Kehidupan Arina seketika berubah, tepat setelah ia memasuki rumah majikan sang ibu. Kesakitan dan kesedihan yang ia rasakan, bercampur menjadi satu. Arina tak menyangka bahwa keinginannya untuk bisa melanjutkan pendidikan di universitas ternama di ibu kota Jakarta, malah membuat ia masuk ke dalam keluarga kaya raya tempat sang ibu bekerja sebagai seorang pelayan. Arina tidak pernah menduga bahwa kehadirannya di rumah besar itu malah membuat pemilik rumah tersebut tertarik kepadanya, padahal pria itu sudah memiliki seorang istri yang sangat cantik dan menawan. Sangat berbanding terbalik dengan penampilan Arina yang sangat sederhana. Akankah Arina bahagia? Bagaimana kisah selanjutnya? Ikuti terus cerita ini sampai selesai ya!
Arina melangkah dengan sangat perlahan sambil membawa nampan yang berisi secangkir kopi hitam dan sepiring makanan ringan. Jantungnya berdegup sangat kencang kala kedua kakinya telah berada tepat di depan sebuah pintu kokoh berwarna coklat tua.
Sejenak keraguan menyelimuti dirinya, bukan hanya itu saja, akan tetapi rasa takut dan gugup untuk mengetuk pintu ruangan tersebut, muncul begitu saja. Merambat melalui pembuluh darahnya hingga menyebar ke seluruh tubuhnya.
Akan tetapi Arina harus melakukan itu, perintah dari sang ibu membuat ia tak dapat membantahnya.
Dengan sangat hati-hati, Arina mengetuk daun pintu sebanyak tiga kali. Itu pun tak terlalu keras, ia takut malah akan mengganggu orang yang berada di dalamnya.
"Masuk!" Suara bariton seorang pria terdengar dari dalam ruangan tersebut.
Arina sejenak memasukkan kedua bibirnya ke dalam mulut sambil memutar kenop pintu hingga seketika terbuka lebar.
Arina melangkah masuk tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Kepalanya tertunduk dan perlahan menutup kembali pintu tersebut.
Arina masih berdiri di tempatnya, ruangan yang sangat luas dengan cat warna hitam dan sedikit warna merah menyala, menghiasi ruangan tersebut.
"Permisi, Tuan," ujar Arina sedikit gugup seraya menatap ke arah depan.
Seorang pria yang saat ini sedang duduk di sofa sambil memegang sebuah map berwarna hitam, seketika mengangkat wajahnya. Ia terdiam saat sepasang matanya beradu dengan manic mata sebiru lautan.
Terlihat kedua alisnya sedikit bergerak, pasalnya ia sama sekali belum pernah melihat gadis yang saat ini berdiri tepat di hadapannya.
Rok mekar sebatas lutut dan berpadu dengan kaos putih oblong, sangat sederhana. Akan tetapi tak dapat menutupi paras cantik Arina. Pria itu terdiam, matanya menatap sangat tajam. Meneliti setiap lekuk tubuh gadis itu yang tak bisa ia alihkan.
Rafael Benitez, pria pemilik bangunan megah dan sangat luar biasa berkuasa. Bahkan pagarnya saja begitu menjulang tinggi, hingga terlihat seperti sengaja mengisolasi diri dari bangunan lain yang berada di sekitar kediaman tersebut.
Arina seketika menundukkan kepalanya kala mata mereka bertemu. Ia tak mampu menahan lebih lama lagi tatapan tajam bak busur panah yang memiliki ujung runcing berbalut racun yang mematikan.
Rafael tak menjawab perkataan Arina, ia hanya diam sambil memperhatikan gerak-gerik gadis cantik di hadapannya itu. Bahkan saking cantiknya tanpa terpoles make up apapun di wajah berkulit putih itu, mampu membuat pikiran Rafael yang semula penuh dengan dunia pekerjaan, kini seketika hilang dan kosong.
Kini yang ada di dalam otaknya hanyalah wajah Arina seorang. Akan tetapi ia segera menggelengkan kepalanya untuk sesaat agar pikiran aneh yang tiba-tiba menyelinap masuk itu segera enyah dari dirinya.
"Maaf, Tuan. Aku mengantarkan minuman dan makanan Anda," ujar Arina sembari melangkah dengan langkah pelan dan sedikit bergetar.
Rafael masih tetap diam, akan tetapi sepasang bola matanya terus mengamati gerak-gerik Arina. Gadis itu terlihat bersimpuh di lantai saat akan meletakkan cangkir kopi dan juga cemilan untuk Rafael.
Setelah selesai, Arina lantas berdiri dan tetap berada di tempatnya sambil memegang nampan kosong yang menutupi perut ratanya.
Tatapannya tetap tertuju pada sepasang kakinya sendiri kala itu memakai sandal jepit murahan yang ia beli di warung desa tempat ia tinggal sebelumnya.
"Siapa kau?" tanya Rafael pada akhirnya mengeluarkan suara.
Suara berat namun sangat enak di dengar, membuat kepala Arina seperti tersiram air es. Terasa dingin hingga darahnya berdesir hebat untuk sesaat.
"Aku Arina, Tuan," jawab Arina dengan sangat lembut menyapu kuping telinga Rafael hingga pria itu memejamkan kedua matanya sesuatu yang tak kasat mata mulai menggoda dirinya.
"Aku belum pernah melihatmu sebelumnya? Apa kau pelayan baru di kediamanku ini?" tanya Rafael sambil menyandarkan punggungnya dan melempar begitu saja map hitam yang sebelumnya berada di tangannya.
"Aku baru datang dari kampung, Tuan. Ibuku bekerja di sini sangat lama." Arina mengatakan yang sebenarnya. Gadis muda yang tak pernah menginjakkan kaki di kota besar apa lagi di rumah yang sama persis seperti istana itu, merasa gugup dan kikuk.
"Siapa nama ibumu?" sangking banyaknya pelayan yang bekerja di rumahnya, Rafael tak mengingat dengan jelas nama-nama para pelayan itu. Hanya beberapa orang saja, itu pun yang memiliki jabatan di atas pelayan biasa.
"Nunik, Tuan. Tugasnya hanya menyiapkan makanan di rumah ini." Seketika Rafael ber oh ria saja. Ia sangat mengenal wanita paruh baya yang telah bekerja selama puluhan tahun di rumahnya.
"Lantas, kau ingin mengikuti jejak ibumu, begitu?" Arina menggelengkan kepalanya dengan cepat, hal itu membuat Rafael semakin merasa penasaran akan jawaban dari gadis yang sudah sangat menarik perhatiannya sejak pertama kali melihatnya.
"Aku ingin kuliah di kota ini, Tuan. Kebetulan ibu menyuruh aku untuk datang ke sini setelah memiliki biaya," jawab Arina tetap tak berani menatap wajah Rafael.
"Rupanya begitu," ujar Rafael sesaat terdiam dan Arina tak tahu harus berbuat apa saat ini. Ingin sekali ia berlari, akan tetapi ia tak mau kalau Rafael merasa tersinggung dan beranggapan bahwa pria itu tak dihargai.
Akan tetapi secara tiba-tiba, tangan Rafael meraih lengan kanan Arina hingga nampan yang sebelumnya ia pegang, jatuh begitu saja membentur lantai dengan sangat keras dan menimbulkan suara gaduh.
"Ahk...!!" teriak Arina karena terkejut akan kelakuan Rafael dan kini ia jatuh di atas pangkuan pria itu.
"Tu-tuan." Suara Arina terdengar terbata-bata. Jantungnya seketika berdegup kencang seakan ingin mendobrak dadanya dan keluar dari tempatnya.
"Kau terlalu lancang karena telah menarik perhatianku," ujar Rafael yang sama sekali tak dapat dimengerti oleh Arina.
"Maksud Tuan?" Arina sedikit mengelak kala jari besar Rafael mengelus lembut permukaan kulit dan menghirup aroma wangi yang menyebar sempurna.
Tampak terlihat Rafael memejamkan kedua matanya kala ia mendekatkan wajahnya di tangkai mawar merah.
"Tuan, tolong jangan seperti ini," ujar Arina yang sama sekali tak dapat melakukan apapun. Kedua tangannya saling bertautan dan meremas kuat sambil mengalami situasi aneh seperti itu.
"Kau sudah sangat lancang, aku harus memeriksa dirimu terlebih dahulu," jawab Rafael dengan suara yang terdengar begitu berat dan sangat lantang.
Tak banyak berpikir, Rafael langsung menjatuhkan mangsanya ke atas sofa. Buruannya telah tergeletak sempurna.
"Ah...!!" Rasa terkejut tak ada henti-hentinya Arina rasakan. Selama ini ia tak pernah sekalipun berdekatan dengan seorang pria. Teman-temannya hanyalah para gadis-gadis muda di kampung. Ia bahkan tak mengerti tentang pria mana pun.
"Tuan, kau mau apa?" Guratan kepanikan di wajah Arina terlihat begitu jelas. Akan tetapi Rafael malah tersenyum lebar.
Pria itu hanya menampilkan ketenangan dan raut wajah dingin serta datar seperti sebelumnya. Sehingga Arina tak tahu apa yang saat ini dipikirkan oleh Rafael.
"Tenanglah, aku harus mencari tau sesuatu terlebih dahulu," ujar Rafael yang langsung menyibakkan kelopak mawar dan melihat inti sari yang masih tetap tertutup rapat.
Permukaan lembut nan halus kelopak bunga, terasa di telapak tangan Rafael. Salah satu alis matanya tertarik ke atas saat segitiga piramid terlihat lebih membentuk sangat jelas di balik butir-butiran madu yang menggantung menunggu sang kumbang.
Rafael menarik tali pengikat yang berada di kanan dan kiri tangkai penutup mawar. Sontak saja Arina mengarahkan kedua tangannya ke bagian inti sari. Ia menutupinya sambil menggelengkan kepalanya agar Rafael tak melanjutkan apa yang pria itu ingin lakukan.
"Tuan, kumohon jangan." Suara Arina terdengar begitu lirih dan menatap penuh harap.
Akan tetapi Rafael malah membuka dasi yang masih terpasang apik di kerah bajunya dan dengan cepat mengikat kedua tangan Arina serta mengarahkannya ke atas.
Bukan hanya itu saja, Rafael juga mengikat ujung dasi tersebut pada kaki meja tempat lampu duduk yang berada di samping sofa itu berada dengan sangat kuat. Hingga Arina tak dapat menghalangi keinginan untuk melihat mawar merah langkah yang selama ini tumbuh di pedalaman hutan.
"Diam, atau aku akan berbuat kasar!" seru Rafael yang mencoba untuk mengancam Arina.
Rafael lantas kembali melancarkan aksinya. Kini penghalang berhasil terlepas sempurna. Ia melempar ke sembarang tempat sebelum ia melihat bunga mawar merah merona terpampang nyata tanpa celah.
"Tuan, tolong jangan seperti ini. Aku sangat malu sekarang," ujar Arina dengan jujur.
Rafael tersenyum kecil, ia lantas menatap wajah Arina yang sudah terlihat seperti buah tomat. Ia terdiam sesaat, Arina sangat cantik saat ini.
"Apa kau pernah melakukannya dengan orang lain?" tanya Rafael sebelum kembali beraksi.
Arina menggelengkan kepalanya dengan sangat cepat. Jangankan melakukan hal-hal aneh, ia bahkan tak pernah berpacaran di usianya yang sudah hampir dua puluh tahunan ini.
"Aku tidak pernah dekat dengan pria mana pun, Tuan." Entah mengapa jawaban Arina membuat Rafael merasa sangat senang. Ada kebahagiaan yang tiba-tiba datang menyelinap masuk tanpa diundang.
"Kalau begitu aku adalah orang pertama yang melihatnya." Arina menganggukan kepalanya yang terasa kaku sekali.
"Tapi ini salah, Tuan. Aku takut, tolong jangan lakukan hal yang aneh," ujar Arina tetap memohon agar Rafael melepaskannya. Ia juga sudah berusaha melepaskan ikatan dasi di kedua tangannya, akan tetapi terasa sangat erat hingga ia tak mampu untuk bergerak lagi.
"Tenang saja, tidak akan ada yang perlu ditakutkan. Kau akan aku bawa terbang melayang ke langit dengan menaiki capung udara berwarna-warni," jawab Rafael terlihat senyuman miring di wajahnya yang sangat tampan.
Sebesar apapun Arina mencoba untuk melawan Rafael, akan tetapi ia tetap kalah oleh semua tindakan dan tingkah laku Rafael.
Rafael tak butuh waktu lama untuk berpikir, ia langsung membuka kawah putih lebar-lebar dengan sekuat tenaga. Bahkan ia menghalau semua rintangan, agar dapat mengerahkan tenaga dalam.
Seketika bunga mawar merah merekah terlihat jelas di depan mata Rafael di bawah sorot bohlam lampu ruangannya yang begitu terang.
Aroma khas yang menguar dari dalam bunga mawar merah itu, tercium oleh indra penciuman Rafael. Pria itu memejamkan sejenak kedua matanya, jakunnya terlihat naik turun menelan ludahnya sendiri.
Tepat di saat Rafael membuka matanya, Arina melihat kabut hitam di kedua mata pria itu. Rasa takut tak dapat dihilangkan dari dalam diri Arina. Ia merasa malam ini ia akan habis di terkam dan dilalap oleh hewan buas yang sudah siap sedia.
"Aku sangat menyukai aroma ini, sangat berbeda dan sangat luar biasa langkanya," ujar Rafael sambil tersenyum kecil penuh arti. Arina hanya diam dan menegang di tempatnya, ia tak tahu lagi apa yang selanjutnya akan Rafael lakukan pada kelangsungan hidupnya.
Buku lain oleh Mamud81
Selebihnya