
/0/20791/coverorgin.jpg?v=e65667aa7d62f9ca14b86f6ae32ad138&imageMogr2/format/webp)
Elara menatap langit senja dari jendela apartemennya yang mungil. Warna oranye keemasan yang perlahan berubah menjadi ungu gelap seakan mencerminkan perasaan campur aduknya: rindu, bingung, dan, entah mengapa, sedikit takut. Ia meneguk kopi pahit di tangannya, mencoba menenangkan hati yang berdebar tak karuan. Hari ini-atau lebih tepatnya, beberapa jam yang lalu-hidupnya berubah tanpa bisa ia cegah.
Kakak angkatnya, Marisol, yang selalu menjadi panutan, tiba-tiba meminta bantuannya. Marisol, dengan senyum lembutnya yang menenangkan, tersenyum sambil menatap Elara. "El, aku butuh kamu tinggal di rumah kami beberapa minggu. Aku ada urusan mendadak ke luar kota. Aku tidak mau repot, tapi aku tahu kamu bisa membantu."
Elara mengangkat alis. "Beberapa minggu? Marisol, aku-"
"Silakan, El," potong Marisol sambil menaruh tangan di pundak Elara. "Aku tidak punya pilihan lain. Aku tahu kamu selalu bisa menjaga semuanya tetap baik-baik saja."
Elara tersenyum tipis, walaupun hatinya tidak tenang. Ia sudah sering membantu Marisol, tapi entah mengapa kali ini ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. Ia merasa seolah akan masuk ke dunia yang jauh lebih kompleks dari sekadar urusan rumah tangga biasa.
Di rumah Marisol, semuanya tampak sempurna. Ruangan luas, dekorasi minimalis nan elegan, dan aroma bunga segar yang menyebar ke setiap sudut. Namun, ketenangan itu justru membuat jantung Elara berdebar lebih cepat. Ia tahu Kaden, suami Marisol, akan ada di sana.
Kaden. Nama itu saja membuat pipinya memerah meskipun ia mencoba menenangkannya sendiri. Pria itu-tampan, berkarisma, dan penuh wibawa-selalu berhasil membuat Elara merasa terguncang setiap kali mereka bertemu. Ia bukan tipe pria yang ramah tanpa sebab; setiap tatapan, setiap kata yang keluar dari mulutnya selalu menimbulkan rasa penasaran, sekaligus rasa bersalah.
Saat Elara membuka pintu ruang tamu, ia melihat Kaden sedang duduk di sofa besar, memegang cangkir kopi hitam dengan ekspresi serius. Matanya yang tajam seolah langsung menelusuri seluruh tubuh Elara begitu ia melangkah masuk.
"Elara," sapanya dengan suara hangat namun berat, membuat jantung Elara berdetak kencang.
"Pak Kaden," jawab Elara, sedikit gugup tapi tetap berusaha terdengar tenang. Ia tidak ingin menunjukkan bahwa tatapan Kaden membuatnya tak nyaman sekaligus tergoda.
Kaden mengangguk, setengah tersenyum, lalu menundukkan kepala kembali pada kopinya. Ada sesuatu dalam cara ia menatap Elara, sesuatu yang membuatnya merasakan kombinasi aneh antara aman dan bahaya.
"Marisol bilang kamu akan tinggal di sini beberapa minggu," katanya akhirnya. Suaranya rendah, hampir berbisik. "Aku senang, tapi juga sedikit khawatir."
Elara menelan ludah. "Aku... aku akan berusaha sebisa mungkin."
Kaden menatapnya lagi, kali ini lebih lama. Ada pertanyaan, ada penilaian, dan entah mengapa, ada rasa... sesuatu yang tidak seharusnya ia rasakan terhadap adik iparnya sendiri.
Hari pertama Elara tinggal di rumah itu terasa seperti labirin emosi yang rumit. Ia harus memasak, membersihkan, mengurus dokumen kecil, dan tentu saja menjaga Marisol yang sedang sibuk dengan pekerjaannya di luar kota. Tapi yang paling membuatnya cemas adalah kehadiran Kaden.
Kaden bukan pria yang kasar atau menyinggung. Justru sebaliknya, ia sangat sopan, perhatian, dan terkadang terlalu hangat untuk orang yang seharusnya "hanya" menjadi menantunya. Ada saat-saat di mana ia menatap Elara dengan tatapan yang terlalu dalam, membuatnya sulit berkonsentrasi pada pekerjaan rumah.
Suatu malam, ketika Elara sedang membereskan ruang kerja Marisol, Kaden muncul di pintu.
"El, boleh aku bicara sebentar?" tanyanya, suaranya rendah.
Elara menelan ludah. "Tentu, Pak Kaden," jawabnya, walaupun hatinya sudah berdebar seperti gila.
Mereka berdiri bersebelahan, tetapi jarak itu terasa terlalu dekat. Kaden menatapnya, dan Elara merasa seolah seluruh pikirannya dibaca.
"Aku tahu ini tidak mudah untukmu," katanya akhirnya, suaranya nyaris berbisik. "Tinggal di sini, membantu Marisol... aku tahu kamu mungkin merasa canggung atau... terganggu oleh kehadiranku."
Elara tersenyum tipis, mencoba terdengar santai. "Tidak, tidak begitu. Aku hanya... belum terbiasa."
Kaden mengangguk perlahan. Ada keheningan yang aneh di antara mereka, bukan canggung, tapi... listrik. Sesuatu yang membuat Elara merasa campur aduk, antara aman dan terlarang.
"Aku... menghargai kamu, El," katanya akhirnya, hampir berbisik. "Aku tahu kamu adik iparku, dan aku tidak boleh merasa seperti ini. Tapi... aku tidak bisa membohongi diri sendiri."
Elara menahan napas. Kata-kata itu seperti petir yang menyambar hatinya. Ia tahu, apa yang dirasakan Kaden-bahkan hanya diucapkan-sangat salah. Terlarang. Tapi entah mengapa, hatinya bergetar, dan keinginan untuk menolaknya terasa lebih sulit dari yang ia bayangkan.
Hari-hari berikutnya penuh dengan ketegangan yang manis sekaligus menyiksa. Setiap senyum Kaden, setiap sentuhan ringan di lengan saat memberi buku atau kertas, membuat Elara merasa bersalah, sekaligus tergoda. Ia sering bertanya pada dirinya sendiri, Kenapa aku merasakan ini? Ini salah... benar-benar salah.
Namun, pada saat yang sama, ada kepuasan aneh saat berada dekat dengannya. Kaden adalah pria yang sempurna, bahkan untuk orang yang seharusnya "tidak boleh" diinginkan. Tatapannya, suaranya, bahkan cara ia tersenyum saat Elara berhasil melakukan sesuatu membuatnya ingin lebih dekat-bahkan ketika ia tahu itu berarti melangkah ke wilayah yang berbahaya.
Suatu malam, saat Marisol masih sibuk di luar kota, Kaden memanggil Elara ke ruang tamu. Lampu temaram, aroma parfum Marisol yang lembut masih terasa di udara.
"Duduklah," katanya, menunjuk sofa.
Elara duduk, dan mereka berdua diam sejenak. Ada ketegangan yang begitu pekat hingga Elara bisa merasakannya di kulitnya.
"Kamu tahu aku mencintai Marisol," Kaden memulai, suaranya bergetar tipis. "Tapi... aku juga tidak bisa menolak perasaanku terhadapmu. Aku tahu ini salah, tapi aku tidak bisa menutup mata."
Elara menunduk, mencoba menenangkan napasnya yang semakin cepat. "Pak Kaden... ini salah. Kita tidak boleh-"
"Ku tahu," potong Kaden, suaranya lebih rendah, hampir berbisik di telinganya. "Tapi kenyataannya, aku menginginkanmu. Dan aku tidak bisa berbohong tentang itu."
Elara menatap matanya, berusaha menahan diri, tapi hatinya berontak. Ada rasa takut, tapi juga rasa penasaran yang membuatnya ingin tahu lebih jauh tentang perasaan yang seharusnya terlarang ini.
Malam itu berakhir dengan banyak pertanyaan tanpa jawaban. Elara tahu ia harus membuat pilihan-tetap menjaga jarak dan melindungi hati semua orang, atau membiarkan perasaan terlarang itu tumbuh lebih dalam, meskipun berisiko menghancurkan hidup mereka semua.
Ketika ia menutup mata, pikiran tentang Kaden tidak pernah jauh. Tatapan itu, suara itu, dan kata-kata yang membuatnya gemetar tetap berputar di kepalanya. Ia sadar satu hal: kehidupan yang aman dan biasa kini sudah menjadi hal yang mustahil.
Dan Elara pun memulai perjalanan yang berbahaya, penuh godaan, rahasia, dan konflik batin yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Hari-hari berikutnya di rumah Kaden dan Marisol menjadi semakin sulit bagi Elara. Setiap langkah, setiap gerakan, bahkan setiap kata yang diucapkan terasa seolah ada pengawas tak terlihat yang menilai. Namun bukan Marisol yang menjadi pengawas itu, melainkan hatinya sendiri yang terus dipertaruhkan di ujung tebing perasaan yang terlarang.
Pagi itu, Elara bangun lebih awal dari biasanya. Sinar matahari yang masuk melalui jendela besar membuat ruangan terasa hangat, tetapi tidak mampu menghangatkan hatinya. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum menghadapi hari yang pasti akan penuh ketegangan.
Di dapur, aroma kopi yang baru diseduh memenuhi udara. Kaden sudah duduk di meja makan, membaca koran pagi, dengan ekspresi serius namun tenang. Ketika Elara masuk, ia menatapnya sekilas, dan jantung Elara langsung berdetak lebih cepat.
/0/28398/coverorgin.jpg?v=b6753d55de50fdeda83199c069830624&imageMogr2/format/webp)
/0/5405/coverorgin.jpg?v=522d188a5b06f01f5bedde6e1e9a6781&imageMogr2/format/webp)
/0/2610/coverorgin.jpg?v=20250120162737&imageMogr2/format/webp)
/0/17802/coverorgin.jpg?v=f5003c6624880c47706b7f7a18f2466d&imageMogr2/format/webp)
/0/3227/coverorgin.jpg?v=ed538cf120a68aa67c6b60f59e833617&imageMogr2/format/webp)
/0/20114/coverorgin.jpg?v=63cd1706f81dd1e9ac5b50bc2918f172&imageMogr2/format/webp)
/0/10760/coverorgin.jpg?v=d889c5707dfa6983bfd76d75e6104822&imageMogr2/format/webp)
/0/2471/coverorgin.jpg?v=3227eeca995c0603b7717b752a524884&imageMogr2/format/webp)
/0/21580/coverorgin.jpg?v=af0cab4eb45e24ae39aefd5785fd410f&imageMogr2/format/webp)
/0/16078/coverorgin.jpg?v=c3990aa00c0bc5f2524051abfe2f061d&imageMogr2/format/webp)
/0/6750/coverorgin.jpg?v=e80e5c9cae82761bc7184e9872fd545c&imageMogr2/format/webp)
/0/12633/coverorgin.jpg?v=c9de61e739fa9a08b6c85b4a7aeb29cd&imageMogr2/format/webp)
/0/14522/coverorgin.jpg?v=02d11d14dbe1cf8041fa5b4bd4cc1800&imageMogr2/format/webp)
/0/24530/coverorgin.jpg?v=20250719182954&imageMogr2/format/webp)
/0/17287/coverorgin.jpg?v=bd52ab885dc7ff056a2a0284731cd613&imageMogr2/format/webp)
/0/24027/coverorgin.jpg?v=00d82a3d6f2079c1d5a13fd023ac1e50&imageMogr2/format/webp)
/0/20435/coverorgin.jpg?v=6ca2cabd2d35de56c7e8c7e1c0c93d45&imageMogr2/format/webp)
/0/30075/coverorgin.jpg?v=d0a53a059b7ab79f9f9d8962fc9bcb6c&imageMogr2/format/webp)
/0/2130/coverorgin.jpg?v=0898bc8b430b58c8088e6d499bb8e0ec&imageMogr2/format/webp)
/0/4700/coverorgin.jpg?v=8e204fb0ca9f9e6f9f9e11ff6d15da84&imageMogr2/format/webp)