemudian wajahnya menampakan keraguan. "Aku cuma lagi mikirin presentasi nanti. Aku kuatir investor kita nggak suka." Air muka Chandani tampak gundah.

"Eeleh ... kirain ada apa." Alisia menyeringai lega. "Santai saja kali, Sis. Fokus. Karena kalo lo gugup, sebagus apa pun proposal yang lo presentasikan, pasti bakalan jadi buruk. So, kuncinya hanya satu, lo harus rileks." Dia menasihati.

"Kamu benar, Lis. Aku harus rileks. Jangan sampai gugup. Makasih ya, Lis, udah ingetin aku. Semoga presentasi nanti berjalan lancar dan kita bisa menandatangani kontrak kerjasama dengan KPG. Amin."

"Amin." Alisia menelungkupkan kedua telapak tangannya ke muka.

Chandani pun menghela nafas panjang, lalu kembali pusat membaca lembar demi lembar map di hadapannya.

"Jangan lupa nanti ngucap Bismillah ye, Sis." Alisia.

"Pasti. Insyaallah." Chandani.

"Semangat, Sistah!" Alisia tersenyum puas kala berhasil mendokterin Chandani.

Tak berapa lama, terdengar suara pintu diketuk lalu Mirna pun masuk.

"Kak Canda, para tamu kita udah datang, tuh," lapor Mirna.

"Oke." Chandani segera bangkit dari duduknya. "Aku ke ruang rapat dulu, Lis."

"Sip." Alisia mengacungkan jempolnya. "Awas! jangan gugup ye, Sis." Alisia mengingatnya.

"Hmm." Chandani mengangguk dengan tegas lalu dia pun beranjak pergi.

Dikarenakan ayahnya sakit. Maka Chandani lah yang kini mengambil alih perusahaan tekstil yang dipimpin sang ayah. Hari ini merupakan hari penting bagi wanita muda itu. Karena hari ini dia akan kedatangan seorang investor besar sekaligus pemilik perusahaan multinasional raksasa di negerinya.

"Selamat pagi semuanya," sapa Chandani dengan senyum ramah untuk kesopanan.

"Pagi." Tampak satu orang pria dan dua orang perempuan yang berada di ruangan tersebut membalas sapaan Chandani bersamaan.

Lalu seorang pria bernama Andy pun gegas berdiri. "Bu Chandani, mohon maaf, Tuan Aldebaran nggak bisa mengikuti rapat lagi. Beliau ada pertemuan penting dengan Pak Menteri. Tapi sebelum saya berangkat tadi, beliau mengatakan akan menyaksikan via virtual."

"Oh silakan, Pak. Mau lewat sambungan apa, Gmeet atau Zmeet? Biar saya sediakan." Chandani.

"Nggak usah, Bu. Gapapa lewat ponsel saya saja."

"Oh ya sudah kalo gitu." Chandani paham. "Baiklah, kita akan mulai presentasinya."

Andy pun menyalakan Zmeet pada ponselnya. Namun, si pendengar di sisi lain menyetel camera off. Sehingga hanya visual Chandani yang akan tampak di sana.

"Saya yakin semuanya sudah membaca proposal yang saya berikan dua hari yang lalu." Chandani.

Semuanya mengangguk mengiyakan.

Chandani pun mulai menjelaskan.

Proposal itu menyangkut tentang perencanaan pengembangan dan pemasaran produk. Selama ini Istana Tekstil yang dipimpin Chandani hanya mencukupi kebutuhan kain di dalam negeri. Namun, kali ini Direktur Utama Muda itu ingin memasarkan produk kain dari perusahaannya ke luar negeri. Chandani merasa kualitas kain produksi dari perusahaannya cukup baik dan memenuhi syarat sebagai barang untuk ekspor. Target pemasaran produk Istana tekstil meliputi negara-negara di Asia Tenggara dan untuk customer-nya, dia menargetkan perusahaan-perusahaan garment. Mengingat pertumbuhan perusahaan garment kini yang semakin hari kian bertambah banyak.

"Biaya proyek dan laba ruginya sudah tercantum dengan jelas di dalam proposal yang kalian pegang. Prospek investasi ini akan menguntungkan jika semuanya berjalan sesuai rencana. Saya akan mengawasi semua prosesnya dengan ketat. Saya nggak akan mengecewakan kalian, Insyaallah."

Mata ketiga pendengar itu terlihat berbinar. Bekerjasama dengan Istana Tekstil sungguh menjanjikan. Ditambah lagi Direktur Utamanya yang cerdas lagi santun. Seketika membuat mereka langsung mempercayai Chandani dan tertarik untuk berinvestasi.

Zmeet pada ponsel Andy sudah terputus dan beberapa saat kemudian, dia pun menerima pesan singkat dari sang bos.

"Tuan Aldebaran baru saja mengirimkan pesan singkat. Beliau mengatakan semakin tertarik untuk menjalin kerjasama dengan Istana Tekstil."

"Benarkah?" Wajah Chandani tampak cerah. Dia tak menyangka kalau seorang pebisnis besar seperti Aldebaran akan tertarik berinvestasi di perusahaan kecilnya. Entah ini keberuntungan atau apa? Namun, Chandani amat bersyukur untuk itu.

"Tuan memimta saya untuk segera membawakan formulir kerjasama kita."

"Masyaallah." Mimik wajah Chandani langsung menampakan kegembiraan. "Baik, Pak. Setelah ini saya akan mempersiapkan segalanya lalu mengirimkan langsung ke kantor KPG," tuturnya dengan pasti.

"Baik, Bu."

'Alhamdulillah.' Batin Chandani berbunga-bunga.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku